Jumat, 12 September 2014

Red Frame



Red Frame

Sejak berusia 5 tahun, Lina sudah terbiasa memakai alat bantu penglihatan. Dia tak asing lagi dengan yang namanya kaca mata. Tanpa kaca mata dia tak bisa melihat obyek jarak jauh dan tak bisa melihat garis lurus.
Saat dia menginjak umur 17 tahun, minusnya sudah mencapai 5 dan silindernya 1,25. Sudah lebih dari 10 tahun matanya selalu dihiasi dengan frame yang sudah buluk karena tak pernah diganti.
Hingga suatu hari, saat hatinya terguncang karena cinta, dia ingin merubah penampilannya agar terlihat lebih cantik dari biasanya. Dia ingin menjadi pusat perhatian semua laki-laki terutama laki-laki yang ia sukai.
Tanpa diketahui orang tuanya, dia pergi ke sekolah tanpa menggunakan kaca mata. Hal konyol pertama yang Lina lakukan gara-gara cinta. Dia tak berpikir bahwa itu hanya akan menyiksa dirinya sendiri.
Aduh kok pusing ya?
“Hei Mbak, bisa jalan nggak sih? Jalan tu di pinggir, jangan ke tengah!” Kata seorang pejalan kaki yang melihat Lina berjalan semakin lama semakin ke tengah jalan.
“Aku jalannya juga sudah lurus tu Mbak.” Elak Lina yang merasa jika dia berjalan lurus.
“PIM!!!!” Terdengar suara klakson mobil dan Lina pun ditarik ke pinggir jalan oleh temannya.
“Lin, mana kaca matamu?” Tanya Winda.
“Kamu Winda?” Lina pun memusatkan pandangannya dan mendekatkan kepalanya ke arah Winda, untuk memastikan apakah itu benar-benar Winda atau bukan.
“Iya lah. Tu kan jarak sedekat gini aja kamu nggak bisa lihat apalagi jarak jauh. Bahaya tahu! Mana kaca matamu?”
“Hehehehe.” Lina pun tersenyum dan dengan malu menceritakan alasannya melepas kaca mata. “Em.m sebenernya, aku ingin tampil beda dan terlihat cantik di depan Zyan.”
“Zyan? Zyainudin maksud mu???”
“Kamu suka sama Zayn?”
“Iya.” Jawab Lina dengan malu.
“Tapi bukan gini caranya.” Kata Winda dengan sedikit menarik nafas panjangnya.
“Alih-alih terlihat cantik, kamu akan terlihat seperti orang bingung di depan Zyan. Tanpa kaca mata, kamu nggak bisa melihat wajah tampan Zayn dengan jelas.” Jelas Winda yang terlihat jengkel, karena ulah konyol Lina yang melepas kaca mata.
“Ayo ikut aku!” Kata Winda dengan menarik tangan Lina.
Winda mengajak Lina ke Optik yang tak jauh dari sekolahan mereka. Banyak sekali frame kaca mata dari harga standar sampai ke harga yang lumayan. Mata Lina pun tertuju pada sebuah red frame yang terletak di belakang frame dengan merk terkenal. Lina sempat berpikir pasti harga red frame yang ia sukai itu mahal. Setelah ia bertanya pada penjual, ternyata harga red frame hanya Rp 150.000,-.
“Iya Mbak, harganya murah karena ini barang second.” Kata penjaga optic, yang menjawab keherannan Lina.
“Tapi kualitasnya masih bagus kok Mbak. Dan kebetulan sekali lensanya minus 5 dan silindernya 1,25.”
“Kok pas banget sih.”
“Aku coba dulu ya Mas.” Kata Lina yang tidak sabar mencoba red frame yang sedang menjadi trend saat ini.
“Aku ambil ya Mas, tapi……” Lina pun terlihat panik saat membuka dompetnya.
“Aku hanya bawa uang seratus ribu. Kurangannya besok ya Mas, boleh kan?” Tanya Lina dengan mata penuh harap.
Setelah mendapat persetujuan dari penjual kaca mata, dengan langkah pasti mereka meninggalkan Optik dan menuju ke sekolahan. Ada hal aneh yang dialami Lina saat pertama kali menggunakan red frame itu. Selain terlihat cantik, mata Lina pun terlihat cerah tetapi terkadang Lina menatap orang yang sedang pacaran dengan tatapan penuh makna, raut wajahnya pun berubah tak seperti Lina yang biasanya.
“Hei.” Kata Winda yang menyenggol pundak Lina, agar Lina mengalihkan pandangannya.
“Aku tahu kalau kamu pengen punya pacar, tapi jangan menatap mereka seperti itu. Jaga wibawa dikit napa!” Kata Winda yang masih melihat mata Lina.
“Helo!! Lin!!” Winda pun melambaikan tangannya ke depan mata Lina.
“Pacaran kok di sekolahan.” Kata Lina yang tatapannya masih tertuju pada sepasang kekasih yang bergandengan tangan menuju ke lobi sekolah.
“Kita sudah dua tahun sekolah di sini, dan kenapa kamu ngomel saat melihat mereka? Bukannya kita sering lihat yang seperti itu, bahkan lebih parah dari mereka, tapi kamu biasa aja tu dan sekarang kenapa kamu jadi sewot?” Tanya Winda yang bingung melihat perubahan dari Lina.
“Masak sih? Sudahlah lupakan, ayo kita masuk ke kelas. Keburu telat.”
Mereka pun berjalan menuju ke kelas, dan tiba-tiba dari kejauhan terlihat sosok Zayn yang sudah mengenakan seragam olah raga berjalan menuju mereka. Perjalanan mereka pun tiba-tiba terhenti, Winda bisa merasakan debar jantung Lina yang tak beraturan. Winda pun melihat ke arah Lina yang terlihat gugup dan pucat.
Tetapi tiba-tiba raut wajah Lina berubah, dari yang tadinya tak berdaya melihat ketampanan Zayn menjadi memerah seperti menahan amarah. Lina pun menyaut air minum yang dibawa Winda, dan saat Zayn mendekat tiba-tiba Lina melemparkan air minum Winda ke muka Zayn.
“Ups maaf nggak sengaja.” Kata Lina yang kemudian berlari menuju ke kelas.
“Maaf ya Zayn, teman saya lagi panik takut dihukum karena telat, jadi nggak lihat ada orang di depannya. Sekali lagi maaf ya.” Kata Winda yang mencoba meluruskan kejadian yang dilakukan Lina.
“Oke nggak masalah.” Kata Zayn yang sibuk mengelap wajah saat Winda masih di depannya.
“Dasar Lina!” Zayn pun meluapkan kekesalannya saat Winda sudah masuk ke kelas.
Rasa penasaran Winda sepertinya tak bisa dibendung lagi. Dia memutuskan untuk duduk di samping Lina dan menanyakan alasan Lina menyiram wajah Zayn. Tatapan mata Lina tak berubah, dia masih menatap lapangan basket yang ada dilantai bawah dan tak menggubris Winda.
Karena penasaran, Winda pun menoleh ke bawah. Dan benar saja ada Zayn yang sedang berolahraga di lapangan basket. Winda pun juga ikut mengamati Zayn, tiba-tiba ada bola yang melayang dengan sendirinya dan mengenai kepala Zayn. Melihat kejadian ganjil dengan mata sendiri, membuat bulu kuduk Winda berdiri, sambil menelan ludah Winda langsung mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Sedangkan Lina, dia tersenyum licik seperti senyum tokoh antagonis saat berhasil menyiksa tokoh utama saat melihat Zayn kesakitan.
“Sial benar nasibku hari ini, tadi pagi disiram Lina dan sekarang kena bola basket.” Kata Zayn sambil mengeram kesakitan.
“Kamu tahu nggak Zal, siapa yang melempar bola basket ke arahku?” Tanya Zayn ke Faizal, temannya.
“Nah, itu dia. Kayaknya nggak ada orang deh di sini. Teman-teman masih di kelas. Dan bola basket ini, tadi terletak di sana. Kenapa tiba-tiba bisa melayang sendiri. Aneh.” Jelas Faizal yang merasa lapangan basket sekolahnya angker.
Di sisi lain, Winda masih terbayang-bayang kejadian yang ia lihat itu. Dia sudah menyiapkan beribu pertanyaan kepada Lina, yang sepertinya berubah setelah menggunakan kaca mata dengan frame warna merah darah itu.
Setelah lagu sayonara bergema tanda usai sekolah, Lina dan Winda bergegas meninggalkan kelas. Lina terlihat berjalan lebih dulu, dan kemudian disusul Winda. Saat berada di jalan raya, Winda mulai mengeluarkan pertanyaan yang sudah membusuk di otaknya. Tetapi pertanyaannya terpotong saat melihat sepasang kekasih yang berboncengan dengan motor, tiba-tiba ban belakangnya meletus dan mengeluarkan suara yang cukup untuk membangunkan seekor kucing malas yang ada di bawah pohon.
Lina pun tak menghiraukannya, dia terus saja berjalan, Winda yang sempat berhenti karena merasa kaget kemudian berlari mengejar Lina. Tatapan Lina masih sama seperti tadi pagi, menatap orang yang sedang pacaran dengan tatapan penuh makna. Kali ini Winda yakin, bahwa tatapan itu bukan tatapan iri tetapi tatapan mistis yang membuat sepasang kekasih mengalami kesialan.
Ternyata dugaan Winda benar, selang beberapa menit ada kecelakaan di depannya. Tak lain dan tak bukan korbannya adalah sepasang kekasih yang berboncengan dengan sepeda tertabrak oleh pengendara motor. Semua orang berduyun-duyun menolong mereka, dan Winda pun sempat ingin menolongnya, tetapi melihat Lina yang seperti menggunakan kaca mata kuda, tak melihat kanan kiri dan terus berjalan lurus, membuat winda mengurungkan niat baiknya.
Karena tak kuat melihat hal-hal yang membuat jantungnya berpacu sangat cepat, akhirnya Winda mengajak Lina menganti arah jalan mereka menuju gang yang cukup sepi. Dengan alasan agar Lina tak melihat orang yang sedang pacaran lagi. Saat suasana sepi dan keberanian Winda sudah terkumpul, dia pun melanjutkan pertanyaan yang sempat terpotong.
“Lin, kamu ngrasa nggak sih kalau hari ini aneh.”
“Banyak sekali hal ganjil yang ku lihat.” Kata Winda yang memandang ke arah Lina.
“Pertama, tatapan matamu saat melihat orang yang sedang dimabuk cinta. Kedua, saat kamu menyiram air muka ke Zayn dan ketiga…..” Kata Winda yang terpotong.
“Melihat bola basket melayang dengan sendirinya dan mengenai kapala Zayn?” Lina pun bisa menebak apa yang akan ditanyakan oleh Winda.
“Dan kenapa kamu tadi diam aja, padahal di depan kita ada kecelakaan.”
“Itu bukan urusan kita. Salah siapa pacaran di jalan. Mengganggu ketertiban lalu lintas.” Jawab Lina yang membalas tatapan Winda dengan senyum licik khasnya.
Keesokan paginya, Winda berangkat ke sekolah dengan waktu yang tak lazim. Dia berangkat dari rumah pukul 05.30, waktu yang sangat pagi untuk rumah yang berjarak kurang dari 2 Km dari sekolah. Bulu kuduk Winda dipaksa berdiri dengan pikiran negatifnya saat melewati lapangan basket, dia pun berlari menuju kantin tempat penjaga sekolah beristirahat.
Di sana dia mengintrogasi penjaga sekolah dengan pertanyaan yang sudah ia siapkan sejak malam hari. Mengenai sejarah berdirinya sekolah, apakah bekas kuburan atau bekas rumah sakit sampai dengan hal-hal yang berbau mistis yang pernah terjadi di sekolahannya. Karena belum puas dengan jawaban penjaga sekolah, akhirnya Winda memberanikan diri masuk ke ruang BP. Guru BP di sekolah Winda terkenal memiliki indra ke 6, sering sekali di mintai tolong untuk mengeluarkan roh jahat saat ada siswa yang kesurupan.
“Pagi Pak, maaf mengganggu. Boleh saya masuk.” Sapa Winda sambil mengetuk pintu ruang BP.
“Iya silahkan masuk.” Kata Pak Darko yang baru saja tiba di sekolah.
“Maaf Pak, saya mau cerita tentang teman saya. Sepertinya Bapak kenal, namanya Lina.” Kata Winda yang tak mau mengulur waktu untuk bercerita.
“Oh iya, Anak  kelas 2 IPA 3 kan? Yang sekarang memakai kaca mata red frame?”
“Iya benar sekali Pak. Saya curiga, sepertinya ada hal gaib di kaca mata itu. Pasalnya setelah Lina menatap orang yang pacaran pasti mereka akan sial.”
“Bapak mendengar berita kecelakaan kemarin siang kan Pak?”
“Nah, salah satunya itu.” Jelas Winda.
Pak Darko pun terdiam dan mencoba menerawang. Tak berapa lama, pak Darko pun bercerita dengan mata tertutup. Dia menceritakan bahwa sebenarnya pemilik kaca mata red frame itu sudah meninggal. Penyebab kematian gadis malang yang bernama Deata itu karena ulah pacarnya. Dia mempunyai pacar satu sekolahan, dan si cowok mengharuskan Deata menggunakan lensa mata agar terlihat lebih modis. Deata pun mengiyakan dan akhirnya kaca mata Deata disita si pacar. Tak sampai disitu, Deata pun memata-matai si pacar, saat pacarnya tak mau mengantar dia pulang. Ternyata si pacar memiliki selingkuhan yang masih satu sekolah dengan dia. Melihat hal seperti itu, hati Deata terguncang, dia pun mengendarai motor dengan kecapatan yang tinggi dan dengan konsentrasi yang buyar. Dan akhirnya dia tertabrak mobil saat menghindari orang yang sedang menyebrang jalan. Nyawa Deata pun tak tertolong, dan kaca mata yang dibawa pacar Deata dijual karena si pacar terus dihantui arwah kekasihnya itu.
Kata pak Darko, siapa saja yang memakai red frame peninggalan Deata akan merasa sebal jika melihat orang yang sedang pacaran. Hal yang paling mengerikan, si pemakai kaca mata secara tidak sadar akan menyiksa orang yang ia sukai.
“Astaga, Zayn.” Kata Winda yang teringat peristiwa yang dialami Zayn kemarin.
“Lina menyukai Zayn?” Tanya pak Darko dengan membuka matanya.
“Itu sangat berbahaya. Mereka satu sekolahan otomatis mereka sering bertemu dan Zayn akan mengalami kesialan saat bertemu dengan Lina.” Jelas pak Darko lagi.
“Apakah Zayn bisa terbunuh karena Lina?”
“Tidak.”
“Incaran Deata adalah kekasihnya. Mungkin jika Lina bertemu dengan kekasih Deata, dia akan mengalami gejolak yang luar biasa dan bisa membunuh kekasih Deata itu. Entah dengan kekuatan magis atau dengan tangannya sendiri.” Jelas pak Darko.
“Lantas siapa kekasih Almh. Deata itu Pak?”
“Aku tidak tahu.” Kata pak Darko yang tak bisa menerawang siapa kekasih pemilik red frame.
“Waduh, bisa gawat ni.” Kata Winda yang terlihat bingung.
“Kamu harus membawa Lina ke rumah Deata. Berikan kaca mata itu ke orang tua Deata. Hanya Lina dan orang tua Deata yang mampu melepas red frame itu. Sedangkan Lina dia merasa terlihat cantik dan tak ingin melepas red frame dari matanya.” Jelas pak Darko.
“Jadi setelah Lina melepas red frame, semuanya akan berjalan seperti biasanya lagi kan Pak?”
Pak Darko pun menganggukan kepala. Setelah mencoba menerawang lagi, pak Darko menuliskan sebuah alamat di selembar kertas dan diberikan ke Winda. Setelah mendapat beberapa penjelasan dari pak Darko, Winda pun menuju ke kelasnya, yang pasti setelah mengucapkan beribu terimakasih kepada guru BP itu.
Sepulang sekolah, dengan terlihat terburu-buru Winda berlari menuju rumahnya. Setelah pakain seragam yang ia kenakan terlepas dari badannya dan diganti dengan kaos oblong warna biru dan celana selutut berwarna abu-abu, Winda mengeluarkan beat kesayangan ibunya. Walaupun sempat dilarang sang ibu karena belum mempunyai SIM, dia tetap nekat membawa kabur Honda  beat itu ke rumah Lina.
Setelah segala jurus ia keluarkan untuk membujuk Lina, akhirnya dengan sedikit ragu Lina mau menemani Winda ke rumah saudaranya. Layaknya sebuah sinetron, Winda berpura-pura bahwa saudara jauhnya sakit, dan dia tak berani ketempat saudaranya itu jika sendiri.
Di sepanjang jalan menuju rumah saudara palsu Winda, mulutnya terlihat tak berhenti mengucap doa. Dia terlihat takut saat memboncengkan Lina, bukan karena takut tertangkap Polisi dan ditilang, tetapi karena takut yang diboncengkan saat ini bukan Lina yang sebenarnya.
Hati Winda pun dibuat gelisah saat berpapasan dengan sepasang kekasih di seberang jalan yang ia lalui. Karena tak tega melihat nasib mereka, tiba-tiba Winda menghentikan motornya dan mengajak Lina berbicara.
“Aku tahu di dalam agama kita yang namanya pacaran itu dilarang. Dan kamu bukan hakim mereka yang dengan seenaknya membalas perilaku menyimpang mereka.”
“Jadi hentikan semua ini, jangan buat mereka bernasib sial. Biarkan Yang Maha Esa yang membalas perilaku mereka, bukan kamu Deata!” Kata Winda dengan keberanian yang tinggi memanggil Lina dengan sebutan Deata.
 Tatapan mata Lina pun semakin tajam mengarah ke Winda, saat dia dipanggil dengan sebutan Deata. Winda pun gemetar melihat tatapan itu dia takut akan bernasib sial seperti nasib sepasang kekasih tadi. Winda mencoba menghiraukannya dan bergegas melanjutkan perjalanan ke rumah ibu Deata. Lina pun seperti tersadar, pengaruh red frame itu sedikit hilang dan dia terlihat sedikit lebih tenang saat berpapasan dengan sepasang kekasih yang lain. Panggilan Deata dari Winda membuat pengaruh red frame itu sedikit menghilang.
Tak berapa lama mereka sudah tiba di rumah yang terlihat kuno dari yang lainnya. Winda mengajak Lina masuk ke rumah itu. Dengan suara lirih Winda mengucap salam dan mengetuk pintu rumah itu. Dengan cepat sesok ibu setengah baya membukakan pintu rumahnya.
Terlihat kebingungan di wajah ibu itu saat melihat orang asing bertamu di rumahnya, terlebih lagi melihat Lina yang tiba-tiba menangis melihat Ibu Deata di depannya. Setelah dipersilahkan masuk, mereka pun duduk di sofa yang bisa dibilang empuk dari pada jok montor beat Winda.
Setelah Winda menjelaskan maksud kedatangannya dan Ibu Deata paham apa yang harus ia lakukan, dengan mata yang berkaca-kaca dia berbicara kepada Lina.
“Wahai anakku Deata, apa kabar Nak? Ibu kangen sama kamu.” Sapa sang Ibu dengan membelai lembut rambut Lina.
“Bukankah di sana kamu nyaman, kenapa ke sini lagi?”
“Apa yang menghantarkanmu ke sini? Apa karena ingin membalas Lay?” Kata sang Ibu yang menyebutkan nama pacar anaknya.
“Sudahlah Nak, Ibu sudah ikhlas melepasmu pergi. Dan ambil sisi positif dari Lay, mungkin Tuhan tidak rela membiarkan kamu terus menerus disakiti dan ditipu oleh Lay, dan akhirnya Tuhan mengambil nyawamu dalam sekejap.”
“Ibu sayang kamu Nak, apakah kamu sayang sama Ibu? Kalau kamu sayang sama Ibu, kamu harus pergi dan tunggu Ibu di pintu surga.” Kata ibu Deata yang tak mampu membendung air matanya.
Air mata Lina pun terus mengalir, Deata yang ada di dalam tubuh Lina merasa bersalah atas kejadian yang dialami orang-orang karena dia terlebih lagi setelah mendengar suara ibunya yang dengan penuh kasih sayang menasehati dirinya. Setelah Lina mulai tenang, ibu Deata pun melepas kaca mata yang di pakai Lina, tiba-tiba saja Lina jatuh pingsan. Setelah mengelap air mata, Winda langsung menolong temannya itu.
Setelah diberi pertolongan pertama, Lina pun tersadar dan merasa bingung dengan tempat asing di mana ia berada sekarang. Winda pun memberikan kaca mata lama Lina yang secara diam-diam ia ambil saat berada di rumah Lina. Setelah sedikit berbincang dan mengucapkan terimakasih karena telah banyak membantu, mereka pun pamit dan bergegas pulang.
Di perjalan pulang, mulut Winda juga terlihat tak berhenti bergerak. Bukan untuk membaca doa seperti saat berangkat tadi, melainkan menceritakan kronologi yang membawa mereka ke rumah itu.
Pagi harinya, dengan wajah sumringah Lina berangkat sekolah senidiri, dia merasa lebih baik dari dua hari sebelumnya. Saat melunasi hutang kaca mata, dia sempat berpesan kepada pemilik optic agar tidak menjual frame bekas, karena setiap barang bekas pasti ada kenangan tersendiri dan pasti akan berpengaruh terhadap orang yang memakainya.
Sesampainya di lobi sekolah, jantung Lina kembali berdegub tak beraturan karena berpapasan dengan Zayn. Setelah berlatih semalaman untuk sekedar meminta maaf, akhirnya dia berhasil mengendalikan kegugupannya itu.
“Zayn.” Sapanya.
“Ini, aku minta maaf soal yang kemarin ya. Sungguh itu diluar kuasaku.” Kata Lina yang memberikan sapu tangan kepada Zayn.
“Oh, it’s oke.” Zayn langsung mengambil sapu tangan yang Lina sodorkan.
“Besok lagi kalau mau nyiram orang jangan pakai air ya.” Kata Zayn yang membuat bingung Lina.
“Terus pakai apa?” Tanya Lina penasaran
“Pakai cinta yang tulus.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :