Red Frame
Sejak berusia 5 tahun,
Lina sudah terbiasa memakai alat bantu penglihatan. Dia tak asing lagi dengan
yang namanya kaca mata. Tanpa kaca mata dia tak bisa melihat obyek jarak jauh
dan tak bisa melihat garis lurus.
Saat dia menginjak umur
17 tahun, minusnya sudah mencapai 5 dan silindernya 1,25. Sudah lebih dari 10
tahun matanya selalu dihiasi dengan frame yang sudah buluk karena tak pernah
diganti.
Hingga suatu hari, saat
hatinya terguncang karena cinta, dia ingin merubah penampilannya agar terlihat
lebih cantik dari biasanya. Dia ingin menjadi pusat perhatian semua laki-laki
terutama laki-laki yang ia sukai.
Tanpa diketahui orang
tuanya, dia pergi ke sekolah tanpa menggunakan kaca mata. Hal konyol pertama
yang Lina lakukan gara-gara cinta. Dia tak berpikir bahwa itu hanya akan
menyiksa dirinya sendiri.
Aduh
kok pusing ya?
“Hei Mbak, bisa jalan
nggak sih? Jalan tu di pinggir, jangan ke tengah!” Kata seorang pejalan kaki
yang melihat Lina berjalan semakin lama semakin ke tengah jalan.
“Aku jalannya juga
sudah lurus tu Mbak.” Elak Lina yang merasa jika dia berjalan lurus.
“PIM!!!!” Terdengar
suara klakson mobil dan Lina pun ditarik ke pinggir jalan oleh temannya.
“Lin, mana kaca
matamu?” Tanya Winda.
“Kamu Winda?” Lina pun
memusatkan pandangannya dan mendekatkan kepalanya ke arah Winda, untuk memastikan
apakah itu benar-benar Winda atau bukan.
“Iya lah. Tu kan jarak
sedekat gini aja kamu nggak bisa lihat apalagi jarak jauh. Bahaya tahu! Mana
kaca matamu?”
“Hehehehe.” Lina pun
tersenyum dan dengan malu menceritakan alasannya melepas kaca mata. “Em.m
sebenernya, aku ingin tampil beda dan terlihat cantik di depan Zyan.”
“Zyan? Zyainudin maksud
mu???”
“Kamu suka sama Zayn?”
“Iya.” Jawab Lina
dengan malu.
“Tapi bukan gini
caranya.” Kata Winda dengan sedikit menarik nafas panjangnya.
“Alih-alih terlihat
cantik, kamu akan terlihat seperti orang bingung di depan Zyan. Tanpa kaca
mata, kamu nggak bisa melihat wajah tampan Zayn dengan jelas.” Jelas Winda yang
terlihat jengkel, karena ulah konyol Lina yang melepas kaca mata.
“Ayo ikut aku!” Kata
Winda dengan menarik tangan Lina.
Winda mengajak Lina ke
Optik yang tak jauh dari sekolahan mereka. Banyak sekali frame kaca mata dari
harga standar sampai ke harga yang lumayan. Mata Lina pun tertuju pada sebuah
red frame yang terletak di belakang frame dengan merk terkenal. Lina sempat
berpikir pasti harga red frame yang ia sukai itu mahal. Setelah ia bertanya
pada penjual, ternyata harga red frame hanya Rp 150.000,-.
“Iya Mbak, harganya
murah karena ini barang second.” Kata penjaga optic, yang menjawab keherannan
Lina.
“Tapi kualitasnya masih
bagus kok Mbak. Dan kebetulan sekali lensanya minus 5 dan silindernya 1,25.”
“Kok pas banget sih.”
“Aku coba dulu ya Mas.”
Kata Lina yang tidak sabar mencoba red frame yang sedang menjadi trend saat
ini.
“Aku ambil ya Mas,
tapi……” Lina pun terlihat panik saat membuka dompetnya.
“Aku hanya bawa uang seratus ribu. Kurangannya besok ya Mas,
boleh kan?” Tanya Lina dengan mata penuh harap.
Setelah mendapat
persetujuan dari penjual kaca mata, dengan langkah pasti mereka meninggalkan
Optik dan menuju ke sekolahan. Ada hal aneh yang dialami Lina saat pertama kali
menggunakan red frame itu. Selain terlihat cantik, mata Lina pun terlihat cerah
tetapi terkadang Lina menatap orang yang sedang pacaran dengan tatapan penuh
makna, raut wajahnya pun berubah tak seperti Lina yang biasanya.
“Hei.” Kata Winda yang
menyenggol pundak Lina, agar Lina mengalihkan pandangannya.
“Aku tahu kalau kamu
pengen punya pacar, tapi jangan menatap mereka seperti itu. Jaga wibawa dikit
napa!” Kata Winda yang masih melihat mata Lina.
“Helo!! Lin!!” Winda
pun melambaikan tangannya ke depan mata Lina.
“Pacaran kok di
sekolahan.” Kata Lina yang tatapannya masih tertuju pada sepasang kekasih yang
bergandengan tangan menuju ke lobi sekolah.
“Kita sudah dua tahun
sekolah di sini, dan kenapa kamu ngomel saat melihat mereka? Bukannya kita
sering lihat yang seperti itu, bahkan lebih parah dari mereka, tapi kamu biasa
aja tu dan sekarang kenapa kamu jadi sewot?” Tanya Winda yang bingung melihat
perubahan dari Lina.
“Masak sih? Sudahlah
lupakan, ayo kita masuk ke kelas. Keburu telat.”
Mereka pun berjalan
menuju ke kelas, dan tiba-tiba dari kejauhan terlihat sosok Zayn yang sudah
mengenakan seragam olah raga berjalan menuju mereka. Perjalanan mereka pun
tiba-tiba terhenti, Winda bisa merasakan debar jantung Lina yang tak beraturan.
Winda pun melihat ke arah Lina yang terlihat gugup dan pucat.
Tetapi tiba-tiba raut
wajah Lina berubah, dari yang tadinya tak berdaya melihat ketampanan Zayn
menjadi memerah seperti menahan amarah. Lina pun menyaut air minum yang dibawa
Winda, dan saat Zayn mendekat tiba-tiba Lina melemparkan air minum Winda ke
muka Zayn.
“Ups maaf nggak
sengaja.” Kata Lina yang kemudian berlari menuju ke kelas.
“Maaf ya Zayn, teman
saya lagi panik takut dihukum karena telat, jadi nggak lihat ada orang di
depannya. Sekali lagi maaf ya.” Kata Winda yang mencoba meluruskan kejadian
yang dilakukan Lina.
“Oke nggak masalah.”
Kata Zayn yang sibuk mengelap wajah saat Winda masih di depannya.
“Dasar Lina!” Zayn pun
meluapkan kekesalannya saat Winda sudah masuk ke kelas.
Rasa penasaran Winda
sepertinya tak bisa dibendung lagi. Dia memutuskan untuk duduk di samping Lina
dan menanyakan alasan Lina menyiram wajah Zayn. Tatapan mata Lina tak berubah,
dia masih menatap lapangan basket yang ada dilantai bawah dan tak menggubris
Winda.
Karena penasaran, Winda
pun menoleh ke bawah. Dan benar saja ada Zayn yang sedang berolahraga di
lapangan basket. Winda pun juga ikut mengamati Zayn, tiba-tiba ada bola yang
melayang dengan sendirinya dan mengenai kepala Zayn. Melihat kejadian ganjil
dengan mata sendiri, membuat bulu kuduk Winda berdiri, sambil menelan ludah
Winda langsung mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Sedangkan Lina, dia
tersenyum licik seperti senyum tokoh antagonis saat berhasil menyiksa tokoh
utama saat melihat Zayn kesakitan.
“Sial benar nasibku
hari ini, tadi pagi disiram Lina dan sekarang kena bola basket.” Kata Zayn
sambil mengeram kesakitan.
“Kamu tahu nggak Zal,
siapa yang melempar bola basket ke arahku?” Tanya Zayn ke Faizal, temannya.
“Nah, itu dia. Kayaknya
nggak ada orang deh di sini. Teman-teman masih di kelas. Dan bola basket ini,
tadi terletak di sana. Kenapa tiba-tiba bisa melayang sendiri. Aneh.” Jelas
Faizal yang merasa lapangan basket sekolahnya angker.
Di sisi lain, Winda
masih terbayang-bayang kejadian yang ia lihat itu. Dia sudah menyiapkan beribu
pertanyaan kepada Lina, yang sepertinya berubah setelah menggunakan kaca mata
dengan frame warna merah darah itu.
Setelah lagu sayonara bergema tanda usai sekolah,
Lina dan Winda bergegas meninggalkan kelas. Lina terlihat berjalan lebih dulu,
dan kemudian disusul Winda. Saat berada di jalan raya, Winda mulai mengeluarkan
pertanyaan yang sudah membusuk di otaknya. Tetapi pertanyaannya terpotong saat
melihat sepasang kekasih yang berboncengan dengan motor, tiba-tiba ban
belakangnya meletus dan mengeluarkan suara yang cukup untuk membangunkan seekor
kucing malas yang ada di bawah pohon.
Lina pun tak
menghiraukannya, dia terus saja berjalan, Winda yang sempat berhenti karena
merasa kaget kemudian berlari mengejar Lina. Tatapan Lina masih sama seperti tadi
pagi, menatap orang yang sedang pacaran dengan tatapan penuh makna. Kali ini
Winda yakin, bahwa tatapan itu bukan tatapan iri tetapi tatapan mistis yang
membuat sepasang kekasih mengalami kesialan.
Ternyata dugaan Winda
benar, selang beberapa menit ada kecelakaan di depannya. Tak lain dan tak bukan
korbannya adalah sepasang kekasih yang berboncengan dengan sepeda tertabrak
oleh pengendara motor. Semua orang berduyun-duyun menolong mereka, dan Winda
pun sempat ingin menolongnya, tetapi melihat Lina yang seperti menggunakan kaca
mata kuda, tak melihat kanan kiri dan terus berjalan lurus, membuat winda
mengurungkan niat baiknya.
Karena tak kuat melihat
hal-hal yang membuat jantungnya berpacu sangat cepat, akhirnya Winda mengajak
Lina menganti arah jalan mereka menuju gang yang cukup sepi. Dengan alasan agar
Lina tak melihat orang yang sedang pacaran lagi. Saat suasana sepi dan
keberanian Winda sudah terkumpul, dia pun melanjutkan pertanyaan yang sempat
terpotong.
“Lin, kamu ngrasa nggak
sih kalau hari ini aneh.”
“Banyak sekali hal
ganjil yang ku lihat.” Kata Winda yang memandang ke arah Lina.
“Pertama, tatapan
matamu saat melihat orang yang sedang dimabuk cinta. Kedua, saat kamu menyiram
air muka ke Zayn dan ketiga…..” Kata Winda yang terpotong.
“Melihat bola basket
melayang dengan sendirinya dan mengenai kapala Zayn?” Lina pun bisa menebak apa
yang akan ditanyakan oleh Winda.
“Dan kenapa kamu tadi
diam aja, padahal di depan kita ada kecelakaan.”
“Itu bukan urusan kita.
Salah siapa pacaran di jalan. Mengganggu ketertiban lalu lintas.” Jawab Lina
yang membalas tatapan Winda dengan senyum licik khasnya.
Keesokan paginya, Winda
berangkat ke sekolah dengan waktu yang tak lazim. Dia berangkat dari rumah
pukul 05.30, waktu yang sangat pagi untuk rumah yang berjarak kurang dari 2 Km
dari sekolah. Bulu kuduk Winda dipaksa berdiri dengan pikiran negatifnya saat
melewati lapangan basket, dia pun berlari menuju kantin tempat penjaga sekolah
beristirahat.
Di sana dia
mengintrogasi penjaga sekolah dengan pertanyaan yang sudah ia siapkan sejak
malam hari. Mengenai sejarah berdirinya sekolah, apakah bekas kuburan atau
bekas rumah sakit sampai dengan hal-hal yang berbau mistis yang pernah terjadi
di sekolahannya. Karena belum puas dengan jawaban penjaga sekolah, akhirnya
Winda memberanikan diri masuk ke ruang BP. Guru BP di sekolah Winda terkenal
memiliki indra ke 6, sering sekali di mintai tolong untuk mengeluarkan roh
jahat saat ada siswa yang kesurupan.
“Pagi Pak, maaf
mengganggu. Boleh saya masuk.” Sapa Winda sambil mengetuk pintu ruang BP.
“Iya silahkan masuk.”
Kata Pak Darko yang baru saja tiba di sekolah.
“Maaf Pak, saya mau
cerita tentang teman saya. Sepertinya Bapak kenal, namanya Lina.” Kata Winda
yang tak mau mengulur waktu untuk bercerita.
“Oh iya, Anak kelas 2 IPA 3 kan? Yang sekarang memakai kaca
mata red frame?”
“Iya benar sekali Pak.
Saya curiga, sepertinya ada hal gaib di kaca mata itu. Pasalnya setelah Lina
menatap orang yang pacaran pasti mereka akan sial.”
“Bapak mendengar berita
kecelakaan kemarin siang kan Pak?”
“Nah, salah satunya
itu.” Jelas Winda.
Pak Darko pun terdiam
dan mencoba menerawang. Tak berapa lama, pak Darko pun bercerita dengan mata
tertutup. Dia menceritakan bahwa sebenarnya pemilik kaca mata red frame itu
sudah meninggal. Penyebab kematian gadis malang yang bernama Deata itu karena
ulah pacarnya. Dia mempunyai pacar satu sekolahan, dan si cowok mengharuskan Deata
menggunakan lensa mata agar terlihat lebih modis. Deata pun mengiyakan dan
akhirnya kaca mata Deata disita si pacar. Tak sampai disitu, Deata pun
memata-matai si pacar, saat pacarnya tak mau mengantar dia pulang. Ternyata si
pacar memiliki selingkuhan yang masih satu sekolah dengan dia. Melihat hal
seperti itu, hati Deata terguncang, dia pun mengendarai motor dengan kecapatan yang
tinggi dan dengan konsentrasi yang buyar. Dan akhirnya dia tertabrak mobil saat
menghindari orang yang sedang menyebrang jalan. Nyawa Deata pun tak tertolong,
dan kaca mata yang dibawa pacar Deata dijual karena si pacar terus dihantui
arwah kekasihnya itu.
Kata pak Darko, siapa
saja yang memakai red frame peninggalan Deata akan merasa sebal jika melihat
orang yang sedang pacaran. Hal yang paling mengerikan, si pemakai kaca mata
secara tidak sadar akan menyiksa orang yang ia sukai.
“Astaga, Zayn.” Kata
Winda yang teringat peristiwa yang dialami Zayn kemarin.
“Lina menyukai Zayn?”
Tanya pak Darko dengan membuka matanya.
“Itu sangat berbahaya.
Mereka satu sekolahan otomatis mereka sering bertemu dan Zayn akan mengalami
kesialan saat bertemu dengan Lina.” Jelas pak Darko lagi.
“Apakah Zayn bisa
terbunuh karena Lina?”
“Tidak.”
“Incaran Deata adalah
kekasihnya. Mungkin jika Lina bertemu dengan kekasih Deata, dia akan mengalami
gejolak yang luar biasa dan bisa membunuh kekasih Deata itu. Entah dengan
kekuatan magis atau dengan tangannya sendiri.” Jelas pak Darko.
“Lantas siapa kekasih
Almh. Deata itu Pak?”
“Aku tidak tahu.” Kata
pak Darko yang tak bisa menerawang siapa kekasih pemilik red frame.
“Waduh, bisa gawat ni.”
Kata Winda yang terlihat bingung.
“Kamu harus membawa
Lina ke rumah Deata. Berikan kaca mata itu ke orang tua Deata. Hanya Lina dan
orang tua Deata yang mampu melepas red frame itu. Sedangkan Lina dia merasa
terlihat cantik dan tak ingin melepas red frame dari matanya.” Jelas pak Darko.
“Jadi setelah Lina
melepas red frame, semuanya akan berjalan seperti biasanya lagi kan Pak?”
Pak Darko pun menganggukan
kepala. Setelah mencoba menerawang lagi, pak Darko menuliskan sebuah alamat di
selembar kertas dan diberikan ke Winda. Setelah mendapat beberapa penjelasan
dari pak Darko, Winda pun menuju ke kelasnya, yang pasti setelah mengucapkan
beribu terimakasih kepada guru BP itu.
Sepulang sekolah,
dengan terlihat terburu-buru Winda berlari menuju rumahnya. Setelah pakain
seragam yang ia kenakan terlepas dari badannya dan diganti dengan kaos oblong
warna biru dan celana selutut berwarna abu-abu, Winda mengeluarkan beat kesayangan ibunya. Walaupun sempat
dilarang sang ibu karena belum mempunyai SIM, dia tetap nekat membawa kabur Honda beat itu
ke rumah Lina.
Setelah segala jurus ia
keluarkan untuk membujuk Lina, akhirnya dengan sedikit ragu Lina mau menemani
Winda ke rumah saudaranya. Layaknya sebuah sinetron, Winda berpura-pura bahwa
saudara jauhnya sakit, dan dia tak berani ketempat saudaranya itu jika sendiri.
Di sepanjang jalan
menuju rumah saudara palsu Winda, mulutnya terlihat tak berhenti mengucap doa.
Dia terlihat takut saat memboncengkan Lina, bukan karena takut tertangkap
Polisi dan ditilang, tetapi karena takut yang diboncengkan saat ini bukan Lina
yang sebenarnya.
Hati Winda pun dibuat
gelisah saat berpapasan dengan sepasang kekasih di seberang jalan yang ia
lalui. Karena tak tega melihat nasib mereka, tiba-tiba Winda menghentikan
motornya dan mengajak Lina berbicara.
“Aku tahu di dalam
agama kita yang namanya pacaran itu dilarang. Dan kamu bukan hakim mereka yang
dengan seenaknya membalas perilaku menyimpang mereka.”
“Jadi hentikan semua
ini, jangan buat mereka bernasib sial. Biarkan Yang Maha Esa yang membalas
perilaku mereka, bukan kamu Deata!” Kata Winda dengan keberanian yang tinggi
memanggil Lina dengan sebutan Deata.
Tatapan mata Lina pun semakin tajam mengarah
ke Winda, saat dia dipanggil dengan sebutan Deata. Winda pun gemetar melihat
tatapan itu dia takut akan bernasib sial seperti nasib sepasang kekasih tadi.
Winda mencoba menghiraukannya dan bergegas melanjutkan perjalanan ke rumah ibu
Deata. Lina pun seperti tersadar, pengaruh red frame itu sedikit hilang dan dia
terlihat sedikit lebih tenang saat berpapasan dengan sepasang kekasih yang
lain. Panggilan Deata dari Winda membuat pengaruh red frame itu sedikit
menghilang.
Tak berapa lama mereka
sudah tiba di rumah yang terlihat kuno dari yang lainnya. Winda mengajak Lina
masuk ke rumah itu. Dengan suara lirih Winda mengucap salam dan mengetuk pintu
rumah itu. Dengan cepat sesok ibu setengah baya membukakan pintu rumahnya.
Terlihat kebingungan di
wajah ibu itu saat melihat orang asing bertamu di rumahnya, terlebih lagi
melihat Lina yang tiba-tiba menangis melihat Ibu Deata di depannya. Setelah
dipersilahkan masuk, mereka pun duduk di sofa yang bisa dibilang empuk dari
pada jok montor beat Winda.
Setelah Winda
menjelaskan maksud kedatangannya dan Ibu Deata paham apa yang harus ia lakukan,
dengan mata yang berkaca-kaca dia berbicara kepada Lina.
“Wahai anakku Deata,
apa kabar Nak? Ibu kangen sama kamu.” Sapa sang Ibu dengan membelai lembut rambut
Lina.
“Bukankah di sana kamu
nyaman, kenapa ke sini lagi?”
“Apa yang
menghantarkanmu ke sini? Apa karena ingin membalas Lay?” Kata sang Ibu yang
menyebutkan nama pacar anaknya.
“Sudahlah Nak, Ibu
sudah ikhlas melepasmu pergi. Dan ambil sisi positif dari Lay, mungkin Tuhan
tidak rela membiarkan kamu terus menerus disakiti dan ditipu oleh Lay, dan
akhirnya Tuhan mengambil nyawamu dalam sekejap.”
“Ibu sayang kamu Nak,
apakah kamu sayang sama Ibu? Kalau kamu sayang sama Ibu, kamu harus pergi dan
tunggu Ibu di pintu surga.” Kata ibu Deata yang tak mampu membendung air
matanya.
Air mata Lina pun terus
mengalir, Deata yang ada di dalam tubuh Lina merasa bersalah atas kejadian yang
dialami orang-orang karena dia terlebih lagi setelah mendengar suara ibunya
yang dengan penuh kasih sayang menasehati dirinya. Setelah Lina mulai tenang,
ibu Deata pun melepas kaca mata yang di pakai Lina, tiba-tiba saja Lina jatuh
pingsan. Setelah mengelap air mata, Winda langsung menolong temannya itu.
Setelah diberi
pertolongan pertama, Lina pun tersadar dan merasa bingung dengan tempat asing
di mana ia berada sekarang. Winda pun memberikan kaca mata lama Lina yang
secara diam-diam ia ambil saat berada di rumah Lina. Setelah sedikit berbincang
dan mengucapkan terimakasih karena telah banyak membantu, mereka pun pamit dan
bergegas pulang.
Di perjalan pulang,
mulut Winda juga terlihat tak berhenti bergerak. Bukan untuk membaca doa
seperti saat berangkat tadi, melainkan menceritakan kronologi yang membawa
mereka ke rumah itu.
Pagi harinya, dengan
wajah sumringah Lina berangkat sekolah senidiri, dia merasa lebih baik dari dua
hari sebelumnya. Saat melunasi hutang kaca mata, dia sempat berpesan kepada
pemilik optic agar tidak menjual frame bekas, karena setiap barang bekas pasti
ada kenangan tersendiri dan pasti akan berpengaruh terhadap orang yang
memakainya.
Sesampainya di lobi
sekolah, jantung Lina kembali berdegub tak beraturan karena berpapasan dengan
Zayn. Setelah berlatih semalaman untuk sekedar meminta maaf, akhirnya dia
berhasil mengendalikan kegugupannya itu.
“Zayn.” Sapanya.
“Ini, aku minta maaf
soal yang kemarin ya. Sungguh itu diluar kuasaku.” Kata Lina yang memberikan
sapu tangan kepada Zayn.
“Oh, it’s oke.” Zayn
langsung mengambil sapu tangan yang Lina sodorkan.
“Besok lagi kalau mau
nyiram orang jangan pakai air ya.” Kata Zayn yang membuat bingung Lina.
“Terus pakai apa?”
Tanya Lina penasaran
“Pakai cinta yang
tulus.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :