Gelisah
… lanjutan
ke-4
Gelisah,
badan lemas serasa tak punya kekuatan kurasakan hampir lebih 2 pekan. Termasuk
ketika menunggu berita mas Wahyu yang hari itu akan bertamu. Apa yang mereka bicarakan, bagaimana
keputusan dan masih banyak pertanyaan yang terlintas dibenakku.
Ku coba
menghubungi teteh menanyakan kondisi rumah, dan jawaban teteh semakin membuatku
penasaran. Hingga akhirnya ada pesan masuk dari ustadzah Eka yang membuatku
tambah kacau,
“Alhamdulillah,
barakallah mas Wahyu minta minggu ini khitbahnya, antara Sabtu atau Ahad,”
“kalau hari
Sabtu, Ahadnya mas Wahyu balik ke Lombok pun sebaliknya.”
Hello… Secepat itukah, baru kemarin ketemu udah mau
dilamar saja, berilah aku sedikit waktu untuk bisa bernafas, makan dan tidur
dengan nyenyak dan pastinya sholat istikharah.
Tubuhku
semakin gemetar seolah tak punya daya kekuatan karena memang akhir-akhir itu
hanya beberapa suap nasi yang masuk ke perut. Aku langsung menghubungi mas
Raka, menyampaikan keinginanku, bahwa aku belum siap dilamar masih butuh banyak
pertimbangan diundur saja sampai bulan Februari.
“Mas Wahyu
pengen secepatnya San, biar tenang kalau sudah mengkhitbahmu,” kata mas Raka
sesudah dia menghubungi mas Wahyu.
“Tapi ya
jangan secepat itulah,”
“Mas Wahyu
bisa pulang kapan saja kan? Nah itu bulan Februari ada tanggal merah,”
“Apa yang
membuatmu meminta bulan Februari?” Tanya mas Raka.
“Biarkan
saya bernafas dulu, sekalian pengen sholat istikharah,”
“Pekan ini
aku halangan sampai besok Sabtu, jadi belum bisa sholat,” ucapku.
“Hlah, kok
sholat istikharah, apa yang membuatmu masih ragu dari mas Wahyu?” Tanya mas
Raka serius.
“Sampai
sekarang belum ada, tapi nggak ada salahnya kan sholat Istikharah biar makin
mantab,” jawabku.
“Ya sudah,
sholat istikharahnya dengan niat memantabkan hati saja kalau begitu.”
“Makanya itu,
bulan Februari saja ya Khitbahnya sampaikan ke mas Wahyu,” ucapku dengan
memelas.
“Lebih
cepat lebih baik San, coba nanti diskusikan dulu dengan keluarga,” kata mas
Raka menyudahi pembicaraan kami.
Bel pulang
pun berbunyi, hujan masih turun dengan derasnya. Sebelum pulang kerumah, aku
mampir ke sebuah warung makan untuk mengisi lambung bersama sahabat tercinta,
tiba-tiba handphone berbunyi ada sebuah pesan dari bapak yang menanyakan
keberadaanku sekarang. Ya mungkin mereka ingin cepat-cepat menceritakan kejadian
tadi pagi denganku.
Sesampainya
di rumah, dengan sumringahnya mereka menceritakan kejadian tadi pagi, dan
mengajakku kerumah pakde untuk menanyakan kapan siap menerima tamu. Dan entah
kenapa saat itu, aku tak mengungkapkan keinginanku untuk mengudurkan lamaran
hingga awal Februari.
Di rumah
pakde pun aku dibuat gemetar ketika tiba-tiba mereka juga mencarikan tanggal
pernikahan kami, dilamar aja belum sudah
membicarakan tanggal pernikahan. Dan yang membuatku tercengang bukan bulan
April yang mereka tentukan tetapi malah bulan Maret, lebih cepat dari saran ust
Eka.
Pembicaraan
mereka pun sudah mengarah ke pernikahan sedangkan memikirkan dilamar saja saya
sudah tidak karuan apa lagi memikirkan hal itu, kode pun ku berikan agar
menyudahi percakapan dan kembali pulang.
Ku
sampaikan semua pembicaraan tadi kepada mas Raka untuk diteruskan ke mas Wahyu.
Entah apa respon mas Wahyu dan keluarga mengetahui hal tersebut, yang jelas
saat itu pikiranku kacau, detak jantung terasa sekali, kucoba beberapa kali
mengatur nafas tapi masih saja detak jantung berdecak lebih cepat dari
biasanya.
Sebenarnya
bukan masalah keraguan kepada mas Wahyu, tetapi hanya masalah waktu dan masalah
pikiran. Aku terlalu berat memikirkan masa depan hingga tidak bisa menikmati
masa sekarang. Pikiranku terbang melayang, memikirkan bagaimana besok saat
bertemu bapak dan ibunya, yang sebenarnya aku sudah pernah bertemu dengan mereka.
Tetapi dulu karena masalah pekerjaan dan besok tentang masa depan.
Bagaimana respon mereka kepadaku, apakah mereka setuju
putranya akan menikah denganku. Apa pertimbangan mereka setuju dan masih banyak
lagi pikiran yang meghantui ku saat itu.
Tetapi ada
hikmahnya kenapa khitbah itu dipercepat, biar rasa gelisah yang kurasakan
segera berakhir digantikan hari hari penantian dengan berbagai persiapan. Semua
yang terjadi di dunia ini penuh dengan hikmah, seperti pesan dari Ibnul Qayyim,
“Andaikata kita bisa menggali hikmah
Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari
ribuan hikmah (yang dapat kita gali). Namun akal kita sangatlah terbatas,
pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika
dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah
sinar matahari.”
Hari yang
menegangkan part 1 pun tiba, ya part 1
karena besok bakal ada part berikutnya yang lebih menegangkan, berkujung ke
rumah calon mertua untuk pertama kali, cari seserahan bersama saudaranya
mungkin dan lain sebagainya. Banyak kejutan dan ketegangan yang terjadi ketika
memilih untuk ta’aruf dan kalau bisa terlewati rasanya nikmat sekali, bisa
senyum senyum sendiri ketika flash back.
Sebuah
mobil xenia biru memasuki halaman rumah, gemetar dan salah tingkah tak bisa ku
tutupi ketika rombongan satu persatu turun dari mobil. Alhamdulillah tidak
semenakutkan yang saya bayangkan ketika pertama kali berjabat tangan dan
mencium pipi ibu dari mas Wahyu.
Pertemuan
pun dilanjutkan di dalam rumah, dari keluarga saya sudah mengundang tokoh
masyarakat untuk ikut bermusyawarah. Semua berjalan dengan lancar hingga ketika
aku ditanya mau kah menerima pinangan dari mas Wahyu, seketika bingung mau
jawab apa, karena nggak ada kordinasi sebelumnya, dan dari cerita teman ketika
lamaran pun dia tidak ikut terlibat di dalamnya. Dengan malu malu tapi mau, aku
pun mengiyakan tawaran tersebut.
Setelah
sepakat tanggal, dan pemberian cinderamata berupa cincin yang dipasangkan ibu
mas Wahyu, obrolan dilanjutkan dengan makan siang bersama. Aku langsung masuk
ke dalam dan yang lain mengantri mengambil makan siang. Semua menawariku makan,
tapi saat itu aku menjawab nggak doyan makan sudah kenyang karena hati senang,
gubrak padahal tempo lalu aku yang minta diundur aja lamarannya, setelah
dilamar ternyata sedikit ada rasa plong di hati.
Ya
begitulah setan, selalu membisikan rasa was-was dalam hati manusia, sehingga
manusia merasa khawatir dan takut untuk melangkah, terlebih niat baik untuk
beribadah (menikah) pasti setan lebih giat lagi dalam berusaha agar rencana
baik itu tidak terlaksana, na’udzubillah mindzalik, mari senantiasa berdoa agar
hajat kita dipermudah dan dijauhkan dari godaan setan terkutuk.
“Katakanlah, ‘aku berlindung kepada Tuhannya manusia. Raja
manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi.
Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan
manusia.” (Qs. An-Nas: 1-6)
Setelah
proses khitbah, rasanya nggak canggung lagi untuk memikirkan proses
selanjutnya, mencari rias, undangan, poto dan lain sebagainya. Sempat bingung
juga bagaimana mengurus semua ini, apa boleh saya diskusi dengan mas Wahyu.
Pertanyaan itu aku tanyakan ke beberapa teman yang sudah menikah, kebanyakan
mereka menjawab ada yang diurus bersama ada yang diurus sendiri, dan itu tidak
memberi solusi dari pertanyaanku justru membuatku semakin bingung.
Hingga
akhirnya kuberanikan untuk bertanya kepada dia, canggung? Iya pakai banget,
awal mula tegur sapa di WA pun masih kaku dan malu, tetapi bagaimana lagi
daripada pusing sendiri mending dikomunikasikan. Terlebih lagi setelah proses
khitbah kita diperbolehkan komunikasi untuk membahas persiapan-persiapan
pernikahan yang kadang di sela sela membicarakan persiapan ada guyon yang
diselipkan, hehe jangan dicontoh ya.
Setelah
dikhitbah, rencananya kami menyembunyikan berita bahagia tersebut tetapi
ternyata mereka mengetahui dengan sendirinya jika aku sudah di khitbah dari
jari tengah yang sudah tercincini dan makanan yang aku bawa ke kantor, seperti
biasa ketika ada acara jika ada sisa makan selalu ku bawa ke kantor, biasanya
acara pengajian tetapi ini langsung ketebak habis lamaran.
Berita
bahagia memang cepat sekali menyebar, walaupun banyak yang tahu saya sudah di
lamar tetapi mereka tak paham siapa yang melamar. Identitas masih saya
rahasiakan, mas Wahyu sendiri pun juga ingin merahasiakan identitasnya, agar
ketika kita menyebar undangan mereka terkejut mengetahui siapa calon saya yang
ternyata dahulu adalah rekan kerja mereka.
Tetapi ya
begitulah, Januari belum berakhir identitas mas Wahyu pun sudah tersebar.
Respon mereka selain kaget, Alhamdulillah mendukung kami dan mendoakan
kelancaran acara kami.
“Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada
saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab
(terkabul). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang
bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan
kebaikan, malaikat tersebut akan berkata : ‘aamiin, engkau akan mendapatkan
semisal dengan saudaramu tadi.’” (HR. Muslim)
Teruntuk
saudaraku semuslim, mohon doanya untuk niat baik kami. Semoga segala persiapan
menuju akad nikah diberi kemudahan serta kelancaran oleh Allah Swt. dan kelak
setelah menikah semoga kami bisa membangun keluarga yang sakinnah mawadah dan
rahmah. Aamiin.
Dan
teruntuk single lillah tetaplah istiqamah dalam memperbaiki diri, percayalah
semua orang memiliki ceritanya sendiri dalam menemukan sang pujaan hati yang
selama ini dinanti. Saya tunggu cerita dari kalian, semoga bisa menginspirasi
saudara muslim lainnya. Semoga diberi kemudahan serta kelancaran dalam segala
urusan, aamiin.
Terimakasih
sudah membaca cerita kami, mohon maaf jika ada yang kurang berkenan ambil
positifnya dan buang jauh-jauh sisi buruknya. Semoga bermanfaat.
***