Rabu, 03 Desember 2014

Shaheer I Love U


SAHEER I LOVE U


“Kikuk! Bangun!!” Teriakku.
“Entar kali Ntis, masih jam tuju kan?” Katanya dengan mata yang masih tertutup.
“Hey, kuliah kita masuk jam setengah delapan sedangkan mandimu setengah jam lebih, kita bisa terlambat! Cepat bangun!” Teriakku dengan menggoncang tubuh Kikuk.
“Hari ini aku bolos kuliah aja, badanku pegel semua ni!”
“Ya udah aku berangkat dulu!”
“Awas aja kalau nanti aku pulang kamu masih tidur, gue guyur lo pakai uang recehan!” Acamku sambil berjalan menuju pintu keluar kos.
“Tahu aja kalau aku lagi butuh uang recehan.” Katanya yang meladeni omonganku.
“Hey, ni anak walaupun tidur kalau denger uang masih aja nyaut!” Kataku yang kemudian menutup dan mengunci pintu kos.
Kikuk adalah teman satu kos ku, yang kebetulan satu jurusan denganku. Nama aslinya sebenarnya Kiki dan namaku Tisya tetapi dipanggil Ntis. Gue panggil Kiki dengan sebutan Kikuk karena kebiasaannya yang nggak bisa bangun pagi, makanya aku memanggilnya Kikuk, nggak nyambung ya?? Tapi agak nyambung kok! Kan dia nggak bisa bangun pagi, nah dia usaha banget biar bisa bangun pagi dengan pasang beberapa alarm yang bunyinya menyerupai ayam, makanya aku memangilnya Kikuk, seperti suara ayam kan? Kikukruyuk, petok, petok.. :D. Dan dia memanggilku Ntis karena dulu mantanku namanya Entong, jadi biar kelihatan cocok dia panggil aku Entis, nyambung nggak? Nyambung kayaknya.
Asik banget deh kalau ngomongin sobatku yang satu ini, selalu bikin ketawa dan bikin kesel juga. Masak satu bulan lamanya, dia nggak makan? Maksudku, nggak ngeluarin uang buat makan, jadi kalau makan ngrecohin jatahku. Yang biasanya aku habis dua paha ayam, sekarang jadi satu setengah paha ayam, yups si Kiki nggak mau kalau ku kasih satu sekaligus, katanya nggak enak sama aku, dan takut kalau aku jadi kekurangan gizi??? Kayaknya itu sindiran deh, padahal berat badanku 65 kilogram dengan tinggi 150 cm, bagaimana menurut kalian guys? Apakah gue bisa kekurangan gizi karena kehilangan tiga paha ayam dalam sehari? Kirim jawaban kalian, dengan format PAA[spasi]ya/tidak kirim ke 71715, kirim yang banyak ya biar bisa menangin hadiah satu paha ayam beserta ayamnya??? #hloh.
Oh iya ngomongin tentang PPA, Panah Asmara Arjuna, gue suka banget nonton tu acara, walaupun sebenarnya gue nggak suka lihat Mahabarathanya soalnya tu acara sarat dengan perang, ya iyalah sejak SMP gue tahu Mahabaratha itu identik dengan Barathayuda, dan gue nggak suka kekerasan, tapi ada kejadian dimana gue harus melihat banyak sekali kekerasan dalam sebuah tayangan. Ceritanya begini, gue diajak abang lihat film di bioskop, mungkin abang gue tahu kalau adeknya yang manis ini belum pernah lihat film di bioskop, dan abang gue pengertian banget, dia tahu selera film yang gue suka dan judulnya itu adalah the Raid Brandal 2, bayangkan saja pemirsa, bagaimana enjoynya saya milihat film itu. Saking menikmatinya, jantung gue berdetak kenceng banget, dan beberapa kali gue nelen ludah sambil pura-pura bersihin kaca mata, ya intinya buat ngilangin ketegangan yang gue alamin selama kurang lebih dua jaman, sumpah nyesek banget waktu itu!
Beda banget sama si Kiki, dia suka banget sama film action seperti itu, katanya sih keren dan bisa nambah ilmu bela diri. Tetapi walaupun dia suka film action, dia juga pencinta drama romantis dari negeri Gingseng, yups drama Korea dan dia anti banget sama yang berbau India.
“Ngekk.” Suara pintu kos yang ku buka pelan-pelan.
Kebetulan banget hari ini hanya ada 2 mata kuliah, jadi aku bisa pulang ke kos dengan cepat.
“Pagi, Ntis!” Sapa Kikuk yang kali ini terlihat lebih cerah dan segar dari sebelumnya.
“Dah sadar kamu Kuk?” Kataku pelan.
“Iya lah, happy banget aku hari ini, nggak nyangka kemarin bisa lihat konser CN-Blue langsung.” Kata Kikuk dengan sumringahnya.
“Haha, senengnya cuma sehari nyeseknya satu bulan.” Sindirku.
“Oh iya, makasih ya selama satu bulan sudah mau berbagi lauk denganku.”
“Dan mulai sekarang aku nggak akan ngrecohin kamu lagi, malah sekarang aku mau nraktir kamu.”
“Ayuk Ntis!” Ajak Kikuk dengan menarik tubuhku yang sudah menyatu dengan kasur busa yang ketebalannya sudah menyusut.
“Ah, males Kuk! Aku mau tidur aja!”
“Jangan tidur dulu Ntis, aku pengen bagi kebahagiaan sama kamu.”
“Em.m kalau begitu tratktirannya besok aja deh, tapi jangan tidur dulu, aku pengen nunjukin poto-poto kemarin.”
“Oke, mana fotonya.” Kataku dengan mengangkat kepala agar posisi kepala lebih tinggi dari badan.
“Ini hlo, ntar gesernya ke samping kanan!” Katanya yang seperti menganggapku gaptek.
Perlahan-lahan ku lihat poto dari hp si Kikuk, dan saking seriusnya posisi tubuhku ku ubah, sekarang menjadi duduk bersila dengan mata yang masih menatap ke layar Hpnya.
“Gimana seru kan kemarin?” Tanyanya penasaran.
“Ini mana yang namanya Min, Min siapa?”
“Minhyuk maksudmu?”
“Yups si Minhyuk, mana? Kok ini poto isinya penonton semua. Bawa lampu warna biru lagi.” Kataku dengan bingungnya.
“Andai gue beli tiket VIP, pasti gue bisa foto sama pacarku itu. Tapi dengan uang lima ratus ribu yang gue kumpulin satu bulan itu, gue dapat tiket kelas 2.”
“Jadi ya itu yang bisa aku foto.” Katanya dengan sedih.
“Eh, walaupun nggak bisa foto sama pacarku, tapi aku seneng banget bisa lihat dia dengan mata kepalaku sendiri, tanpa perantara layar kaca!” Mood Kikuk pun berubah, dari yang awalnya sedih mendadak menjadi happy, dasar labil.
Aku pun mengambil handphone yang dari tadi belum ku keluarkan dari tas. Dan ku buka galery ku dan ku tunjukan kepada Kikuk.
“Apaan ini Ntis.” Tanyanya bingung.
“Itu Shaheer Sheikh.” Kataku dengan senangnya.
“Nih. Ngapain kamu tunjukan ke aku.” Kata Kikuk dengan mengembalikan Hpku.
“Itu asli dari kamera Hp ku hlo! Dengan biaya hanya dua ratus ribu rupiah, gue bisa sedekat itu dengan Arjunaku.” Kataku dengan bangganya.
“Masak sih? Gue nggak percaya.” Katanya yang kemudian mengambil Hp ku lagi.
“Asli hlo! Tanpa pemanis buatan!”
“Bahkan aku bisa bersalaman dengan tokoh pandawa lima lainnya. Nggak ada jarak deh antara artis dan penontonnya.” Kataku dengan santainya.
“Andai tiket K-Pop harganya semurah harga tiket Mahabaratha Show.” Kata Kikuk dengan wajah yang nampak kecewa.
  Setelah hari itu, dimana aku tunjukan poto Saheer yang tampak manis di hand phone ku, perlahan tapi pasti Kiki mulai terpesona dengan pemeran Arjuna itu. Aku tahu walaupun mulutnya selalu keluar nama-nama yang sulit untuk diucapkan dan asing untuk didengar apa lagi kalau bukan nama artis-artis Korea, tapi aku yakin dalam hati dan pikirannya selalu ada nama Saheer.
Kenapa aku bisa menyimpulkan seperti itu? Karena aku sudah lama mengamati glagat mencurigakan dari si Kiki, contohnya malam itu, seperti biasanya setelah jam menunjukkan pukul delapan remote tv selalu ku kuasai, dan anehnya si Kiki tak memberontak dia malah asik ikut nonton denganku. Tak tampak raut kesal di wajahnya, tetapi dia malah asik dan khusyuk melihat Navya, lebih khusyuk dariku. Sambil lihat tv aku mengerjakan tugas kuliah yang belum kuselesaikan, berbeda dengan si Kiki. Mata dan perhatiannya tak lepas dari televisi.
Biasanya jam-jam segitu, si Kiki muter lagu Korea dengan sangat keras, apa ya judulnya? Aku nggak terlalu ingat tapi ada sedikit lirik Inggrisnya, gini liriknya sorry, sorry, sorry terusannya aku nggak hafal. Lagu dari Super Junior kan? Judulnya Sorry-sorry? Bener kan? Pinter juga si Kiki, dia mengganggu konsentrasiku saat melihat Navya, dan lagunya pas banget soal minta maaf, jadi aku nggak bisa marah dengannya, haha ngasal banget ya aku padahal aku nggak ngerti arti dari lagunya, yang ku tahu cuma arti sorry sorry :D.
Sebenarnya nggak cuma si Kiki yang jadi korban demam India, aku pun begitu. Karena Kiki mengenalkanku dengan artis-artis dan drama Korea favoritnya, aku jadi kepincut sama drama Korea. Layaknya siombiosis yang saling menguntungkan, Kiki jadi suka India dan aku jadi tertarik dengan Korea.
Dia menunjukan beberapa photo idolanya itu kepadaku. Ada Minhyuk, Lee Min Ho, dan masih banyak lagi (aku nggak bisa mengingat nama-nama mereka, susah!). Dan aku di beri PR untuk melihat drama Korea dengan judul The Heirs, aku harus menyelesaikannya dalam waktu satu Minggu, katanya sih nggak bakal nyesel kalau lihat itu drama, karena ceritanya Sweet banget.
“Ntis, ntar perangnya yang menang siapa? Pandawa atau Kurawa?” Tanya Kiki di suatu malam saat ia tengah asik melihat Mahabaratha.
“Astaga! Nilai Bahasa Jawamu berapa sih?”
“Pandawa lah yang menang!” Jawabku dengan sedikit kesal.
“Ih, si Ntis! Aku kan dari Riau, bukan dari Jawa!” Katanya.
“Oh, iya lupa aku!”
“Terus si Karna nanti mati nggak Ntis? Kasihan ya dia, harus berperang melawan adik-adiknya?” Tanyanya lagi.
“Iya nanti dia mati di tangan Arjuna.”
“Sedih deh aku, kenapa dia harus mati? Tapi tak apalah, yang penting Arjuna nggak mati.” Ini anak demam Indianya sudah melampaui batas normal!
“Terus Duryudana gimana? Siapa yang membunuh dia?”
“Ah! Jangan banyak tanya! Lihat aja tanyangan Mahabarathanya sampai tamat, nanti kamu juga akan tahu sendiri!” Kataku dengan sedikit membentak.
“Iya, ya. Maaf.”
“Habisnya aku penasaran banget.” Katanya.
Suasanapun jadi tenang, Kiki asik nonton Mahabaratha dan aku asik sendiri di depan laptop, apalagi kalau bukan lihat the heirs. Tetapi tiba-tiba aku diserang virus kantuk dan alhasil aku tertidur di depan laptop. Kiki tak berani membangunkannku, mungkin karena aku tadi membentak dia, jadi dia mengira aku sedang marah.
Lama-kelamaan badanku terasa pegal dan sakit, dengan kesadaran yang minim ku coba untuk bangun dan membaringkan badanku di atas kasur busa, tak lupa ku lihat jam dinding yang berada persis di depanku.
Oh, jam sebelas.
Selain melihat jam dinding, bola mataku pun bergerak ke kanan. Terlihat cahaya yang berganti-ganti warnanya, kadang merah kadang kuning atau biru, ku pikir itu aurora tapi tak mungkinlah, masak aurora ada di daerah khatulistiwa!
Setelah ku perhatikan dengan saksama, ternyata cahaya itu dari televisi yang di lihat Kiki.
Ya ampun Kikuk, jam segini masih lihat TV.
Perlahan kelopak mataku menutup dengan sendirinya, ku nikmati saat-saat perpindahan dari alam nyata ke alam mimpi, begitu tenang dan damai walau ada suara yang menggangu konsentrasiku.
“Ih ya ampun, Ayu Tingting beruntung banget bisa deket sama Saheer. Bikin ngiri aja!”
“Ya, yah... Kok acara graha PAA udah kelar, kurang lama!”
“Ya udah lah, tidur aja.” Kata Kikuk yang kemudian menyusulku tidur.
“Ntis? Kok pindah? Bukannya tadi tidur di depan laptop? Wah nggak jadi tidur dengan bebas dong aku malam ini.”
“Awas aja kalau kakimu kemana-mana, kalau aku sampai jatuh dari kasur gue jitak Lo!”
“Ntis, dah tidur ya? Haloo?” Kata yang keluar dari mulut Kikuk tak ku gubris sama sekali walaupun aku  masih bisa mendengarnya.
“Kukuruyuk!!!!” Suara alarm hp Kikuk.
“Kuk, alaram.mu patenono!” Ucapku refleks.
“Ah, Kikuk!” Aku pun terbangun dan mencoba mematikan alarm yang dipasang Kikuk.
“Kukuruyuk!” Terdengar suara ayam di alarm yang lain, dan Kikuk masih saja molor.Karena kesal, ku ambil alarm itu dan ku tempatkan persis di atas telinga Kikuk.
“Iya Saheer aku di sini!” Teriaknya karena kaget!
“Hahah, Kikuk kamu mimpi apa?”
“Mimpi ngedate bareng Saheer? Haha.” Aku masih saja tertawa mendengar respon dari Kikuk.
“Ah, resek banget kamu! Lagi enak-enaknya mimpiin Saheer, e kamu bangunin!” Katanya dengan memanyunkan bibir.
“Salah siapa ayammu berbunyi terus!”
“Besok-besok lagi beli alarm yang bunyinya, Saheer I Love You, mungkin kamu langsung bangun begitu mendengar nama Saheer, jadi nggak perlu ada itu, itu dan itu.” Kataku dengan menahan tawa sambil menunjukan koleksi jam alarm yang ia punya.
“Ide bagus!” Katanya yang kemudian beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi.
“Hloh Kuk, aku dulu yang mandi! Mandimu kan lama!” Teriakku.
“Bodo amat!” Balasnya.
“Yah, dapat jatah ngunci kamar kos!” Kataku setelah keluar dari kamar mandi dan melihat Kikuk sudah berangkat.
Tak berapa lama setelah Kikuk berangkat, aku pun menyusulnya dan akhirnya kami tiba di kampus secara bersamaan. Tak banyak percakapan diantara kami, karena setelah tiba di kampus, pak dosen pun terlihat berjalan menuju kelas, aku dan Kikuk pun cepat-cepat masuk dan duduk di kursi.
“Pagi anak-anak!” Sapa pak dosen.
“Pagi Pak.” Balas aku dan yang lainnya.
Setelah memberi salam dan sedikit candaan kepada kami, beliau langsung menerangkan materi perpajakan. Dengan serius aku pun memperhatikan beliau, dan beliau dengan seriusnya juga menerangkan poin-poin penting tentang perpajakaan.
Tiba-tiba konsentrasiku buyar saat HP yang ku bawa di saku bergetar. Aku pun menghiraukannya, dan akhirnya getaran itu berhenti tetapi getaran itu mucul lagi, dan itu terjadi berulangkali kalau tidak salah sekitar lima kali. Ah benar-benar mengganggu!
Aku pun mengeluarkan Samsung Ace Duos dari sakuku, dan begitu kagetnya aku saat melihat wallpaper hpku adalah potonya Saheer.
Bukannya tadi malam setelah lihat the heirs wallpaperku, ku ganti Lee Min Ho ya, kenapa sekarang balik lagi ke Saheer lagi?
Oh, pasti ketuker sama Hpnya Kikuk.
Yups, Hp kami sama merk, tipe dan boddy. Ya intinya sama lah, malu aku untuk mengakuinya, pasaran banget ni Hp! Kami tidak membelinya di sebuah toko Hp yang lagi promo beli satu gratis satu hlo ya! Tapi secara tidak sengaja, Kikuk membeli Hp yang sama persis dengan Hpku.
“Stt.”
“Stt... Kikuk!” Sapaku pelan.
“Ya ada apa?” Dia pun membalas sapaanku dengan pelan.
“Hp mu ketuker sama Hpku.” Aku pun memberi kode kepada Kikuk dengan menujukkan Hp yang ku bawa.
“Ni Hp mu, sumpah ganggu banget!” Kataku seusai mata kuliah perpajakan usai.
“Pantesan aja ada yang kurang, kok Aak nggak telfon atau sms aku, eh ternyata yang ku bawa itu Hp mu.”
“Sumpah Hp mu sepi banget!” Ejeknya.
“Ya, nggak papalah sepi yang penting aku hepy.” Kataku yang mencoba menghibur diri.
Hari berganti hari, dan liburan semesterpun akan datang, yeah saat-saat yang ditunggu mahasiswa perantauan untuk kembali ke tanah kampungnya.
“Ntis, sebelum aku pulang ke Riau, aku mau melunasi hutangku ke kamu.” Kata Kikuk.
“Hutang apa?”
“Kamu nggak punya hutang?”
“Kan aku janji mau tratkir kamu gimana sih?” Katanya.
“Oh iya, oke siap, kapan?”
“Di tempat yang mahal ya.” Kataku.
“Beres!”
“Tapi aku ngajak Bagus ya, pacarku!”
“Sekalian ku kenalin ke kamu.” Katanya dengan semangat.
“Terus kamu pacaran gitu, terus aku gimana?”
“Nggak lah, pacaran nggak bikin kenyang, kita kan mau makan!”
“Kalau kamu nggak nyaman, kamu ngajak Entong juga aja, kan jadinya double date.” Lagi-lagi Kikuk mengejekku.
“Ih, jangan manyun gitu dong Ntis, jelek tahu! Jangan nangis juga!”
“Apa perlu aku nyanyiin biar kamu nggak sedih?”
“Mengapa engkau waktu itu putuskan cintaku, dan saat ini engkau selalu ingin bertemu, dan mengulang jalin cinta. Mau dikata kan apalagi, kita tak akan pernah satu, engkau di sana aku di sini meski hatiku memilihmu.”
“Cukup! Suaramu nggak enak di dengar!” Kataku yang membuat Kikuk berhenti bernyanyi.
Hari yang kutunggu pun tiba, yups hari ini dapat makan gratis dari si bawel Kikuk. Lumayan lah bisa menghemat uang sakuku, jadi sisa uang sakuku bisa kugunakan untuk liburan minggu depan, asek asek josh.
Sudah tiga hari lamanya, aku memilih untuk pulang ke Klaten dan menyerahkan kos beserta isinya ke Kikuk, niat baik ku pasti dicatat sama yang Di Atas. Aku ingin Kikuk merasakan bebasnya tidur di kasur sebelum dia pulang ke Riau, aku ingin dia membawa cerita tentang kebaikanku selama ini ke keluarganya, haha. Nggak ikhlas banget niat gue :D.
“Maaf terlambat, soalnya kena lampu merah terus.” Kataku sesampainya di sebuah cafe di daerah Jogja.
“Iya nggak papa.”
“Oh iya, kenalin. Ntis ini Bagus, Bagus ini Ntis, eh maksudku Tisya.” Kata Kikuk yang memperkenalkan aku dengan Bagus.
“Senang berkenalan denganmu.” Kataku yang menirukan gaya berbicara orang Korea kalau bertemu dengan orang baru.
“Hahahah, nggak usah sok sopan lah Ntis! Nggak pantas.” Kata Kikuk.
“Wah, Kuk pacarmu gagah juga ya.” Aku pun mengeluarkan watak asliku yang selalu ngomong ceplas-ceplos.
“Iya dong.” Katanya dengan sombong.
“Sahabatmu manis juga ya Ki.” Kata Bagus.
“Nggak!”
“Lebih manis aku!” Ucap Kikuk yang membuatku menahan tawa karena melihat ekspresi cemburu dari raut wajahnya.
Tak berapa lama pesanan Kikuk pesan pun datang. Yuhuy, steak daging kerbau favoritku dan minumannya favoritku juga, jus buah Rambutan hem.m nyumy. Tanpa dipersilahkan sang penraktir, aku pun langsung menyatapnya sambil melihat mereka berdua yang sedang berbicara panjang kali tinggi.
Katanya pacaran nggak bikin kenyang, eh ini orang kok malah nyuekin steak daging Onta yang sudah ada di depan mereka, parah banget!
Ah, cari ide dulu, biar bisa nyuri makanan mereka tanpa ketahuan.
“Ini siapa? Kenapa dia menghubungi mu terus.” Kata Bagus kepada Kikuk yang membuyarkan konsentrasiku.
“My Sha itu siapa? Selingkuhanmu?” Tanya Bagus lagi, yang kali ini membuatku mengurungkan niat untuk mencuri makanan mereka.
Tampak raut tenang di wajah Kikuk, sebenarnya apa yang ada di pikiran Kikuk, hingga dia berani mendua dengan mudahnya, namun kita terbelenggu dalam ikatan tanpa cinta #hloh.
“Coba lihat Hp mu.” Kata Kikuk dengan tenangnya.
Dengan cepat dia menulis sebuah nomor dan kemudian menghubunginya. Hp yang di bawa Baguspun tampak bergetar dan menunjukkan nama My Sha.
“Dah tahu kan My Sha itu siapa?”
“Oh, tapi kenapa kamu menamai kontakku dengan My Sha, kenapa bukan My Hubby?” Tanyanya.
“My Sha itu singkatan dari My Shaheer.” Jawab Kikuk yang membuat aku tercengang, haha dasar Kikuk korban Mahabaratha banget.
“Oh, Arjuna itu ya. Emang wajahku mirip ya sama Shaheer?.” Tanyaya lagi.
“Aduh, ini acara apa sih kawan-kawan! Kalian pikir di sini hanya ada kalian berdua? Ada aku hey!!!!!”
“Jangan bikin aku ill feel sama kalian deh. Ini kan acara makan-makan, bukan romantis-romantisan.” Kataku jengkel.
“Maaf ya Say, temanku yang satu ini sudah lama nggak di romantisin sama cowok, jadi agak sensi kalau lihat orang pacaran.” Kata Kikuk yang kemudian mengambil pisau dan garpunya.
“Oh, ya udah silahkan pacaran, aku pergi saja kalau begitu!” Ancamku.
“Jangan!”
“Aku kan cuma bercanda.” Kata Kikuk.
“Cepet makannya, makananku dah habis, e kalian baru mulai makan.” Kataku.
Dengan perlahan, Kikuk memotong dan memakan steak daging onta sambil melihat Hp milik Bagus, dan saat potongan pertama hampir menyentuh mulut Kikuk, tiba-tiba Kikuk meletakan garpunya dan menyodorkan Hp itu ke Bagus.
“Dan kenapa kontakku namanya Ayu?”
“Siapa Ayu? Mantan kamu?”
“Aku nggak mau kamu samain dengan mantanmu! Aku nggak suka!” Kata Kikuk dengan marah.
“Hahahaha.” Tawa Bagus.
“Ayu yang kamu maksud itu bukan mantanku! Tapi Ayu Tingting idolaku.” Kata Bagus yang membuat Kikuk bisa tersenyum.
“Jadi bukan nama mantanmu?” Tanya Kikuk sekali lagi.
“Bukan lah! Kamu kan tahu sendiri kalau aku ngefans banget sama Ayu Tingting. Jadi aku bayangin aja kamu tu Ayu Tingting, walaupun sebenarnya lebih cantikan kamu.” Kata Bagus yang membuatku ingin muntah.
Kikuk pun nampak tersenyum malu dan Bagus nampak senang melihat Ayu tersenyum, eh maaf salah maksudku Kikuk. Mereka seperti anak kecil, tak peduli berapa umur mereka sekarang, sedang berada dimana sekarang, adakah orang yang melihat mereka, mereka tak mempedulikannya, yang mereka pedulikan hanyalah perasaan. Perasaan bahagia karena sedang dimabuk cinta.
“Saheer Sheikh.” Sapa Kikuk dengan melihat ke arah Bagus.
“Ayu Tingting,” Jawab Bagus.
“Saheer,”
“Ayu,”
“Sheikh,”
“Tingting,”
“Saheer, i love you.” Kata Kikuk dengan memegang tangan Bagus.
“I love you to, Ayu.” Balas Bagus.
“Astagfirullah, drama apa lagi ini.” Kataku yang mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
“Oke, kalau begitu aku pulang.” Kataku.
“Pulang saja!” Kata Kikuk
Oh my God, ku kira aku akan ditahan Kikuk untuk yang kedua kalinya, ternyata eh ternyata dia membiarkanku pergi begitu saja. Ya memang sebaiknya aku pergi dari sini secepatnya, sebelum aku benar-benar muntah karena melihat aksi mereka.
Oh Saheer, pesonamu sangat luar biasa. Kau harus bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi ini, semua ini karena pesonamu! Please Saheer, kurangi pesonanmu, dan jangan banyak senyum, karena itu hanya akan membuat hatiku tak karuan. Oh Saheer I Love You :*




Sabtu, 22 November 2014

Ku Tunggu Kau di Depan Pintu Masjid


Ku Tunggu Kau di Depan Pintu Masjid

“Suf, masih ingat dengan Anisa nggak? Dia sekarang di rumah Hlo!” Kata Akbar kepadaku.
Baru enak-enak tidur siang, e si Akbar datang kerumah. Mau nggak mau aku harus bangun dan menemui dia. Ku kira ada hal penting yang ingin ia sampaikan kepadaku, tapi ternyata dia hanya memberi kabar yang sebenarnya tak penting untukku, yups tentang Anisa.
Anisa adalah tetanggaku dan juga adek kelasku waktu SMP, kalau nggak salah aku kelas 3 dia baru kelas 1. Mau tau kenapa aku nggak tertarik mengenai Anisa? Oke aku akan menceritakan sebagian kisah kelamku itu kepada kalian.
Anisa adalah cewek terpopuler di SMP, baru satu bulan dia masuk, sekolahanku jadi geger. Banyak laki-laki tertarik padanya, tidak hanya yang satu angkatan dengan dia saja, tetapi banyak temanku yang tertarik padanya.
Selain rambut, lesung pipinya juga menjadi daya tarik yang sangat dahsyat. Sekali dia tersenyum dan mengibaskan rambutnya semua laki-laki akan terpesona. Mata mereka tak bisa berkedip, mulutnya pun ternganga, bahkan ada yang hampir ngeces gara-gara melihat Anisa, parah banget kan?
Banyak temanku yang menginginkan Anisa menjadi kekasihnya, segala cara telah dilakukan tetapi hasilnya nihil, dan karena Anisa adalah tetanggaku dengan bangganya aku menawarkan bantuan kepada mereka.
“Kalian percaya nggak kalau Anisa itu tetanggaku?”
“Aku bisa bantu kalian deket sama Anisa!” Kataku dengan bangganya.
“Hahahaha.” Tawa teman-temanku yang tak mempercayai perkataanku.
“Banyak banget yang ngaku kayak gitu Suf. Niat mereka ngaku kayak gitu biar nyali saingannya ciut. Dan sekarang kamu yang ngaku kayak gitu?”
“Katanya kamu nggak tertarik sama Anisa?” Kata Bobi, teman SMPku.
“Iya tu benar kata Bobi, jangan-jangan kamu tertarik juga kan dengan Anisa?” Tanya Krisna.
“Bobi, Krisna, Dion! Kalian harus percaya denganku. Aku nggak bohong!”
“Oke, kalau begitu buktikan kalau kamu nggak bohong.”
“Nanti jam istirahat kita makan di kantin kelas satu.” Saran Dion.
Entahlah, kenapa saat itu aku dengan bangganya mengaku bahwa Anisa adalah tetanggaku. Rasa bangganya itu seperti rasa bangga ketika ada finalis Indonesian Idol yang berasal dari kota Klaten menjadi juara satu. Ketika bertemu dengan orang yang berbeda daerah, aku pasti akan mengatakan Dia dari klaten hlo! Dan saya juga dari Klaten. Haha, ngenes banget kan? Bangga sama seseorang yang menjadi idola dan sang idola tak mengenali kita. Nah itu juga yang aku terima dari Anisa, dengan sombongnya dia tak menyapaku saat kita bertemu.
“Hahaha!” Lagi-lagi mereka menertawakanku.
“Katanya tetangga? Kenapa dia tak menyapamu?” Sindir Bobi.
“Tetangga beda kecamatan mungkin.” Tambah Krisna.
“Oke, akan kubuktikan sekali lagi, biar kalian percaya kalau dia tetanggaku.”
“Hai Anisa.” Sapaku saat Anisa berada tepat didepanku.
Anisa terlihat bingung karena tiba-tiba aku menyapanya dan kebingungannya bertambah saat melihat ekspresi dari teman-temanku yang sangat menyeramkan baginya. Anisa pun tak membalas sapaanku, dia hanya tersenyum dan berjalan menuju tempat duduk yang masih kosong sambil membawa semangkok bakso ditangannya.
“Yusuf, Yusuf! Sudahlah jangan diteruskan itu hanya membuat perutku sakit! Hahaha.” Tawa Dion.
“Kalau kamu tertarik sama Anisa ngomong aja Suf, jangan gengsi seperti ini.” Tambah Bobi.
“Kita balik ke kelas dulu ya tentangganya Anisa! Haha. Selamat berjuang dan bersaing dengan kita!” Sindir Krisna.
Setelah kejadian itu, aku tak lagi dipercaya teman-temanku. Setiap kejujuran yang ku katakan selalu dipertanyakan dan itu benar-benar menggangguku, hingga akhirnya aku lulus SMP dan terbebas dari teman-temanku dan termasuk Anisa, cewek centil dan sombong itu.
“Anisa yang mana ya? Di desa kita ada empat orang yang namanya Anisa.” Kataku yang menanggapi berita dari Akbar.
“Hloh bukannya ada tiga orang. Anisa Intan, Anisa Sukma, Anisa Janah, yang satu siapa?” Tanya Akbar penasaran.
“Anisa Cerybelle.
“Hloh bukannya dia dah keluar dari Cerybelle ya!”
“Oh dah keluar ya? Baru tahu aku. Terus yang kamu maksud Anisa siapa?” Tanyaku.
“Siapa lagi kalau bukan Anisa Janah, yang selalu jadi topik pembicaraan kita dulu.” Jawab Akbar dengan wajah yang terlihat senang.
“Oh, bagaimana kabar dia sekarang. Rambutnya masih panjang nggak? Hoam.” Sepertinya rasa kantuk yang kurasakan ini semakin menjadi saat aku harus berpura-pura tertarik dengan topik pembicaraan mengenai Anisa.
“Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat.” Kata Akbar setelah melihatku berkali-kali menguap.
“Baru sadar ya kamu.” Kataku dengan mata yang semakin menyipit.
“Yasudah besok pagi aku kesini lagi, silahkan lanjutkan tidur siangmu.”
“Aku pulang dulu, ya!” Kata Akbar yang kemudian pergi setelah membawa segenggam kacang mete dari toples.
Nanggung banget jam segini tidur lagi, ah ke Masjid bentar lagi kan waktunya sholat Ashar.
Walaupun ilmu agamaku masih kurang, bisa dibilang pakai banget! Tapi setidaknya aku tak mau meninggalkan sholat berjamaah di Masjid. Kata pak Ustadz sholat berjama’ah itu pahalanya lebih banyak dari pada sholat sendiri dirumah, dan kata pak Ustadz lagi kalau berada di shof paling depan bakal dapat Unta, nah itu masih melekat jelas di otakku, makanya sebelum Adzan tak jarang aku sudah berada di Masjid.
Ngapain Bang kok ke Masjid duluan? Pasti mau nyuri uang infaq ya? Tidak lah, walaupun tampangku brandal tapi hati insyaAllah beriman. Ada untungnya juga kok kalau aku tiba di Masjid lebih dulu dari yang lain, aku bisa membersihkan serambi masjid, membersihkan sajadah-sajadah dan masih banyak hal lain yang bisa ku kerjakan. Rangkap jabatan jadi cleaning service ya Bang? Iya, betul. Allah saja sudah memberikan semuanya kepadaku secara cuma-cuma, dan sudah sepantasnya aku menjaga rumah Allah agar terlihat lebih bersih, indah dan nyaman untuk beribadah.
Lokasi Masjid yang menjadi tempatku beribadah cukup strategis, yaitu di tengah-tengah Desa. Walaupun strategis, tak banyak dari mereka yang menyempatkan waktu untuk sholat berjama’ah di sana. Kecuali di bulan Ramadhan, orang-orang yang jarang sholat pun juga ikut meramaikan masjid.
Selain di bulan Ramadhan, jama’ah di Masjid Al-Iman bisa dihitung dengan jari tangan, dan kadang ditambah jari kaki. Menurut survey terakhir ku, laki-laki ada sekitar 10 orang dan yang perempuan 5 orang, cukup miriskan? Apalagi kalau waktu sholat Isya dan Subuh, dari yang jumlahnya 15 orang menyusut menjadi 7 yang paling banyak bisa mencapai angka 9 orang. Mungkin mereka belum mengetahui Sabda Rasulullah yang artinya seperti ini Barangsiapa yang shalat Isya berjamaah maka seakan-akan dia telah shalat setengah malam. Dan barangsiapa shalat Subuh berjamaah maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat satu malam penuh. (HR. Muslim).
Tak berapa lama setelah aku berada di Masjid, waktu sholat Ashar pun tiba, ku lafadzkan Adzan dengan suara yang lantang dan dengan lagu yang indah, berharap orang-orang yang mendengar suaraku berduyung-duyung datang ke Masjid untuk meminta tanda tanganku, eh. Maksudnya untuk melaksanakan Sholat Ashar berjamaah. Tapi ternyata sama saja, tak ada yang berubah dari jumlah jama’ahnya.
Setelah selesai melaksanakan shalat Ashar, aku langsung keluar dari Masjid dan menghampiri sepeda ontel kesayanganku. Tetapi mata dan perhatianku tertuju pada jama’ah putri yang dari tadi belum keluar juga. Mereka terlihat sedang asik berbicara satu sama lainnya. Dan setelah aku menunggu, akhirnya mereka keluar dari Masjid, dan aku baru sadar jumlah jama’ah putri bukan 5 orang melainkan menjadi 6. Dan rasa penasaranku bertambah saat melihat mukena dengan motif kupu-kupu dan bunga yang menjadi hiasannya. Berbeda sekali dengan mukena 5 jama’ah lainnya yang terlihat polos.
Setelah sholat Maghrib pun aku mencari tahu siapa pemilik mukena yang indah itu. Saat akan keluar dari Masjid, aku menyempatkan diri melihat shof putri, dan terlihat ada sosok perempuan yang sedang berdoa dengan pandangan mata ke bawah. Aku tak bisa mengenali siapa dia, yang ku ketahui adalah kulit wajah perempuan itu nampak masih segar dan belum berkerut itu berarti dia masih muda.
Penyelidikanku berlanjut saat sholat Isya. Saat aku berjalan masuk ke Masjid, tercium aroma parfum laundry, itu berbeda sekali dengan satu minggu yang lalu, saat aku masuk ke Masjid yang tercium adalah aroma minyak kayu putih, dan benar dugaanku semakin kuat kalau dia adalah gadis muda.
Seusai shalat Isya aku mendengar suara di persimpangan jalan, suara seorang ibu yang memberi salam perpisahan kepada gadis itu.
“Ayo Anisa main ke rumah Laila.” Kata ibu itu.
Anisa? Anisa siapa lagi ini? Apa benar di Desaku sekarang yang namanya Anisa ada empat?
Malam-malam yang penuh dengan rasa penasaran digantikan dengan pagi hari yang membawa segudang kenyataan. Pagi ini Akbar akan datang ke rumahku untuk memberi tahu tentang Anisa yang dia maksud itu. Kali ini aku benar-benar tertarik dengan informasi tentang Anisa.
Tak berapa lama, Akbar pun datang dengan motor pretelan yang menjadi andalannya saat musim kampanye tiba. Dengan senyum leda-ledenya, dia memberi salam kepada orangtuaku dan mencium tangan mereka, sungguh diluar dugaan!
“Wa’alaikumsalam.” Jawab kedua orangtuaku.
“Tumben cium tangan segala, pasti lagi seneng ya?” Tanya ibuku kepada Akbar.
“Iya Tante, aku lagi seneng nih. Pagi-pagi dah dapat senyum manis dari Anisa.”
Mendengar Akbar menyebutkan nama Anisa, aku langsung keluar dari sarangku dan menyeret Akbar ke ruang tamu.
“Mana kacang mete yang ada di mejamu kemarin?” Pertanyaan yang konyol dari seorang tamu kepada tuan rumahnya. Bisa-bisanya nanya makanan, dasar Akbar!
“Kemarin bukannya kamu yang menghabiskannya?” Jawabku.
“Kemarin cuma ambil satu genggam kali bukan satu toples!”
“Ayo cepet, ceritakan tentang Anisa Janah!” Kataku yang tak mau berbasa-basi lagi.
“Nah, kemarin kamu kan tanya tentang rambut si Anisa masih panjang atau enggak, sekarang aku jawab. Aku nggak tahu!” Kata Akbar dengan gaya santainya yang meletakan kedua tangan diatas sofa.
“Maksudmu apa?”
“Bukannya tadi kamu ketemu sama Anisa, kenapa kamu nggak tahu tentang rambutnya?”
“Jangan buat aku penasaran, katakan yang sejelas-jelasnya!” Ucapku dengan nada yang semakin meninggi.
Slow aja bro, jangan marah-marah kayak gitu.”
“Iya tadi aku ketemu sama Anisa, dan senyumnya itu hlo, masya Allah buat aku melayang.”
“Akbar!” Gertakku.
“Hih, lagi bayangin senyumnya Anisa, e malah dikagetin!”
“Kamu terlalu berbelit-belit, cepet jelasin maksudmu tadi!” Ucapku yang terlihat tidak sabaran menunggu penjelasan dari Akbar.
“Aku nggak tahu seberapa panjang rambutnya, karena dia sekarang pakai kerudung.”
“Hello? Tadi pengen tahu tentang Anisa, giliran dah ku kasih tahu e malah diem. Kamu lagi bayangin senyumnya Anisa ya, hayo ngaku!” Ucap Akbar yang melihatku terdiam setelah mendengarkan penjelasan dari dia.
“Kamu salah orang kali Bar? Mungkin yang kamu lihat itu Anisa Intan atau Anisa Sukma bukan Anisa Janah.” Kataku dengan nada lirih dan dengan raut wajah yang terlihat bingung.
“Mungkin benar apa yang kamu katakan.” Kata Akbar yang kali ini mengubah posisi duduknya, dan menatap ke arahku dengan tatapan yang tajam, sehingga terlihat keseriusan di wajah Akbar.
“Jadi benar kan kalau kamu salah lihat?” Tanyaku dengan membalas tatapn Akbar.
“Iya mungkin.”
“Dan mungkin juga Anisa Intan atau Anisa Sukma melakukan operasi plastik sehingga mempunyai lesung pipi yang sama persis dengan Anisa Janah.” Jawab Akbar yang masih menatapku.
“Kamu itu kok nggak percaya banget sama aku?”
“Itu benar-benar Anisa Janah!” Kata Akbar dengan tegas.
Jadi benar kalau yang dilihat Akbar tadi adalah cewek centil itu? Sudah tiga tahun aku tak mendengar kabar berita darinya, dan sekarang dia pulang dengan membawa perubahan yang besar? Sungguh diluar dugaanku.
Selang beberapa jam, waktu sholat Dhuhur pun tiba. Kali ini aku tak membawa si cungkring (sepeda ontelku) ke Masjid. Aku memilih berjalan kaki agar bisa lebih lama memperhatikan rumah Anisa yang selalu ku lewati saat berangkat dan pulang dari Masjid. Tetapi saat aku melintasi rumah Anisa, rumahnya terlihat sepi dan alhasil akupun belum menemukan jawaban dari pertanyaanku itu.
Ditengah perjalanan menuju Masjid, terdengar suara Adzan dari Masjid Al-Iman yang menggugah lamunanku. Dengan langkah kaki yang lebih cepat dari sebelumnya, aku langsung bergegas menuju Masjid. Sesampainya di sana, lamunanku pun berlanjut, biasanya aku langsung mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat sunah rawatib, tapi kali ini aku termenung di dekat toilet. Aku masih asik dengan rasa penasaranku yang seakan membludak.
“Yusuf, ayo ambil air wudhu dan masuk Masjid.” Kata pak Gugun, tokoh agama di desaku.
“Iya Pak.” Jawabku refleks.
Aku pun langsung mengambil air wudhu, dan setelah itu aku langsung menuju serambi Masjid dan berdiri tepat di pintu Masjid khusus ikhwan.
Kalau benar itu adalah Anisa Janah, berarti pemilik mukena cantik itu adalah dia. Dan sebentar lagi dia pasti muncul.
Aku akan menunggu dia di depan pintu Masjid ini, aku harus memastikan apakah dia Anisa Janah atau bukan.
“Ayo masuk Le, ngapain berdiri di sini.” Kata pakde Rudi.
“Iya Pakde, bentar lagi masuk kok. Ini baru ngaca.” Jawabku berbohong.
“Dasar anak muda jaman sekarang.” Kata pakde Rudi yang langsung masuk ke Masjid.
Bersama dengan datangnya pakde Rudi, aroma parfum laundry pun tercium sangat pekat. Benar sekali, aroma mukena yang digunakan gadis itu. Dengan cepatnya kepala ku bergerak 90 derajat ke arah kanan dan terlihat seorang gadis yang sudah berdiri tepat di depan pintu.
Sebelum dia masuk, dia menyempatkan untuk melihat ke arahku dan senyumannya pun berkembang. Iya benar itu Anisa Janah! Aku masih hafal dengan senyumannya! Itu benar-benar Anisa!
Setelah melemparkan senyumannya kepadaku, dengan langkah pelan Anisa masuk ke Masjid, aku pun mengikuti langkah nya dengan posisi kepala yang masih sama, hingga akhirnya ku kembalikan ke posisi semula setelah aku bergabung dengan jama’ah ikhwan lainnya.
Seusai sholat Dhuhur, saat aku mengambil sandal melly ku, Anisa pun keluar dari Masjid dan mengambil sandalnya juga. Sandalnya New Era bro, beda harga dan level sama sandalku.
“Anisa Janah ya?” Sapaku.
“Iya, masih ingat sama aku ya Mas.” Jawab Anisa yang masih sibuk melipat mukenahnya.
“Iya dong, adek kelas terpopuler di SMP masak aku lupa haha.”
“Ah, jangan dibahas lagi, aku malu. Itu jaman jahiliyah.” Kata Anisa yang mulai melangkahkan kakinya menjauhi Masjid.
“Kamu kemana aja Nis, kok baru kelihatan?” Tanyaku yang kali ini berjalan berdampingan dengan Anisa.
“Setelah lulus SMP, aku SMAnya di pondok. Dan Alhamdulillah sekarang dah lulus.”
“Oh pantesan, sekarang berubah kayak gini. Hebat kamu!” Kataku yang masih tak percaya jika wanita muslimah yang ada di sampingku adalah Anisa.
“Ini bukan apa-apa Mas, ini kan kewajiban. Aku aja yang baru sadar.”
“Terus apa rencamu sekarang? Kuliah?” Tanyaku.
“Nggak Mas, bukan kuliah, tapi nikah.” Kata Anisa yang membuat langkah kakiku terhenti.
“Kok berhenti? Ayo jalan lagi!”
“Secepat itukah? Kamu kan masih muda.”
“Bukan masalah muda atau tuanya seseorang, tapi masalah kesiapan.”
“Di sana aku diajarkan banyak sekali ilmu agama, dan aku tak mau setelah keluar dari sana, aku berubah menjadi Anisa yang dulu kala. Aku ingin ada seorang imam yang membimbing langkahku.”
“Bagaimana dengan dirimu Mas?” Lagi-lagi ucapan Anisa menghentikan langkah kakiku.
“Aku?”
“Em, Aku?” Aku pun gugup menjawab pertanyaan dari Anisa.
“A..ku be..lum siap untuk menikah?” Jawabku dengan terbata-bata.
“Hehe, bukan itu pertanyaanku. Maksudku, apa kesibukanmu sekarang? Kuliah? Lancar kan?” Anisa pun tertawa mendengar jawabanku.
Dengan menahan malu aku pun menceritakan kegiatanku sekarang, hingga akhirnya kami sudah berada tepat di depan rumah Anisa. Anisa kemudian masuk ke rumah, dan aku berjalan dengan cepat agar cepat sampai rumah.
Ah sial, kenapa aku bisa seperti itu di depan Anisa? Kenapa aku tadi salah jawab pertanyaannya, benar-benar memalukan. Dan bukannya aku membenci Anisa, tapi setelah melihat Anisa yang sekarang entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat. Pesona Anisa yang sekarang lebih dahsyat dari yang dulu kala.
Hari demi pun berlalu, seperti biasanya setiap hari aku selalu bertemu dengan Anisa di depan pintu Masjid, tetapi bedanya seusai sholat berjama’ah kami tak bertemu lagi, kadang aku yang lebih dulu keluar dari Masjid atau sebaliknya.
Suatu hari, di waktu Ashar aku menunggu kedatangan pemilik lesung pipi itu, tetapi dia tak kunjung datang. Aku pikir dia terlambat datang, tetapi setelah aku sholat Ashar aku tak melihat sandal jepitnya, itu berarti dia tak melaksanakan shalat Ashar berjama’ah.
“Kamu mencari Anisa ?” Tanya pak Gugun.
“Dia nggak bakal datang, baru ada tamu.” Katanya lagi yang kemudian pergi.
O, syukurlah. Dia nggak sholat di Masjid karena baru datang bulan bukan karena dia sakit, sungguh aku khawatir dengan dia.
Setelah mendengar berita tentang Anisa dengan semangatnya aku pulang dengan mengayuh sepeda ontelku. Tak lupa saat melewati rumah Anisa ku sempatkan untuk menoleh ke arah rumahnya. Terlihat dua mobil terparkir di halamannya. Kondisi rumahnya pun ramai, tak seperti biasanya yang selalu sepi.
Ada acara apa di rumah Anisa? Kata pak Gugun, Anisa nggak ke Masjid karena ada tamu. Maksud dari kata tamu di sini apa sih? Tamu dalam artian sebenaranya atau kiasan?
“Dek sebentar mau tanya, di rumah mbak Anisa ada acara apa ya?” Tanyaku setelah turun dari sepeda ontel.
“Mbak Anisa di lamar Mas.” Jawab adek kecil itu, yang kira-kira berumur 10 tahun.
Langit menjadi gelap berkelabu, menyelimuti hatiku. Merubah seluruh hidupku. Megapa semua jadi begini perpisahan yang terjadi, diantara kita berdua. Setelah menjawab pertanyaanku, hp adek itu berdering, dan nada deringnya itu pas banget sama keadaanku sekarang.
Dengan sisa semangat yang ku miliki, ku lanjutkan perjalananku. Kali ini aku merasakan betapa beratnya mengayuh si cungkring. Tanganku bergetar hebat, kaki ku kelu dan jantungku berdetak cepat sekali, tanpa ku suruh mataku pun berkaca-kaca hingga  hampir meneteskan air mata.
“Njenggreng!” Suara pintu kamarku yang ku tutup dengan keras.
“Ada apa Suf? Pulang-pulang kok langsung ke kamar?” Tanya Ibuku yang tak ku tanggapi.
Ada apa dengan aku ini, aku terluka saat mengetahui bahwa Anisa dilamar. Dia pasti sekarang lagi bahagia, karena cita-cita menikah muda bakal kesampaian. Oh ya Allah, kenapa aku belum punya keberanian untuk melaksanakan sunnah RasulMu itu?
Apa yang harus aku lakukan ya Allah, aku sangat terluka mendengar berita itu. Ya Allah bantulah hambaMu ini, bantulah!. Air mataku pun tak bisa kubendung lagi, tak lupa ku ambil tasbih dan ku baca istighfar berkali-kali karena hanya Allah lah yang mampu mendamaikan hatiku yang sekarang sedang terluka.
Adzan Maghrib pun terdengar samar-samar dari kamarku, dan baru ku sadari bahwa aku sudah menghabiskan waktu soreku yang berharga hanya di kamar.
Dengan cepat, aku beranjak dari kamarku dan berjalan menuju masjid, yang pastinya setelah aku membasuh mukaku yang lengket karena terkena air mata. Sesampainya di Masjid, aku masih saja menunggu Anisa di depan pintu Masjid Al-Iman, entah apa yang aku lakukan ini benar atau salah, rasa-rasanya aku belum bisa menerima kenyataan bahwa sekarang Anisa sudah menjadi milik orang, dan sebentar lagi dia akan menikah, kenapa aku masih menunggunya di sini?
Nis, apakah kamu akan datang untuk melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah? Aku menunggumu di sini Nis?
Nis, kamu beneran nggak datang? Ini sudah Iqomah. Kamu lagi ngapain Nis? Kamu lagi seneng ya Nis, sampai lupa sholat berjama’ah di Masjid? Nis, aku masuk ke masjid duluan ya. Kalau bisa kamu nyusul, telat nggak papa Nis, yang penting berjama’ah. Lagi-lagi aku mengandalkan kemampuanku berbicara dalam hati untuk meluapkan emosi yang sedang ku rasakan.
Tiga rokaatpun telah terlewati, dengan lesunya aku melangkah meninggalkan Masjid.
“Mas Yusuf!” Sapa seseorang yang membuatku menoleh kebelakang.
“Anisa!” Balasku.
“Hloh kamu tadi sholat jama’ah?”
“Iya, tapi telat satu rokaat.”
“Oh iya, maklum lah ya. Kan lagi sibuk beres-beres rumah.” Sindirku.
“Siapa yang melamarmu Nis?” Tanyaku penasaran.
“Kakak kelas waktu di pondok Mas.”
“Oh Syukurlah, wanita baik dapat jodoh yang baik juga.” Kataku dengan tersenyum walaupun sebenarnya sakit yang kurasakan.
“Kalau Mas Yusuf orangnya baik nggak?” Tanya Anisa yang membuat lidahku kelu.
“Ya...ba...ik lah.” Jawabku.
“Kalau begitu Mas Yusuf dapat Wanita yang baik juga.”
“Aamiin.” Ucapku.
“Oh ya, hari ini aku belum menjawab lamaran itu.”
“Kenapa belum dijawab?” Tanyaku kepo.
“Waktunya mepet, dah masuk waktu sholat Maghrib jadi aku mengatakan akan menjawab lamaranya besok seusai Dhuhur.”
“Oh.” Ucapku.
“Jadi kamu masih punya kesempatan esok hari. Jika kau ingin menjadi imamku, kutunggu lamaranmu besok!” Kata Anisa dengan mempercepat langkah kakinya sedangkan aku seakan tak bisa berjalan mendengar ucapan dari Anisa.
Aku tak mampu mengejar langkah kakinya, aku hanya bisa melihat Anisa yang lama kelamaan hilang ditelan kegelapan. Aku masih tercengang, kakiku lagi-lagi bergetar hebat. Aku tak mengerti apa yang diucapkan Anisa, aku takut menafsirkannya.
“Ayah, Ibu!” Sapaku sesampainya dirumah.
“Ada apa Suf, kenapa nada suaramu seperti itu?”
“Kamu dikejar setan?” Tanya Ayahku.
“Ayah, Ibu besok antarkan aku ke rumah Anisa.” Kataku dengan nada yang terengah-engah.
“Bukannya kamu dah tahu rumahnya Anisa, kenapa mesti dianterin?” Tanya ibu bingung.
“Tenangkan dirimu dulu Suf, duduk dulu!” Saran ayah.
“Gini hlo Yah, Bu, aku berniat melamar Anisa, jadi ku mohon Ayah dan Ibu berkenan membantuku untuk melamar dia.” Kataku setelah aku mulai tenang.
“Apa?” Kata ayah kaget.
“Apa kamu belum tahu kalau tadi sore Anisa sudah dilamar orang? Tidak baik jika melamar wanita yang sudah dilamar orang lain.” Kata ibu.
“Tapi Bu, Anisa belum menjawab lamarannya, dan dia sendiri yang menyuruhku melamar dia. Sepertinya Anisa punya perasaan yang sama sepertiku.”
“Apa Ayah dan Ibu tega melihatku menghadiri pernikahan Anisa dengan hati yang terluka? Bisa-bisa aku melakukan tindakan seperti yang dilakukan Risna, memeluk mantan kekasihnya di hadapan orang banyak. Apa kalian tega?”
“Oke, besok kita lamarkan Anisa untuk Yusuf.” Kata Ayahku dengan tegas.
Keesokan harinya seusai sholat Dhuhur, aku ditemani dengan kedua orang tuaku datang berkunjung ke rumah Anisa. Terlihat banyak sekali kerabat dari Anisa yang datang dan juga laki-laki yang melamar dia pastinya. Dari penampilannya, laki-laki itu terlihat berpendidikan dan beragama.
“Bapak Diki dan Ibu Wulan, kehadiran kami di sini yang pertama silaturahim, yang kedua kami sebagai orang tua dari Yusuf membawa niat yang baik dan suci yaitu ingin mempererat hubungan kekeluargaan kita dengan menikahkan Anisa dan Yusuf. Apakah Bapak dan Ibu berkenan merestui Anisa untuk menjadi istri dari Yusuf.” Kata Ayahku.
“Oh, jadi ini alasan Anisa menunda menjawab lamaran dari Taufik kemarin.” Kata bapak Diki.
“Kami sebagai orang tua dari Anisa menginginkan putrinya menikah dengan laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Melihat keseharian dari Yusuf kami sangat yakin Yusuf mampu membimbing Anisa ke jalanNya, dan juga melihat latar pendidikan Taufik yang juga lulusan dari pondok, kami juga tak ragu menyerahkan Anisa ke Taufik.”
“Sekarang tinggal keputusan dari Anisa saja, karena yang akan menjalankan bahtera rumah tangga adalah dia. Bagaimana Nak, kamu memilih siapa?” Tanya Bapak Diki yang membuatku tegang.
“Sebelumnya saya minta maaf, apabila ada yang tersakiti dalam keputusanku ini. Aku harap kalian bisa menerima keputusanku ini dengan lapang dada.”
“Untuk Kak Taufik, saat aku di pondok aku sering mendengarkan santri membicarakan tentang ketaatanmu dan itu membuatku kagum kepadamu. Dan Mas Yusuf, aku juga menaruh kagum kepadamu karena kamu benar-benar menjaga sholat berjama’ah di Masjid.”
“Dan itulah yang menjadi pertimbanganku.”
“Kak Taufik, walaupun kamu terkenal taat, tapi maaf aku pernah melihatmu mengabaikan suara Adzan dan aku juga pernah melihatmu di hari Jumat, kamu datang ke Masjid saat khutbah pertama sudah dimulai, padahal kamu sendiri tahu pahala seseorang yang datang sebelum khutbah pertama dimulai.”
 “Dan Mas Yusuf, aku yakin jika seorang laki-laki mampu menjaga sholat berjama’ahnya maka dia akan mampu menjaga keutuhan rumah tangganya.”
“Bismillahirahmanirahim, aku memilih mas Yusuf untuk menjadi pasangan hidupku.” Kata Anisa yang membuatku bisa tersenyum lega.
“Alhamdulillah, Anisa sudah memutuskannya. Kami mohon dari pihak keluarga Taufik bisa menerima keputusan dari Anisa dengan lapang dada.” Tambah bapak Diki.
“Iya, Pak. Pemikiran Anisa sungguh luar biasa, kami bisa menerimanya.” Kata Taufik yang tidak terlihat bersedih dengan keputusan Anisa.
“Jadi kapan akad nikahnya dilangsungkan?” Tanya ayahku.
“Kalau bisa secepatnya.”
“Yusuf selalu menunggu Anisa di depan pintu Masjid, kalau diteruskan itu bisa menimbulkan fitnah di masyarakat.” Tambah pak Gugun, yang saat itu memang diundang untuk hadir.
“Oh, jadi Yusuf kalau berdiri di depan pintu Masjid itu nunggu Anisa ya?”
“Aku mengiranya dia sedang bercermin, oh ternyata Yusuf diam-diam memperhatikan Anisa.” Tambah pakde Rudi.
Semuanya pun tertawa mendengar cerita dari pak Gugun dan pakde Rudi tak terkecuali aku dan Anisa. Aku sudah bisa tertawa dengan terbahak-bahak setelah semalaman aku tegang dan tak bisa tidur karena memikirkan hari ini.
“Terimakasih Nis, kamu mempercayaiku untuk menjadi imammu.” Kataku seusai acara lamaran.
“Terimakasih juga sudah menungguku di depan pintu Masjid, apakah kamu akan menungguku lagi di sana?” Tanyanya dengan tersenyum.
“Nggak, aku nggak bakal nunggu lagi di sana?” Kataku.
“Hloh kenapa?” Tanyanya bingung.
“Aku akan menunggumu di depan pintu rumah kita. Karena sebentar lagi kita akan membina keluarga yang insya Allah sakinah mawadah dan warahmah.”
“Aamiin.”
Sekian