Kamis, 09 Maret 2017

Senja Punya Cerita


Senja Punya Cerita



Hari ini pekerjaanku sangat banyak dan sepertinya aku harus lembur, tapi aku lelah! Mataku sudah perih,  jari jemariku sudah kaku dan punggungku sudah terasa berat, ingin rasaku pulang lebih awal dan langsung membaringkan tubuhku di atas dipan yang nyaman. Ya, sepertinya sore ini aku hanya mengambil lembur 1 jam dan pulang kerumah tepat pukul 5 sore, semoga saja aku masih bisa bertemu senja di jalan, sudah lama sekali aku tak melihat nya walau hanya sekejap mata.

Memang senja itu istimewa, menyuguhkan warna yang elok nan indah sebagai hadiah dari Tuhan atas keberhasilan kita melalui ujian kehidupan yang penuh dengan kejutan. Tetapi sayangnya aku hanyalah penikmat senja abal-abal, bukan penikmat senja yang profesional. Aku bukanlah mereka yang membawa kamera dan mencari spot untuk mengabadikan senja yang indah tetapi aku adalah penikmat biasa yang akan tetap merasa nikmat dimanapun senja itu terlihat.

Dan kali ini setelah pulang lembur aku putuskan untuk menghabiskan waktu soreku di lapangan yang terletak di belakang kompleks perumahan karena di sana aku bisa melihat dengan jelas senja yang ku rindukan, tetapi sayang jalan menuju lapangan ditutup karena ada hajatan, terpaksa aku putar arah melewati sawah yang jalanya masih berupa tanah dan akan berlumpur setelah hujan turun, dan kebetulan sekali siang tadi turun hujan dengan lebatnya.

Rasa lelah bercampur kesal karena harus berputar arah ditambah melihat kondisi jalan yang berlumpur membuat emosiku memuncak. Ku mainkan tanganku untuk mengatur kecepatan motor, gas pun ku kencangkan hingga akhirnya motorku tak seimbang dan jatuh di kubangan lumpur.

Ah, sial! Motor yang tadi pagi aku cuci kotor lagi! Dan baju ini? Padahal besok saya pakai lagi!

Hari apa ini, dari tadi pagi sampai saat ini selalu saja aku sial!

Aku pun terus bergumam menyalahkan takdir yang tidak berpihak kepadaku, badanku pun menjadi lemas tak berdaya, bahkan aku tak kuasa untuk sekedar mendirikan motor dan keluar dari kubangan lumpur, hingga akhirnya ada seorang kakek-kakek yang datang menghampiriku dengan sepeda yang dibelakangnya ada satu sak yang sudah berisi penuh padi yang menguning.

“Bisa nggak Le?” Tanya beliau, yang kemudian langsung menyandarkan sepeda tuanya itu di batang pohon pisang.

“Iya Kek,” kataku yang kemudian mencoba menarik gas.

“Jangan digas!” Teriaknya, ketika melihatku menarik gas dan motorku pun terjatuh dikubangan yang lebih dalam.

“Dimatikan saja motormu,” sarannya yang kemudian mendekati motorku dan memegang motor bagian belakang.

“kita angkat saja ke situ, jangan lewat jalan tengah lewatnya pinggir-pinggir aja, kalau jalan pinggir kubangannya nggak terlalu dalam, soalnya masih ada rumput-rumput dan kerikil kecil,” jelas beliau.

“Ini yakin Kakek mau ngangkat motorku? Kakek kuat?” Tanya ku.

“Nggak usah banyak tanya, kamu angkat roda bagian depan, Kakek bagian belakang,” perintahnya.

“Satu....dua...tiga!!!” Aba-aba yang keluar dari mulut beliau ketika kami berusaha mengangkat motor merahku yang sudah berubah warna menjadi coklat.

“Alhamdulillah, makasih ya Kek,” ucapku dan kakek itu pun hanya membalas dengan senyuman yang membuat kerut tua di matanya terlihat.

“Saya duluan ya Nak,” pamitnya.

“Iya Kek, hati-hati.”

Aku pun langsung memperhatikan kakek itu, dengan tubuh kurus, kulit yang sudah mengerut, dan rambut yang sudah memutih beliau masih saja kuat mengayuh sepeda dengan membawa beban berat. Ini benar-benar menampar hatiku, aku yang hidupnya enak, kerja di depan komputer, di dalam ruangan ber-ac masih saja suka mengeluh, sedangkan beliau? Ya Allah, ampunilah dosa hambaMu ini.

Senja!!! Aku pun langsung melihat ke ufuk barat ketika ingatanku kembali, bahwa ini adalah waktu senja, waktu yang aku tunggu-tunggu.

Matahari sudah tenggelam meninggalkan kenangan yang mendalam, menghapus duka yang terasa, dan membawa harapan untuk masa depan. Apapun yang terjadi pada hari ini biarkanlah, tak usah kau sesali dan tak usah kau tangisi, karena masih ada hari esok yang bisa kau lukis sesukamu, lukisan yang akan menjadi kenangan.

Ya, seperti senja sore ini, menjadi penyegar jiwa-jiwa yang haus akan ketenangan dan kedamaian. Warna kemerahan yang beradu dengan warna oranye seakan menghipnotisku. Ku nikmati bisikan angin, ku hirup aroma padi yang sudah menguning, dan kunantikan saat-saat senja menghilang dari pandanganku, ya saat-saat yang aku benci, saat-saat dimana yang tersisa hanyalah gelap dan sunyi. Ya begitulah senja, hadirnya begitu ku tunggu dan cepat sekali berlalu, seperti dia yang sekarang entah kemana, aku pun tak tahu.

Malam yang gelap pun tiba, serangga-serangga mulai beterbangan seakan ikut mengusirku, tanpa pikir panjang, ku kemudikan motorku dengan perlahan  agar aku tak jatuh di kubangan lumpur yang sama, ya begitulah hidup harus belajar dari pengalaman jangan mengulangi kesalahan dan harus hati-hati dalam mengambil keputusan.

“Assalamu’alaikum,” sapaku sesampainya di rumah.

“Wa’alaikumusalam,” jawab bapak dan ibu.

“Baju mu kenapa Nak? Kok kotor?” Tanya ibu yang perhatiannya tidak pernah berubah kepadaku walaupun aku sudah beranjak dewasa.

“Tadi lewat sawah, terus ya begitulah,” jawabku yang malas menjelaskan kronologi lengkapnya kepada mereka.

“Yasudah sana langsung mandi!” Perintah bapak.

Tak lupa sebelum masuk ke kamar mandi, seragam kantor yang besok masih aku pakai ku masukan ke dalam mesin cuci, dan motor yang sekarang mempunyai kemampuan berubah warna ku biarkan begitu saja, hmmm harus bisa membagi waktu dengan sebaik-baiknya.

Selepas mandi, ku kenyangkan perutku dengan makan masakan ibu yang enaknya luar biasa, setelah kenyang, kamar tidurlah yang menjadi tempat favoritku untuk menghabiskan waktu malam dengan hanya sekedar baca buku, main HP dan stalking Instagram sang mantan.

Sesekali dada terasa sesak ketika membayangkan kenangan indah saat bersamanya. Saat menyelusuri jalan menggunakan vespa, menikmati senja bersama hingga dinner romantis ala kita. Ya semua itu hanya tinggal kenangan, kenangan yang selalu aku bayangkan ketika akan memasuki gerbang mimpi , berharap dalam mimpiku aku bertemu dengannya.

“Tolelet Tolelet,” terdengar bunyi alarm hp yang sengaja ku setting dengan nada yang lagi ngeh-hits akhir-akhir ini, apalagi kalau bukan bunyi klakso bus, berharap ketika mendengar suara alarm hp untuk yang pertama kali aku langsung  bergegas bangun, tidak lagi memencet  tombol tunda 10 menit dan kembali tidur.

Dan benar adanya, trik itu sangat-sangat manjur. Setelah mendengar suara alarm hp yang ku setting pukul 04.00 kantukku langsung hilang dan kini aku bersemangat untuk mandi pagi, yups mandi pagi yang terlalu dini, dingin sih tapi mau bagaimana lagi, kalau nggak gitu rasa kantukku  bakal balik lagi dan endingnya tidur setelah sholat subuh.

“Hari, nanti mau sholat subuh di masjid mana?” Tanya bapak kepadaku ketika aku menghidupkan lampu ruang tengah dan dapur.

Oh iya, sampai lupa ngenalin diri, namaku Hari Prasetyo anak pertama dari satu bersaudara, atau sering disebut anak tunggal. Keseharian ku, ya seperti itulah bangun tidur, kerja, pulang sore terus nyari senja, kepoin sosial media sang mantan, tidur dan begitu seterusnya.

Kalau pekerjaan ibu, beliau adalah guru SD sedangkan bapak bekerja di kantor desa sebagai Lurah. Ya begitu lah mereka sangat sibuk, sama sibuknya denganku, sibuk mengumpulkan puing-puing kenangan yang berserakan.

“Di Masjid At-Taqwa, Pak,” jawabku.

“Oh, ya sudah kalau begitu Bapak di Masjid Al-Ikhlas saja.”

Bapak memang pengertian sekali, beliau tahu kalau aku masih grogi ketika menjadi imam sholat subuh dan ada bapak diantara jama’ah lainnya. Sebenarnya hafalanku masih sedikit, jus 30 aja belum semua ku hafal, tapi mau bagaimana lagi, jama’ah sholat subuh sangat sedikit, yang masih kuat secara fisik dan umur hanyalah aku, ya sudah aku yang jadi imamnya, belajar jadi imam sholat berjama’ah dulu sebelum jadi imam mu eh baper lagi deh.

Nah, setelah sholat subuh, tepatnya di Jum’at pagi ada agenda yang cukup menarik di daerah tempat tinggalku, yaitu kultum pagi. Yang ngisi kultum ganti-ganti, tetapi sekarang adalah giliranku, rangkap jabatan sih ya, tapi nggak papalah rangkap pahala juga kok, aamiin.

“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). QS. Al-Isra ayat 78”

“Barangsiapa yang shalat Isya berjamaah maka seakan-akan dia telah shalat setengah malam. Dan barangsiapa shalat subuh berjamaah, maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat satu malam penuh. HR. Muslim.” Itulah petikan kultum yang aku sampaikan pagi ini, berharap mereka-mereka yang ada di rumah mendengar dan sadar akan kekeliruan mereka selama ini, kekeliruan yang mengabaikan sholat berjama’ah, padahal ada  keutamaan yang Allah berikan di sholat Isya dan Subuh.

“Assalamu’alaikum,” sapaku saat aku tiba di rumah selepas sholat subuh di masjid.

“Wa’alaikumsalam,” jawab ibu, yang ku ikuti dengan mencium tangan beliau.

Setelah berganti pakaian, aku langsung mengambil sapu dan langsung membersihkan lantai yang sudah terasa kasar di kaki. Hm.m walaupun aku anak cowok aku juga suka dengan pekerjaan rumah tangga, ya membantu orangtua kan nggak ada salahnya, nggak memandang jenis kelamin juga kan?

Tak lupa motor yang ada di garasi ku cuci dan ku lap agar terlihat mengkilap seperti baru lagi, nih ada info penting yang kalian harus tahu, di kantor tempat aku bekerja ada beberapa orang yang heran dengan kondisi motorku yang selalu terlihat bersih mengkilat walaupun sedang berada di musim penghujan, sedangkan motor rekan kerjaku yang perempuan motornya pun tak terawat, katanya percuma di cuci kalau nanti sore hujan pasti kotor lagi, itu sama kondisinya ketika aku berkata percuma mencinta kalau nanti terluka. Nah kalau sore hujan, kalau nggak? Kalau ternyata beberapa hari atau beberapa bulan tidak turun hujan, masak iya betah pakai motor yang kotor seperti itu, kalau aku sih risi. Dan tentang, percuma mencinta kalau nanti terluka, ya kalau terluka kalau ternyata bahagia, terus lanjut ke KUA kenapa enggak!

Setelah motor sudah terlihat bersih, saatnya membersihkan badan dan persiapan untuk berangkat ke kantor, potongan buah dan bekal makan siang pun tak lupa ku bawa.

Perjalanan dari rumah ke kantor kira-kira memakan waktu 30 menit kalau kecepatannya kisaran 30-40 km/ jam, kalau 60 km/jam ya 15an menit sudah sampai.

Hari ini akan ku perbaiki cara kerjaku, akan ku tulis apa yang harus aku kerjakan sehingga tak ada waktu yang terbuang sia-sia. Setelah pekerjaan nomor 1 selesai, kemudian mengerjakan pekerjaan yang ku tulis nomor 2 dan seterusnya, terkadang karena pekerjaan yang banyak aku malah bingung apa yang harus aku kerjakan terlebih dahulu, dan berharap dengan metode baru ku ini, pekerjaan yang harus selesai hari ini bisa selesai tanpa harus over time.

Jam demi jam telah ku lewati, cacing di perut pun sudah protes. Ku buka potongan buah yang tadi kubawa, ku makan dengan santainya sambil menggelengkan kepala berharap otot-otot yang tegang kembali rileks.

“Capek ya Dek?” Tanya mbak Dita, rekan kerja yang duduknya di depanku.

“Iya Mbak, pegel,” jawabku sambil meremas jari jemari, berharap setelah mendengar bunyi ‘tuk’ dari jari yang di remas kekakuan yang kurasakan pada sendi-sendi pergelangan tangan bisa berkurang.

“Kurang sedekah itu Dek namanya,” ucap mbak Dita, yang membuatku tersedak saat memakan buah pepaya.

“Oh, maaf Mbak lupa mau nawarin.”

“Ini Mbak buah,” kataku dengan mensodorkan tempat makan berwarna hijau.

“Hehe nggak Dek, makasih.”

“Bukan itu yang aku maksud.”

“Maksudnya itu tulang-tulangmu lah yang perlu disedekahi.” Jelas mbak Dita yang membuatku semakin bingung.

“Sedekah tulang?”

“Bagaimana caranya Mbak?”

“Tulang rusuk saja belum ketemu, masak mau sedekah tulang lainnya,” kataku asal.

“Dek Hari, baper melulu bawaanya.” Mbak Dita pun tertawa saat mendengar kata yang terucap dari mulutku.

“Ini hlo maksudku,” katanya sambil menyodorkan HP.

bagi masing-masing ruas tulang dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekahnya. Maka setiap bacan tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) sedekah, setiap bacaan tahlil (La ilaha illallah) sedekah, setiap bacaan takbir (Allahu Akbar) sedekah, beramar ma’ruf sedekah, dan mencegah kemungkaran sedekah. Dan itu semua tercukupi dalam dua rakaat shalat Duha. (HR. Muslim).” Ku baca artikel yang sengaja dicari mbak Dita untuk menjawab pertanyaan ku itu dengan suara yang cukup keras.

“Oh ini to Mbak cara sedekah tulang itu?” Kataku yang kemudian mengembalikan HP OPPO milik mbak Dita.

“Yups.”

“Oke Mbak, terimakasih.”

“Hari, kamu mau kemana?” Tanya sebelahku yang melihatku beranjak dari kursi.

“Mau sedekah tulang dulu Mbak.” Jawabku.

“Oh ya udah, tapi aku minta buahmu ini ya?” Katanya lagi.

“Iya Mbak makan saja, tapi jangan dihabiskan, aku tadi baru makan 5 potong,” kataku dengan polosnya.

“Iya beres!”

“Dah sono, buruan sholat Dhuha!”

Beruntung sekali aku mempunyai rekan kerja seperti mbak Dita, yang selalu mengingatkanku dalam kebaikan. Dan aku baru ingat tentang sholat Dhuha, ternyata itu adalah tiga wasiat  yang diberikan Rasulullah SAW kepada Abu Hurairah dua diantaranya adalah puasa tiga hari setiap bulannya dan shalat witir sebelum tidur.

Setelah selesai sholat Dhuha badan terasa lebih bugar, capek yang kurasakan seakan pergi dengan sendirinya, dan mata yang tadinya perih karena terlalu lama menatap layar monitor serasa segar kembali, dan kini saatnya bekerja kembali.

Tiba waktu istirahat pun ku manfaatkan dengan sebaik-baiknya selain sholat Dzuhur berjamaah dan makan siang bersama, tidur siang pun tak luput menjadi agenda harianku. Menurut buku yang dibaca temanku, dan temanku itu cerita ke aku, secara medis, tidur di siang hari memiliki fungsi untuk mengembalikan kebugaran tubuh dan menentramkan hati. Sejumlah peneliti di negara Yunani menyatakan bahwa tidur singkat di siang hari efektif untuk menghindari munculnya beberapa jenis penyakit. Setelah mengamati sejumlah pasien di beberapa rumah sakit di Athena selama beberapa tahun, para peneliti menyimpulkan bahwa tidur siang selama 30 menit setelah shalat, mengurangi penyumbatan pembuluh darah hingga 30 %.

Setelah tidur siang, kekakuan tulang leher dan kepeningan yang ku rasa hilang begitu saja, walaupun masih terasa kantuk ketika memulai untuk bekerja lagi, itu semua akan berlalu dengan cepat, daripada kepala pening yang sudah ku obati dengan minyak oles  tetapi tidak aku istirahatkan (tidur) maka akan bertahan lama sampai malam, dan paginya baru bisa hilang.

“Mas, cilok mau?” Kata mbak Nia yang menawarkan jajanan jaman SD yang menjadi favoritku.

“Mau banget Mbak!” Akupun tidak mengantuk lagi setelah mendengar kata cilok yang ditawarkan mbak Nia kepadaku.

The power of sedekah, tadi mbak Nia aku kasih buah eh siangnya mbak Nia ngasih aku cilok, nah sholat Dhuhaku tadi juga insyaAllah dibalas oleh Allah dengan kecukupan kebutuhan hingga sore hari seperti yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ra, wahai anak adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya.”

Detik berganti menit, menit berganti jam, dan akhirnya jam dinding menunjukan pukul 4 sore, pekerjaan hari ini pun Alhamdulillah selesai, dengan cepat aku pun berkemas dan langsung menuju parkiran.

Di sepanjang jalan pulang, aku teringat kepada kakek yang kemarin membantuku, dan sore ini kebetulan cuacanya cerah aku ingin sekali berjumpa dengan kakek itu lagi.

“Assalamu’alaikum Kek,” sapaku setelah aku memarkirkan motor di depan sawah beliau.

“Wa’alaikumsalam, eh kamu lagi,” jawab beliau.

“Panen ya Kek?” Tanyaku setelah aku melihat ada dua sak besar yang sudah berisi padi.

“Iya Nak, panennya dibawa pulang, kemarin ada yang mau nebas tapi ditawar murah.”

“Ini mau pulang Kek?” Tanyaku yang penasaran, karena ini belum terlalu sore tetapi kakek itu sudah membersihkan kaki dan tangan dengan air sungai yang lumayan jernih.

“Iya Nak, mau bersih-bersih rumah,” jelas beliau yang masih asik membersihkan sela-sela tangannya.

“Boleh ngobrol bentar nggak Kek?”

“Ini tadi saya beli martabak buat Kakek,” kataku dengan memperlihatkan bungkusan kresek.

“Duh, Nak repot-repot.”

“Yaudah duduk di gubuk itu saja,” kata beliau yang kemudian berjalan mendekati gubuk yang dimaksud.

“Ini Kek dimakan,” ucapku setelah membuka plastik dan kardus yang membungkusi martabak.

“Makasih ya Nak,” beliau pun langsung mengambil martabak gurih yang masih hangat itu, tampaknya kakek lapar dan lelah, untung saja aku tadi membeli martabak dan susu jahe khusus untuk kakek.

“Kakek tinggal di mana? Sama siapa?” Tanyaku yang mulai mengulik kehidupan kakek.

“Di Desa Kirsan, tinggal berdua sama istri.”

“Kok berdua, Kakek punya anak kan?”

“Iya punya, Kakek punya dua orang anak.”

“Mereka tinggal di Cikarang, kalau kamu sendiri, rumahmu mana Nak?” Tanya kakek dengan mulut yang masih penuh dengan martabak, hmmm sepertinya saya mengganggu kakek yang sedang menikmati martabak.

“Oh iya ini Kek, minumnya,” kataku yang menawari minum kakek, takut kakek tersedak karena makan sambil bercerita.

“Kalau saya tinggalnya di Perumahan Kapuk Indah, Kek, sama bapak dan ibu, karena kebetulan saya anak tunggal,” jelasku.

“Kerja di Klaten ya Nak?”

“Nggak nyoba kerja di luar kota?” Tanya beliau yang nampaknya tertarik dengan kisah hidupku.

“Dulu pernah Kek, kena PHK terus pulang deh ke Klaten,” jawabku dengan nada lirih dan raut muka yang sedih.

“Nggak nyoba nglamar perusahaan lain di kota itu?”

“Udah terlanjur kecewa Kek,”

“nggak hanya diputusin perusahaan, saya juga diputusin pacar tepat di hari saya di PHK,” aku jadi tambah nggak karuan ketika harus membuka kenangan itu.

“Maaf ya Nak, bukan maksud Kakek membuatmu sedih.”

“Iya Kek nggak papa,”

“dulu aku dan dia sangat dekat bahkan sudah ada pembicaraan tentang pernikahan, tapi sikapnya berubah ketika aku bercerita tentang kondisi perusahaan tempat aku bekerja dulu, dan dia memutuskan ku tanpa alasan yang pasti tepat di hari itu, hari dimana aku menyandang status pengangguran.”

Ya, diputuskan tanpa memberi alasan membuatku sakit hati, tiap malam aku berharap bisa bermimpi bertemu dengannya dan menanyakan alasan dia memutuskanku, apakah semua itu karena materi? Kalau memang iya, berarti akulah yang salah. Aku salah telah mengenalmu dan menganggapmu mau menerima aku apa adanya.

“Sudah Nak, jangan diteruskan!”

“Jangan merusak senja hari ini, senjamu kemarin sudah kau rusak karena emosimu, dan hari ini simpan semua itu jangan kau keluarkan lagi,” nampaknya Kakek tahu bahwa senja itu istimewa, akhir dari siang yang banyak menguras energi ataupun emosi menuju malam yang sangat sunyi.

“Jika hati mu dipenuhi dengan rasa kesal, keindahan senja ini tak akan sampai di jiwamu, kau hanya akan mendapati warna warna yang indah saja tanpa ada pelajaran yang dapat kau ambil.”

“Lain halnya ketika hatimu senang, dengan mudahnya kau dapat mengambil hikmah dari apa yang kau lihat di waktu senja ini.”

“Lihatlah burung-burung yang berterbangan itu, mereka pulang ke rumahnya setelah seharian terbang kesana kemari mencari makanan untuk dia dan untuk anaknya yang masih kecil, mereka bersorak bergembira karena mereka selamat, mereka berhasil melalui rintangan dan cobaan yang mereka hadapi.”

“Yang nggak bisa kembali ke rumah? Ada, bahkan banyak! Mungkin dimakan ular, atau ditembak pemburu.”

“Banyak yang dapat kau ambil pelajaran dari senja yang selalu kau nantikan kehadirannya ini.”

“Kok Kakek tahu, kalau saya sering menantikan datangnya senja?” Tanyaku penasaran.

“Kemarin Kakek lihat dari kejauhan, kenapa kamu tidak beranjak dari tempat itu, ternyata sedang memandangi langit mentari senja.”

“O begitu.”

Senja kali ini akan menjadi cerita di esok hari, dimana ketika aku dan kakek Subur menghabiskan waktu senja bersama, menikmati gurihnya martabak dan manisnya susu segar didukung suasana persawahan yang asri dan pastinya keindahan langit yang menjadi daya tarik tersendiri.

Saking asiknya bercerita dan menikmati senja bersama, saya sampai lupa kalau kakek Subur sudah ditunggu istrinya di rumah, kata beliau besok akan ada tamu istimewa jadi kakek berniat pulang cepat untuk membersihkan rumah bersama istri tercintanya.

Karena merasa bersalah, aku pun menawarkan bantuan untuk mengantar kakek pulang kerumah, yups dengan membawa dua sak yang sudah terisi padi itu. Awalnya kakek menolak bantuanku, tapi karena aku memaksa akhirnya beliau mengiyakan bantuanku.

Kakek pun membantuku mengangkat sak ke atas motor dan menalinya dengan karet yang sudah disediakan kakek. Dan sak yang satu lagi ditaruh di depan motor. Cerita baru di senja kali ini, emm pengalaman pertama membawa dua sak besar yang berisi padi.

Perlahan tapi pasti ku kendarai motorku sambil mengikuti kakek yang mengayuh sepeda di depanku, tak jarang kakiku bersentuhan dengan tanah untuk menyeimbangkan motor agar tidak terjatuh. Dan tak berapa lama sampailah aku di rumah kakek Subur, rumah yang sangat nyaman karena banyak tumbuhan di sana, juga rumah yang sangat cantik karena cat dindingnya masih terawat.

Istri dari kakek Subur juga baik sekali denganku, tidak ada raut wajah kecewa ketika melihat kakek yang baru pulang, beliau malah menyambutnya dengan wajah yang sumringah dan beliau juga menyuruhku masuk untuk sekedar makan malam bersama, tetapi karena aku belum mandi dengan sopan saya menolak niat baik istri kakek Subur.

“Oh iya, Nak Hari besok pulang jam berapa?”

“Kakek butuh bantuan, Nak Hari bisa bantu?” Tanya beliau setelah aku mencium tangannya dan pamit pulang.

“Besok Sabtu saya pulang jam 12, Kek. Insya Allah kalau saya mampu saya bantu Kek,” kataku.

“Besok minta tolong datang kerumah ya Nak.” Pinta kakek Subur.

“Insya Allah Kek, dengan senang hati.”

“Saya pamit dulu ya Kek, Nek.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Keesokan harinya, setelah pulang kerja aku langsung menuju ke rumah kakek Subur, tak lupa aku mampir terlebih dahulu ke toko buah dan membelikan buah untuk kakek dan nenek. Walaupun baru kemarin aku mengenal mereka, tapi entah mengapa aku langsung mengaggap mereka sebagai kakek dan nenekku sendiri. Mereka terlihat tulus dan baik, dan mereka mengingatkan ku pada sosok alm kakek dan almh nenek.

“Assalamu’alaikum,” sapa ku setelah aku sampai di rumah kakek Subur.

“Wa’alaikumusalam, sini Nak masuk,” jawab nenek.

“Nek, ini ada buah untuk Nenek,” kataku dengan memberikan plastik berwarna putih kepada nenek.

“Wah repot-repot, terimakasih ya Nak.”

“Duduk dulu Nak, saya panggil kakek dulu,” nenek pun langsung masuk ke dapur dan memanggil kakek subur.

“Nak Hari makasih ya buahnya,” kata kakek Subur yang baru keluar dari dapur.

“Iya Kek, sama-sama.”

“Em... ada yang bisa saya bantu, Kek?” Tanyaku tanpa basa-basi.

“Oh iya, Nak Hari tahu daerah Jogja nggak?” Tanya kakek memulai pembicaraan.

“Insya Allah tahu Kek.”

“Kalau begitu Kakek minta tolong antarkan cucu Kakek ke Jogja, bisa?”

“Wah, tamu istimewa yang Kakek maksud itu cucu Kakek ya?”

“Usia cucu Kakek berapa tahun, pasti lagi lucu-lucunya?”

“Pengen ke Jogja ke obyek wisata mana Kek? Kalau saya tahu jalannya saya bersedia mengantar cucu kakek ke sana.”

“Wah pertanyaanmu banyak sekali, bingung Kakek mau jawab yang mana dulu,”

“Nduk, kok tamunya belum dikasih minum?” Kata kakek Subur dengan nada yang cukup keras.

“Iya Kek,” dan sosok perempuan berjilbab coklat pun keluar dari pintu dapur, menggunakan baju warna abu-abu dan rok berwarna hitam tak lupa di tangannya terdapat sebuah baki yang berisi dua gelas teh dan satu toples kue kering.

“Ini Mas, minumnya.” Ucap perempuan itu setelah menurunkan gelas dan toples dari baki yang dibawanya.

“Iya terimakasih,” kataku yang masih penasaran siapa sosok perempuan ini, bukanya kakek dan nenek hanya tinggal berdua saja, lantas ini siapa?

“Ini cucu Kakek Nak,” kata kakek yang membuatku terkejut, jadi cucu kakek sudah sebesar ini, kalau ini mah bukan lagi lucu-lucunya tapi lagi cantik-cantiknya, terus kenapa kakek menyuruhku mengantarkan dia ke Jogja?

“Cucu kakek lulus SMA tahun lalu, dan tahun ini dia ingin melanjutkan kuliah di Jogja dan Alhamdulillah lolos, hari ini dia harus daftar ulang tapi dia kurang paham daerah Jogja.”

“Ayah dan Ibunya belum bisa pulang karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, jadi Kakek suruh Senja pulang sendiri.” Kakek pun bercerita dengan sendirinya, dan cerita dari kakek menjawab semua pertanyaan yang ada dibenakku.

“Oh, namanya Senja,”

“Halo Senja, perkenalkan namaku Hari,” kataku dengan mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan dengannya tetapi dia menarik tangannya dan meletakan di depan dada, tanda bahwa dia tidak ingin bersalaman denganku, dengan aku yang belum halal untuknya.

Aku pernah membaca sebuah hadist yang artinya ditusuk kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya (HR. Thabrani dan Baihaqi) dan untuk ke arah itu aku masih harus banyak belajar seperti halnya perempuan yang sedang belajar menutup aurat, sebelumnya mereka beralasan ingin memperbaiki amal terlebih dulu baru berjilbab tetapi yang perlu digaris bawahi adalah orang yang berjilbab belum tentu baik tetapi orang yang baik pasti berjilbab. Dan untuk memperbaiki amal langkah awal yang harus dilakukan ya berjilbab dulu, dan selanjutnya biarkan mengalir begitu saja.

“Bagaimana Nak Hari, bersedia mengantar cucu saya kan?” Tanya kakek yang mampu memecah keheningan yang sejenak terjadi.

“Iya Kek,” jawabku singkat.

“Sana Nduk, siap-siap dulu,” Senja pun langsung masuk ke kamar untuk mengambil berkas-berkas dan perlengkapan lainnya. Tak berapa dia pun keluar dari kamar dengan jaket biru muda dan masker ungu di mulutnya.

“Pamit dulu ya Kek,” kataku yang kemudian mencium tangan kakek dan diikuti oleh Senja yang berpamitan kepada kakek.

“Yuk Dek,” kataku yang menyuruh senja naik ke motorku.

“Bentar Kak, aku ngeluarin motor dulu,” katanya yang langsung masuk ke garasi untuk mengeluarkan motor beat putih yang memiliki plat nomor B.

“Naik motor sendiri-sendiri?” Tanyaku dengan senyum kecut, karena aku nggak habis pikir, kukira dia mau bonceng aku, ternyata faktanya sungguh diluar dugaanku.

“Iya Kak,” ucapnya yang masih sibuk memanasi motor dan menggunakan helm.

“Nanti jangan ngebut ya Kak, biar saya hafal jalan-jalan Jogja,” pinta nya.

“Oke.” Jawabku singkat.

Setelah motor Senja mesinnya sudah cukup panas, aku pun keluar dari halaman rumah kakek dan diikuti Senja di belakangku. Ketika berada di jalan raya, aku selalu menatap kaca spion, memastikan bahwa senja ada di belakangku, konyol banget sih tapi lumayanlah dapat pengalaman baru yang lucu serta unik.

Tak berapa lama kami pun tiba di kampus tempat Senja akan menuntut ilmu, dan aku pun juga menawarkan bantuan untuk menemani dia mengurus administrasi penerimaan mahasiswa baru, tetapi dengan sopan dia menolak dan menyuruhku menunggu di parkiran.

Jam pun sudah menunjukan pukul 3 sore, dan suara Adzan sudah terdengar berkumandang, ku starterkan motorku dan menuju masjid kampus yang sudah terlihat ramai. Setelah selesai Sholat Ashar, aku pun kembali ke parkiran tempat dimana Senja menjanjikanku untuk menunggu.

Dari kejauhan sudah terlihat sosok perempuan berjaket biru muda yang nampak kebingungan mencariku, dilihatnya jam dan dibukanya hp. Mungkin dia bingung bagaimana cara menghubungi ku, pasalnya aku belum memberikan nomor hpku padanya.

“Ehem,” Senja pun langsung menoleh ke arahku dan terlihat sekali ketakutan di wajahnya yang membuatku merasa bersalah.

“Maaf ya Dek, tadi aku Sholat Ashar dulu,” kataku yang meminta maaf.

“Iya Kak, nggak papa,” jawabnya dengan mencoba melebarkan bibir untuk sekedar menutupi rasa takut yang ada di hatinya.

“Udah selesai Dek?”

“Udah Sholat?”

“Sudah Kak, kebetulan lagi nggak sholat,” jawabnya yang langsung sibuk memakai masker dan sarung tangan.

“Yuk Kak, kita pulang,”

“Oke, kali ini kamu yang di depan,”

“cuma ngetes kemampuannmu mengingat, nanti aku ikuti dari belakang,” sebenarnya alasanku menyuruhnya seperti itu karena aku tahu dia masih merasa takut dan aku ingin memastikan bahwa aku tidak akan meninggalkannya lagi, aku akan mengikutinya dari belakang dan ketika dia kebingungan aku akan maju ke depan untuk memberikan arah jalan yang benar.

Beberapa lampu merah dan pom bensin pun sudah kami lewati, dan aku baru ingat di sekitar daerah ini ada tempat yang sangat indah. Aku pun mengode Senja untuk mengikuti motorku. Kali ini aku berada di depan, dan lagi-lagi aku selalu melihat kaca spion dan selalu ku pastikan Senja tak tertinggal jauh dariku.

“Tempat apa ini Kak?” Katanya sesampainya kami di suatu tempat.

“Nanti kamu bakal tau sendiri,”

“kita makan dulu yuk,” kataku yang mengajaknya makan di sebuah warung.

“Nggak papa kan makan di warung seperti ini?” Tanyaku.

“Iya Kak nggak papa.” Jawabnya yang lagi-lagi selalu singkat.

Selama aku dan dia makan, tidak ada obrolan sama sekali, mungkin karena ini pertemuan pertama dan kami belum mengenal satu dengan yang lainnya atau mungkin Senja memiliki sifat pemalu yang membedakan dia dengan perempuan lainnya, unik dan lucu.

Setelah kami selesai makan, ku ajak lah dia naik ke sebuah bukit. Bukit itu terkenal karena pemandangannya yang indah. Banyak wisatawan yang menghabiskan waktu sorenya di bukit itu untuk menyaksikan senja dari ketinggian.

“Sini Dek duduk sini,” ucapku yang mempersilahkan dia duduk di samping orang-orang yang asik foto selfie.

“Tempat apa ini Kak?” Tanyanya.

“Ya, seperti yang kamu lihat,”

“sebuah bukit tempat untuk melihat matahari terbenam.” Jelasku yang kemudian langsung duduk di sampingnya.

“Mau foto kayak mereka nggak?” Tanyaku yang menujuk sekumpulan orang.

“Hehe, boleh.” Aku pun kaget, itu tadi sebenarnya pertanyaan basa-basi, biar ada obrolan antara kami, ee... ternyata dia mengiyakan tawaranku untuk foto bareng, seneng bukan main dong pastinya.

Langsung ku keluarkan HP baru ku OPPO A39, ku pasang wajah imut agar wajahku terlihat lebih muda dan Senja pun tersenyum lebar hingga membuat matanya sipit.

“Em... berarti dulu kamu lahir ketika senja ya? Kok namanya Senja?” Tanyaku basa-basi.

“Nggak,”

“aku lahir jam 9 pagi malahan, jauh dari waktu senja.”

“Harusnya namaku Dhuha kali ya, bukan senja.” Jawabnya yang kali ini mau mengeluarkan banyak patah kata.

“Hehe, bisa saja kamu Dek.”

“Terus kenapa nama kamu Senja?” Tanyaku penasaran bukan lagi pertanyaan basa-basi!

“Karena aku cucu pertama dari kakek, kakek ingin sekali memberikan nama untukku.”

“Karena kakek suka sekali dengan senja, makanya aku dinamakan Senja,” jelasnya.

O.... jadi kakek Subur juga penikmat Senja, pantas saja kemarin sore kita nyambung ngomongin senja.

“Kalau kamu sendiri, tipe penikmat senja atau bukan?” Tanyaku.

“Bukan!”

“Aku bukan hanya penikmat senja, tetapi aku adalah penikmat waktu, menikmati waktu dengan sebaik-baiknya, tidak menunggu datangnya senja ketika terbit fajar, dan tidak menunggu malam ketika aku berada di siang hari.”

“Tapi aku suka kok senja, langitnya indah,” tuturnya.

“Iya Indah, kayak kamu,” kataku ketika aku terhipnotis dengan langit senja yang sedang ku lihat saat ini.

“Apa, Kak?”

“Tadi Kakak bilang apa?” Tanyanya yang menyadarkanku dari lamunan.

“Iya katamu senja itu indah, ya berarti kamu itu indah.” Jelasku.

Senja memang penuh cerita, kali ini menceritakan pertemuan pertamaku dengan perempuan manis bernama Senja, dan untuk cerita senja-senja selanjutnya biarkan waktu yang akan menjawab, yang jelas banyak pengalaman yang aku dapat dari tiga senja yang aku nikmati berturut-turut. Pertemuan ku dengan sosok kakek yang bersahaya membuatku lebih mensyukuri hidup, dan pertemuanku dengan gadis bernama Senja membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

Dan untukmu wahai perempuan yang baru aku kenal, umurmu masih muda, gunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya, carilah ilmu, teman dan pengalaman jangan pernah mencoba bermain hati, aku tak mau kau merasakan sakit yang pernah aku rasakan, simpan hatimu baik-baik untuk dia yang telah ditakdirkan untukmu, dan aku berharap dia itu adalah aku. Aku yang mengagumimu sejak pertama bertemu, aku yang jauh dari kata sempurna dan aku yang terlalu berharap menjadi bagian dari hidupmu.

Semoga senja-senja yang akan datang membawa jawaban tentang pertanyaanku, tentang hati yang sepertinya sudah terisi kembali, menggantikan posisi dia yang sudah lama ingin ku lupakan. Dan untuk dia yang pernah membuatku terluka, semoga senja mu juga bermakna hingga membuatmu sadar betapa bahagianya ketika hidup dalam kesederhanaan, bukan hanya soal materi tapi juga kebahagiaan hati.



#The End#