Kamis, 30 April 2015

Mobil Impian


Mobil Impian

Impian, semua orang pasti mempunyai impian atau bahasa kerennya cita-cita, ada yang kesampean, ada pula yang tidak, dan itu semua tergantung dari usaha kita. Kalau leda-lede impian itu pun akan leda-lede juga, alias nggak mau jadi kenyataan, kalau benar-benar berjuang, InsyaAllah impian itu akan menjadi kenyataan.
Seperti kisah sahabatku yang namanya masih dirahasiakan, sejak SMP dia bercita-cita dapat membeli mobil dengan uangnya sendiri. Karena saking pengennya punya mobil, suatu ketika saat jam pelajaran kosong, si anak ini bermain sendiri layaknya sedang menyetir mobil, hem.m permainan yang cukup kanak-kanakan untuk siswa SMP.
Tak berhenti disitu saja, setelah lulus SMP aku dan si anak itu melanjutkan sekolah di sekolah yang sama bahkan kelas kami pun juga sama, dan cita-citanya pun juga masih sama, apalagi kalau bukan pengen punya mobil.
“Sis, bentar lagi kita lulus, Lo mau nerusin kemana?” tanyaku ke anak itu, ketika aku dan dia berada pada massa kegalauan antara nerusin kuliah atau milih kerja.
“Ya pokoknya kerja, cari uang biar bisa beli mobil,” jawabnya.
“Cita-cita Lo masih sama kayak SMP dulu?”
“Yups, cita-citaku simpel kok,”
“punya mobil, terus punya rumah bertingkat yang ada kolam renang di dalamnya dan ada lapangan golfnya,” kata anak itu asal.
“Gila, itu bukan simpel lagi namanya, tapi complicated.”
“Haha, kalau Elo gimana Pret?” Tanya anak itu ke aku, nih perlu diterangin kata Pret yang dimaksud anak itu adalah Pretty, bukan kutu kupret. Jadi intinya, namaku itu Pretty, dan anak itu sering menggal namaku jadi Pret.
“Gue sih pengennya kuliah di Jepang, tapi sayangnya gue nggak bisa bahasa Jepang, bisanya cuma kamsahamnida. Nggak enak dong ya, kuliah di sana terus mau pesen makanan harus buka kamus dulu, keburu laper.
“Haha, kerja aja Pret biar dapet uang,”
“hey, itu Korea bukan Jepang, kalau Jepang tu arigato, gimana sih.”
“Oh iya lupa.” Jawabku.
Beberapa bulan setelah percakapan itu terjadi, aku dan anak itu tak lagi berkomunikasi. Kita sama-sama sibuk, akunya nyari kerja dan dianya entah kemana aku tak tahu, kata guru BP anak itu mencari pekerjaan di luar kota, sedangkan aku benar-benar termakan omongan anak itu yang menyarankan untuk bekerja.
Aku pun akhirnya diterima menjadi karyawan disalah satu percetakan terbesar di provinsi Jawa Tengah, awalnya jadi coppywriter dan lama-kelamaan jadi admin keuangan, hm.m Alkhamdulillah, rejeki anak sholehah.
Dan untuk menunjang karir, perusahaan pun mengirim aku untuk mengikuti seminar tentang profesionalisme dalam bekerja, dengan harapan kinerjaku dapat meningkat setelah menghadiri seminar itu.
Sebenarnya gue nggak perlu dikirim ke seminar untuk mengingkatkan kinerja gue, cukup naikin salary-nya aja itu lebih dari cukup, haha.
Karena nggak terlalu bersemangat, aku pun sengaja duduk di bangku paling belakang, dan di sekelilingku adalah laki-laki semua hanya aku yang berjenis kelamin perempuan, itu sudah bisa membuktikan bahwa kebanyakan laki-laki tidak menyukai acara semacam seminar, dan mereka akan merapat ke barisan paling depan jika acara seminar itu diubah menjadi acara konser JKT-48, right?
Karena terlalu bosan dengan acara yang sedang aku ikuti sekarang, aku pun mengasah kemampuan mataku yang sudah lama tak ku asah. Biasanya kedua mata indahku ini akan melirik dengan sendirinya jika ada laki-laki yang tampan yang berada di dekatku. Dan aku pun mencoba melirik kiriku eh ternyata tak ada yang bisa mengobati kejenuhanku, dan ku lirik sebelah kananku dan wow!!!! Tak ada yang menarik juga.
Tapi otakku seakan menyuruhku untuk menoleh lagi ke arah kiri, barang kali ada seorang laki-laki yang mampu menarik perhatianku. Perlahan tapi pasti ku lirik sebelah kiriku, awalnya laki-laki yang persis duduk di sampingku dan kemudian kulihat laki-laki yang ada di sampingnya, tak ku sangka dan tak kuduga laki-laki itu juga melihat ke arahku, karena kaget dan malu aku pun pura-pura melihat ke atas dan mengibaskan tanganku untuk mengusir nyamuk-nyamuk fantasi.
“Ehem,” suara batuk dari laki-laki itu yang menandakan bahwa dia tahu kalau aku sedang berpura-pura.
“Ehem,” suara batuknya lagi, yang membuatku menoleh ke arahnya.
“Heloh, ternyata Elo?” Tanyaku kaget, ternyata e ternyata laki-laki itu adalah Siswanto, sosok anak itu yang memiliki mimpi untuk memiliki mobil dari uangnya sendiri.
“Iya Pret, ngapain kamu di sini? Kok nggak ke Jepang?”
“Lagi liburan, jadi Gue pulang ke Indonesia deh,”
Karena takut mengganggu konsentrasi sebelahku, aku pun minta tukar tempat duduk dengannya, sehingga aku dan Siswanto duduk bersebelahan.
Pembicaraan kami pun berlanjut, mulai dari tanya kabar sampai dengan tanya status. Dan aku pun dengan bangganya ketika Siswanto bertanya tentang status kepadaku, aku menjawab aku masih sama kok kayak dulu, digantungin sama Vidi Aldiano, ups.
Satu jam pun sudah terlewati, dan acara seminar telah usai, itu berarti aku harus kembali ke bus bersama rekan-rekanku begitu pula Siswanto. Yang menjadi penyesalanku adalah, kenapa aku tidak bertanya tentang sosok sexy yang menjadi idamannya, apakah sudah ia dapatkan apa belum, itu hlo tentang mobil impiannya, tapi nggak papa mungkin di lain kesempatan aku bisa bertemu dengan Siswanto, karena sekarang dia bekerja di kota yang sama denganku, yups kota Klaten, kota yang selalu bersinar dan akan terus bersinar apapun yang terjadi, cieleh.
Hari demi hari telah kulewati dengan status sebagai admin keuangan, yang mengharuskanku berangkat kerja di awal waktu tetapi pulang paling akhir. Suatu ketika saat aku dalam perjalanan pulang kerja, aku mengendarai motor dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya, ada teman yang ingin berkunjung kerumahku, jadi aku harus cepat-cepat sampai rumah.
Tetapi ketika aku tiba di persimpangan jalan, ada sebuah mobil yang berada tepat di depanku, si pengemudi itu mengendarai mobil dengan sangat pelan, aku pun tidak bisa menyalipnya karena dari arah berlawanan arus lalu lintasnya padat. Alhasil aku harus mengorbankan waktu berhargaku hanya untuk mengawal mobil merah itu.
“Bu, teman-temanku mana?” Tanyaku sesampainya di rumah.
“Baru aja pulang, katanya nanti malam mau ke sini lagi.”
“Mereka kelamaan nunggu kamu,” jawab ibu.
Sore pun berganti malam, sesuai dengan rencana temanku tiba di rumah pukul 21.30, sebenarnya aku sudah terlalu lelah dan mengantuk, tapi bagaimanapun juga aku harus menemui mereka yang telah meluangkan waktu untuk berjumpa denganku, mereka adalah sahabat-sahabatku semasa taman kanak-kanak.
Karena di rumah tidak ada makanan yang bisa kusuguhkan, aku pun mengajak mereka untuk makan di rumah makan yang dekat dengan pom bensin. Tetapi karena takut begal, kami pun ke rumah makan itu menggunakan mobil yang dikendarai temanku walaupun sebenarnya jarak rumah makan dengan rumahku itu hanya sekitar 2 KM, ya nggak papalah iseng-iseng ngrasain mobil baru temanku dan semoga besok bisa nyusul punya mobil sendiri, aamiin.
“Tutut,” suara mobil yang telah dikunci setelah diparkirkan di tempat parkir rumah makan Mantablah.
“Prety, kamu yakin makanan di sini enak?” Tanya Queen, temanku.
“Iya yakin, tenang aja,” aku dan teman-temaku langsung masuk dan mencari tempat duduk yang masih kosong.
 “Silahkan, mau pesan apa?” Tanya pramusaji setelah kami duduk dengan nyaman di lokasi yang dekat dengan kasir.
Tanpa menawari teman-temanku, aku pun langsung menulis menu yang sudah pernah ku coba. Tak berapa lama, pesananku pun datang, sosok laki-laki yang kurus kerempeng membawa sebuah nampan yang berisi cukup banyak piring dan gelas, otot-otot di tangannya pun seakan mau keluar karena tidak kuat menyangga beban itu. Bulir-bulir keringat juga mengalir di tepi wajahnya, yang membuat rambut yang di dekat telinga menjadi sedikit basah.
“Permisi, sup kepala ikan kakap, nila bakar, ayam penyet, sayur asam, lalapan, sama balado jengkol,”
“minumannya, jus melon, jus jeruk, jus mangga sama jus lidah buaya,” kata pramusaji itu ketika menghantarkan pesananku.
“Siswanto?” Kataku kaget.
“Katanya kamu kerja jadi desain programer, kok sekarang ada di sini?” Tanyaku saat mengetahui bahwa laki-laki cungkring itu adalah Siswanto.
“Oh kamu Pret, ntar aja ya ngomongnya, aku masih ada pekerjaan,” jawabnya yang kemudian pergi.
Setelah pesananku sudah di depan meja, aku dan teman-temanku pun menyantabnya dengan semangat, dan terkadang aku melihat Siswanto yang lalu lalang dengan membawa baki yang lebih banyak muatannya. Dan di situ kadang saya merasa sedih, waktu SMK saja saat bersih-bersih kelas, dia meminta bantuanku untuk menggeser meja karena dia nggak kuat, tapi sekarang tubuhnya lebih kurus dari jaman SMK tetapi beban pekerjaannya luar biasa.
“Bentar ya Jeng, aku ada keperluan sebentar,” kataku kepada teman-teman.
“Maaf Mbak, saya mau ketemu sama Siswanto sebentar bisa?” Tanyaku sesampainya di depan kasir.
“Oh, Mbak temannya, bisa Mbak silahkan masuk saja,” jawab mbak kasir dengan sangat ramah.
“Sis, dah longgar belum?” Tanyaku setelah masuk di sebuah ruangan yang sebenarnya itu khusus untuk karyawan.
“Plend, aku istirahat bentar ya,” Siswanto pun meminta izin kepada teman-temannya untuk menemui aku sebentar.
“Ship,” jawab teman-temannya.
Siswanto pun mengajak aku ke keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju ke sebuah tempat rahasia yang dijadikan tempat tongkrongan karyawan-karyawan ketika mereka beristirahat.
“Wow keren bingits, di sini kita bisa lihat lampu dan atap-atap rumah warga sekitar,” kataku.
“Hey, plis deh.”
“Gimana Pret, enak nggak tadi jadi penggawal ku?”
“Hah, maksud mu?” Aku pun membalikan tubuhku dan duduk di dekat kursinya.
“Tadi hlo mobil merah itu,” jelas Siswanto dengan senyum yang terlihat berbeda dari biasanya, mungkin dibalik senyumnya itu tersimpan sejuta keluh kesah yang ingin ia sampaikan kepadaku.
“Oh, jadi itu kamu! Mentang-mentang mobil baru, jalannya pun pelan. Takut lecet ya mobilnya!” Kataku dengan kesal.
“Tapi ngomong-ngomong selamat ya Sis, akhirnya cita-citamu tercapai juga, kapan aku bisa duduk disampingmu?”
“Nah, sekarang kamu lagi duduk di sampingku,” kata Siswanto dengan wajah bingungnya.
“Maksudku, duduk di sampingmu saat di dalam mobil.”
“Oh, ya besok kalau aku dah punya mobil beneran,” kata Siswanto dengan suara lirihnya.
“Apa kamu nggak lihat di plat mobilnya itu? Kan ada tulisannya belajar,”
“dan pasti kamu ke sini mau tanya kan, kenapa aku bisa kerja di sini? Ya itu karena mobil itu. Aku pengen cepet-cepet punya mobil,” jelas Siswanto dengan tatapan mata yang mengarah ke bawah pertanda bahwa ia sedang menahan sedih dan tak mau aku melihat ke matanya.
“Sis, oke itu cita-citamu, yang patut kamu perjuangin. Tapi apa begini caranya?”
“Dengan menzalimi tubuhmu sendiri untuk mendapatkan sebuah benda yang tak kan kamu bawa ketika kamu mati?”
“Kamu tahu nggak kenapa Allah menciptakan siang dan malam?” Tanyaku dan ia hanya membalas dengan gelengan kepala.
“Dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 67, disebutkan bahwa Allah menciptakan malam untuk kita beristirahat dan menjadikan siang yang terang bendarang untuk kita mencari karunia Allah termasuk mencari harta, jadi jangan memaksakan diri seperti ini Sis,” kataku dengan memegang pundaknya.
“Aku tahu tubuhmu lelah, beristirahatlah Sis, jangan seperti ini. Aku nggak tega lihat kamu seperti tadi.” Kataku dengan air mata yang mulai mengalir.
“Aku nggak papa kok Pret, jangan terlalu khawatir denganku,” Siswanto pun melepaskan tanganku dari pundaknya, dan menatap mataku dengan tatapan tajam untuk meyakinkanku bahwa dia kuat, deweke ora popo.
“Sana Pret, kasihan teman-temanmu nunggu kamu,” kata Siswanto dengan gerakan kepala yang menunjukan ke arah pintu keluar.
“Sana, udah tahu jalannya kan?” Kata Siswanto yang melihatku tak bergerak ketika dia menyuruhku untuk kembali.
“Ya sudah aku balik dulu ya, besok aku ke sini lagi. Jaga kesehatanmu ya Sis. Daa,” aku pun berjalan menuju pintu sambil melambaikan tangan.
Siswanto pun juga melambaikan tangan kepadaku, senyumnya pun juga berkembang tapi setelah aku menghilang dari pandangannya aku tak tahu apakah senyumannya itu tetap berkembang atau berubah menjadi tangisan.
Hari berikutnya, setelah aku melaksanakan sholat Isya’ aku langsung tancap gas menuju rumah makan mantablah dengan membawa satu botol susu segar untuknya. Tapi setelah aku tiba di lokasi aku di beritahu mbak kasir bahwa hari ini Siswanto tidak masuk kerja karena semalam ia demam tinggi dan sempat muntah-muntah, sekarang ia dirawat di rumah sakit, betapa kagetnya aku mendengar berita itu.
Tanpa pikir panjang aku langsung menuju rumah sakit yang disebutkan mbaknya tadi. Sekitar sepuluh menit aku sudah sampai di rumah sakit itu, dan langsung mencari kamar tempat Siswanto di rawat.
“Assalamu’alaikum,” sapa ku saat memasuki kamar Fatimah no. 22.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Siswanto lirih.
“Ayah, ibumu mana Sis? Kok sepi?”
“Mereka baru cari makan malam.”
“Oh, padahal aku sudah bawa sate lontong untuk mereka,” kataku yang kemudian meletakkan bungkusan yang ku bawa di meja.
Perlahan ku berjalan mendekati Siswanto, ku lihat bibirnya yang dulu merah merekah berubah menjadi putih memucat, matanya yang dulu bersinar terang menjadi kosong seperti tanpa harapan.
 “Sis, kamu mikirin apa?” Tanyaku saat melihat wajah Siswanto yang nampak bingung dan sedih.
“Yang itu jangan dipikirin dulu lah, bikin tambah sakit.”
“Niatku, hari ini aku berhenti bekerja di rumah makan itu, karena uangku udah cukup buat bayar DP mobil, e ternyata kemarin malam aku masuk rumah sakit,” tutur Siswanto dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kenapa ya Pret, Allah kasih cobaan seperti ini ke aku? Padahal Dia kan tahu kalau aku benar-benar berjuang untuk mewujudkan cita-citaku itu?” Tambah Siswanto yang membuat air matanya keluar tanpa ia suruh.
“Tu kan masih mikirin itu, diikhlasin aja Sis. Kok nyalahin Allah sih,”
“sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada kamu, tetapi kamu lah yang berbuat zalim kepada dirimu sendiri,”
“Tubuhmu itu hlo yang jadi korbannya, siang sampai malam kamu paksa untuk bekerja hanya untuk mencari materi semata, dan sekarang apa hasilnya?”
“Iya emang dapat uang, uang buat biaya rumah sakit!”
“Kok kamu gitu sih Pret,” Siswanto pun sedih ketika ia sakit ia malah mendengar ceramah dari ku, aku mah gitu orangnya care banget sama sahabat sendiri, jadi aku nggak mau kalau sahabatku itu salah jalan, jadi ilmu yang ku dapat dari acara Mama Dedeh ku salurkan ke Siswanto.
“Gitu gimana Sis?”
“Udah lah Sis, kamu jangan mikirin mobil itu dulu untuk saat ini, biarkan tubuhmu itu istirahat. Besok kalau udah sehat baru cari uang buat beli mobil, tapi ingat jangan terlalu memaksa.”
“Iya Pret, rasanya aku capek banget, besok-besok lagi kapok dah aku kerja kayak kemarin.”
“Enakan istirahat dirumah walaupun atap rumah sering bocor daripada di sini, di sebuah kamar yang penuh dengan fasilitas,” tutur Siswanto yang sudah menyadari kesalahannya.
“Nah gitu dong,”
“semoga lekas sembuh ya Sis, aku pulang dulu. Jangan sering update di BBM, dari pada mainan HP mending tidur,” kataku yang lagi-lagi ceramah.
“Iya bu, siap,” jawab Siswanto dengan tersenyum walaupun dengan bibir yang pucat.
Ya, walaupun usaha Siswanto itu tidak leda-lede pada akhirnya dia belum, belum ya ini bukan tidak! Belum bisa mewujudkan cita-citanya untuk mempunyai mobil sendiri. Selain karena manusia hanya bisa berencana dan hanya Allah lah yang berkehendak, itu juga karena ada hak yang belum dikeluarkan Siswanto, yaitu hak tubuhnya untuk istirahat. Begitu pula untuk aku, mungkin ada hak untuk sesama yang belum aku keluarkan jadi cita-citaku belum terwujud, cita-citaku simpel kok menjadi penulis novel yang karyanya di terima oleh masyarakat luas, terus novelku itu dibuat film yang pemainnya didatangkan langsung dari India, Shaheer misalnya, aamiin. Tolong yang baca cerita ini juga mengamini cita-citaku. Aamiin (yang bilang aamiin semoga di mudahkan rejekinya, aamiin). Hehe. Salam sukses :)

The End