Senin, 22 September 2014

Mie Instan Vs Rokok

Mie Instan Vs Rokok

“Sudah ku bilang kan, kurangi rokokmu!!”
“Terus kamu sendiri bagaimana? Apa sudah mengurangi makan cacing kriting itu!”
“Hei, jangan samakan makanan favoritku dengan hewan menjijikan itu!”
Suasana pun menjadi panas, tak ada yang mau mengalah satu sama lain. Pacarku adalah perokok berat dan aku berusaha menghentikan kebiasaan merokok pacarku itu. Tak ada salahnya kan, itu demi kesehatan dia, tapi apa balasannya? Dia malah mengeluarkan kata kasar padaku, sepertinya kecintaan dia terhadap benda tabung yang penuh dengan racun itu lebih besar dari cintanya padaku.
“Mie instan juga bahaya untuk kesehatan, jadi kamu harus menguranginya juga.” Kata Soni yang berusaha mendinginkan suasana.
“Lebih bahaya rokok!!”
“Kamu nggak lihat gambar di bungkus rokok itu?”
“Merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, kanker mulut dan tenggorokan. Kamu nggak lihat? Atau sengaja mengabaikannya?” Kataku yang masih saja terpancing emosi.
“Mie instan juga menyebabkan kanker, dan seharusnya di bungkus mie instan juga harus di munculkan gambar mengerikan itu, bukan hanya di bungkus rokok!”
“Oke, cukup! Aku sudah nggak tahan lagi dengan hubungan kita, selalu saja berdebat dengan topik yang sama dan tak ada satu pun yang mau mengalah, lebih baik kita udahan aja, aku capek.” Kataku.
“Oke kalau itu maumu!” Kata Soni yang kemudian pergi meninggalkan aku.
What? Dia pergi begitu saja setelah membuat kekacauan seperti ini? Seharusnya dia berusa meredam amarahku dan mau mengalah demi aku dan hubungan kita, tapi ternyata dia lebih memilih rokok daripada aku, that’s so pity.
Ok fine, mulai hari ini aku menyandang stasus jomblo. Mungkin itu lebih baik, daripada tiap hari aku selalu khawatir tentang tensi darahku yang sepertinya naik setelah aku bertengkar dengan Soni. Tapi, yang membuat aku tak nyaman adalah tentang intensitas pertemuanku dengan Soni yang sering, aku dan Soni adalah rekan kerja sebelum akhirnya benih-benih cinta itu pun tumbuh. Semua rekan kerjaku bahkan bosku mendukung hubungan kita, dan mengharapkan hubungan kita sampai kepelaminan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, hubungan kita kandas di tengah jalan, dan aku harus berakting agar pertengkaran ini tidak terdengar oleh rekan-rekan kerjaku lainnya.
“Makan siang pakai apa kamu Monic?” Tanya Citra disaat jam makan siang.
“Sama mie goreng sambal ungu dong.”
“Waow, variant  baru ya itu?” Tanya Isna.
“Yups betul. Beruntungnya aku bisa jadi taster produk mie instan terbaru.”
“Gitu aja dibanggain.” Kata Soni yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku.
“Nih, lihat bekal makan siang ku.” Soni pun menunjukan bekal makan siangnya yang hampir memenuhi 4 sehat 5 sempurna, minumnya pun jus yang dicampur susu, dia benar-benar memperhatikan gizi di makanannya.
“Nggak kayak kamu, mie instan melulu.”
“Nggak bisa masak, atau nggak punya uang lebih buat beli yang lebih bergizi?” Kata Soni yang lagi-lagi memancing emosiku. Karena sekarang aku berada di kantor ku coba untuk mengendalikan emosiku, dan berpura-pura bersikap manis di depan Soni.
“Bisa jadi seperti itu.” Kataku yang tak mau menanggapi Soni.
Soni pun mengambil bekal makan siangku dan membuangnya ke tong sampah, dan dia menyodorkan bekal makan siangnya sebagai ganti makan siangku yang sudah ia anggap sampah itu.
“Heh, maksud kamu apa sih? Itu makanan bukan sampah!” Aku pun berdiri dan melotot kearah Soni. Kali ini aku benar-benar tak bisa mengendalikan emosiku, dan tak ku pedulikan teman-temanku yang terlihat bingung melihat kita.
“Kayak gini yang namanya makanan? Yang hanya membuat kamu kenyang tapi tak menyehatkan?” Soni pun meladeni omonganku.
“Hei, kamu apa-apaan sih?” Kata Soni saat tanganku menuju ke kantung bajunya.
“Dan ini yang namanya penghilang setres?” Aku pun mengambil satu bungkus rokok yang ada dikantungnya dan langsung ku injak dengan sepatu high heel ku.
“Bahkan menurutku inilah penyebab setres, yang berujung kematian!”
“Sudah hentikan!” Teriak Isna.
“Ayo kita cari tempat makan lain!” Isna dan Citra pun membawaku pergi sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Yah, beginilah resiko punya pacar satu kerjaan. Enaknya kalau lagi kasmaran bisa jadi penyemangat, kalau lagi musuhan kayak gini dah pasti bikin males dan pengen cepat-cepat pulang.
Akhirnya jam pun menunjukan pukul 15.00, dan aku sudah berada di halte bus untuk menunggu jemputan masal itu datang. Biasanya aku memilih bus yang masih terlihat longgar, tapi kali ini karena mood sedang terganggu, aku naik bus pertama yang lewat di depanku dengan alasan agar cepat sampai rumah.
Saat aku menaiki bus, terlihat banyak tempat duduk yang sudah terisi tapi ada satu bangku yang masih kosong di pojok belakang. Padahal aku naik dengan Citra, itu berarti salah satu diantara kita harus berdiri sampai tiba di lokasi tujuan. Aku dan Citra menuju ke bagian belakang bus, dan betapa terkejutnya aku saat mengetahui penumpang yang duduk di samping kursi kosong itu adalah Soni. Citra pun memilih berdiri dan mempersilahkan aku duduk. Karena terpaksa aku pun duduk di samping Soni.
Suasana kikuk pun tercipta. Aku berkali-kali menelan ludah  dan membasahi bibir dan Soni terlihat menikmati pemandangan luar dengan korek api yang masih ditangannya. Beberapa kali pengamen jalanan masuk untuk sekedar mendendangkan lagu tempo dulu, tapi itu tak membuat keheningan diantara kami sirna, ironi sekali memang jika dibandingkan dengan suasana di bus saat ini.
Saat bus berhenti tepat di depan SMA Nuansa Indah, aku dan Citra pun turun. Tanpa basa-basi aku beranjak dari kursi itu dan meninggalkan Soni sendiri.
“Cie, yang duduk berdua,” ledek Citra ketika kami sudah turun dari bus.
“Apaan sih,” kataku yang kemudian berjalan mendului Citra.
“Tadi kamu lihat Soni nggak? Maksudku sebelum kamu duduk di sampingnya?” Citra pun mengejarku dan berjalan di sampingku.
“Aku lihat dia ngrokok, dan pas kamu nongol tiba-tiba dia mematikan putung rokoknya.”
“Mungkin dia takut sama aku,” kataku yang masih berjalan tanpa memperhatikan Citra.
“Bukan itu Monic!!! Dia masih peduli sama kamu, dia nggak ingin kamu jadi perokok pasif.”
“Coba kalau yang duduk itu aku, sudah pasti habis satu bungkus rokok.”
“Oh.” Kataku yang kemudian masuk ke halaman rumah dan meninggalkan Citra sendiri di jalan.
“Ihih Monic, diajak bicara  malah masuk!” Teriak Citra.
Pagi harinya, dengan sisa semangat yang ku punya akupun menuju ke kantor. Sesampainya di kantor, ternyata belum ada manusia sama sekali. Yeah, kali ini aku memecahkan rekor, berangkat paling awal. Biasanya aku paling terakhir tiba di kantor, yah itu karena faktor transportasi. Kadang bus datang tepat waktu kadang juga molor, tapi banyak molornya, mungkin ngejar target. Jadi tiap ada orang yang berdiri di jalan selalu saja di samperin walau kadang ditolak karena bukan bus jurusannya, kasian.
Saat berada di dalam kantor perhatianku pun tercuri saat melihat koran yang berada di meja kerja si bos. Terlihat gambar mie instan yang ku makan kemarin, karena penasaran aku pun meminjamnya dan membaca topic yang jadi sorotan utama itu. Dan betapa kagetnya aku, membaca berita bahwa BPOM mengeluarkan statemen bahwa mie instan dengan rasa cabe ungu tidak layak dikonsumsi manusia, karena ada kadar zat kimia dalam jumlah yang melampaui batas keamanan.
“Udah baca berita tadi pagi belum Mon?” Tanya Isna di saat jam istirahat yang kubalas anggukan kepala.
“Kamu harusnya minta maaf ke Soni, ada baiknya juga kan kemarin dia buang makanan mu?” Sahut Citra.
“Betul itu yang dikatakan Citra.”
“Cie, yang diomongin nongol.” Kata Citra yang melihat Soni sudah berada di pinggir meja makan kami.
Tiba-tiba soni melihat bekal makan siangku, tak ada kata yang keluar dari mulutnya ketika melihat laukku adalah telur dadar. Dia pun memberiku satu botol jus jambu dan kemudian pergi begitu saja.
Dia selalu saja memperhatikan aku, apa yang aku makan dan minum tak luput dari perhatiaanya. Merasa bersalah juga telah membetak dia kemarin, dan telah lancang mengambil rokok yang ada di sakunya. Tapi itu karena aku care sama dia, nggak mau dia sakit karena efek buruk dari rokok, tapi dia justru tak memperhatikan kesehatannya, malah aku yang ia perhatikan, argh....
Setelah ku habiskan bekal makan siangku, aku pun pergi dengan membawa jus jambu yang baru kuminum sedikit. Aku pun mencari Soni di warung makan depan kantor. Dan betul saja dia berada di sana, yang membuatku semakin bersalah adalah ketika melihat minuman yang ia minum adalah es teh, sedangkan aku minum jus jambu kesukaannya.
“Ini.” Kataku yang memberikan botol jus jambu.
“Aku sudah meminumnya, sekarang aku berikan lagi ke kamu.” Soni pun menatapku dengan tatapan seperti orang bingung.
“Kamu juga harus meminumnya, karena ini baik untuk kesehatannmu.” Jelasku yang masih terlihat kaku saat berbicara dengan Soni.
“Oh iya, maaf soal yang kemarin. Ini sebagai gantinya.” Kataku yang memberi uang kertas berwarna hijau.
“Itu sebagai ganti rokok yang kuinjak kemarin, tapi maaf aku nggak bisa membelikan kamu dalam bentuk rokok. Terserah kamu, mau buat beli rokok lagi atau tidak, aku tak peduli.” Kataku yang kemudian pergi.
“Aku akan menggunakan uang itu untuk membayar makan siangku.” Kata Soni yang sempat menghentikan langkahku.
“Aku sedang belajar untuk tidak merokok lagi.” Kata Soni yang membuat bibirku melebar.
Setelah jam makan siang berakhir, aku pun masuk ke ruang kerjaku dengan pikiran yang masih semrawut. Apa maksud Soni tadi, apakah dia benar-benar mencoba untuk berhenti merokok atau hanya sekedar omong kosong doang. Kalau memang benar, apa yang aku berikan kepadanya, bahkan aku sendiri belum mencoba mengurangi makan mie instan, hanya saja tadi pagi karena persediaan satu kerdus mie ku habis makanya aku bawa bekal telur dadar, ah egoisnya aku. Mencoba memperhatikan kesehatan orang, kesehatan diriku sendiri tak sempat ku perhatikan. Memang benar mie instan jika dikonsumsi terlalu sering berakibat negatif untuk kesehatan, dan aku mencoba tak mempedulikannya untuk menjadi pemenang dalam perdebatan yang terjadi kemarin. Benar-benar membuatku frustasi saja ni masalah. Hufth.
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku mengirim pesan kepada Soni. Aku ingin membicarakan masalah ini dengan baik-baik agar tak ada rasa canggung atau dendam ketika kita bersama, apalagi kita satu kerjaan rasanya bakal nggak nyaman jika harus begini terus.
Soni pun mengiyakan tawaranku untuk berbicara sepulang kerja, dan aku memilih lokasi halte bus untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ada di hati. Tempat yang sama sekali tak romantis untuk memperbaiki sebuah hubungan yang telah hancur karena sebuah keegoisan, tapi justru tempat itu yang paling pas karena di sana lah tempat kita dipertemukan dan akhirnya menjalin hubungan yang serius, dan mungkin di tempat sana jugalah hubungan kami akan kembali kesemula atau tidak sama sekali, aku pun masih bingung mengenai hal ini.
Setelah jam kantor berakhir, aku bergegas menuju halte dekat kantor. Dan terlihat Soni sudah duduk tangan dilipat di dadanya.
“Hai.” Sapaku.
“Ayuk Neng naik!” Ajak seorang kondektur bus yang melihatku baru tiba di halte.
“Tidak Bang, makasih!” Tolakku yang kemudian duduk di samping Soni.
“Bagaimana kabarmu?” Soni pun bertanya tentang kabarku, seperti orang yang baru bertemu setelah sekian lama berpisah.
“Baik, dan kamu?” Jawabku.
 “Hahaha terlihat aneh dan canggung ya.” Kata Soni dengan tertawa getir.
“Em.m aku minta maaf atas keegoisanku selama ini.” Aku pun memulai topik pembicaraan yang sudah aku persiapkan sejak tadi siang.
“Aku tahu kita saling care satu sama lain. Aku melarangmu merokok, dan kamu melarangku makan mie instan. Semua itu ada manfaatnya untuk kesehatan, tapi karena keegoisan masing-masing rasa-rasanya hal itu menjadi boomerang antara kita.”
“Aku pun begitu, sebagai seorang laki-laki tak selayaknya aku menghindar dari masalah. Seharusnya aku mendengar kata-katamu untuk berhenti merokok, karena batuk yang aku alami ini karena kebiasaan burukku itu.” Kata Soni.
“Apa? Kamu sakit Son? Sudah minum obat dari dokter belum tadi siang?” Kataku yang terlihat panik saat mengetahui bahwa batuk yang Soni alami sejak dulu karena efek dari rokok.
“Terimakasih. Terimakasih kamu masih perhatian sama aku.” Kata Soni dengan menatap mataku.
“Seharusnya aku yang bilang makasih ma kamu.” Aku pun membalas tatapan mata Soni.
“Tapi, sebaiknya kita sendiri dulu saja.”
“Sebelum kita mencintai orang lain, kita harus mencoba mencintai diri kita sendiri dulu. Memang kelihatannya mudah, tapi sebenarnya itu sangat sulit apalagi itu dilakukan karena paksaan dari pihak lain.”
“Aku harus mencoba mengurangi mie instan dan kamu harus mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan merokokmu itu dengan kesadaran diri bukan karenaku atau karenamu.” Jelasku.
“Kamu juga harus menghentikan kebiasaan makan mie instan jangan cuma mengurangi!” Kata Soni yang membuat aku tercengang.
“Hey! Kalau nggak ada waktu buat masak, andalanku cuma mie instan.”
“Aku yang akan membawakan bekal untukmu. Aku akan membawakan nasi yang lengkap dengan sayur dan lauknya juga jus jambu atau buah lain yang harganya murah.” Kata Soni.
“Kok yang murah sih?”
“Lagi krisis moneter ini. Lagian gajiku lebih sedikit dari pada gajimu, harusnya kamu yang ngasih jus ke aku!”
“Hey! Mana sempat aku buat jus, kalau kamu nggak ikhlas buatin jus, nggak usah buatin aja!” Kataku kesal.
“Gitu aja marah.”
“Senyum dikit dong.”
“Tenang aja, aku ikhlas kok buatin jus, jus spesial untuk mu.”
“Hehehe makasih. Tapi nggak papa kan kalau kita sendiri dulu.” Tanyaku yang memastikan status hubungan kami.
“Iya nggak papa, kita memang harus sendiri dulu, saling intropeksi dan bersikap lebih dewasa lagi.”
“Ship.”

***



Senin, 15 September 2014

Kakak Kelasku


Kakak Kelasku

Kata kebanyakan orang, masa terindah adalah masa SMA masa dimana yang namanya cinta bebas berkeliharan dari hati satu ke hati yang lainnya, tapi itu tidak berlaku untukku. Jika ada yang bertanya masa apa yang ingin kamu ulangi lagi? Dengan lantang aku menjawab masa SD, masa dimana aku menikmati hidupku tanpa ada rasa khawatir tentang masa depan, seperti apa besok, jadi apa aku dan harus bagaimana aku jika semua tak sesuai dengan rencana.
Dulu aku bersekolah di SD yang cukup tenar di Desaku, SD Bingkisan Negeri namanya. Masih teringat masa indah dimana aku mengenakan seragam merah putih dan berada di sebuah ruangan paling pojok diantara ruang lainnya. Entah apa maksud dari Kepala Sekolah yang memutuskan ruang kelas 1 berada paling pojok, seharusnya ruang kelas 1 berada paling dekat dengan pintu gerbang. Yups, biar cepat keluar dari gedung berbentuk L itu dan pastinya tidak membuat iri kelas lainnya yang masih setia menunggu bel pulang sekolah. Hahahaha.
Ada untungnya juga kelas 1 ada di pojok, yang keberadaannya diapit kelas 2 dan kelas 5. Pasalnya pintu akses kelas 1 dekat dengan pintu masuk kelas 5. Jadi intinya jika aku masuk ke kelas berati aku harus melewati pintu kelas 5 dan barulah melewati pintu kelas 1.
Banyak temanku yang terlihat canggung saat melewati pintu kelas 5, mereka hanya melihat ke bawah dan tak berani melihat penghuni kelas 5 yang selalu memperhatikan kita, mungkin karena kita terutama aku terlihat lucu dan maaf cupu pastinya, hahaha.
Entah pengaruh apa yang masuk dalam diriku, sejak kelas 1 SD aku sudah berani melirik kakak kelas. Apa karena sering melihat sinetron tersanjung ya? Sinetron favorit ibuku dan menjadi favoritku juga.
Berbeda dengan temanku, saat aku masuk dan keluar kelas aku berani melihat ke arah kelas 5. Dan tak jarang ada yang menggodaku, kadang mereka memanggilku dengan sebutan adek manis, adek cakep, atau adek ganteng, hah benar-benar ingin ku ulangi masa itu. Saat ini tak ada yang dengan frontal memanggilku dengan kata indah itu, pacarku saja tak pernah memujiku kalau aku ganteng, justru dia selalu memanggilku dengan sebutan jelekku. Malangnya nasibku.
Suatu hari saat aku pulang, aku melihat ada kakak kelas manis duduk di bangku paling depan. Biasanya penunggu bangku itu adalah kakak kelas cowok, mungkin karena sistem duduk yang bergilir yang menyebabkan kakak manis itu berada di bangku depan. Aku pun tersenyum saat kakak manis itu melihat ke arahku. Dan dia pun membalas senyumanku sambil melambaikan tangan tanda melepasku pergi.
Setelah hari itu, aku mencoba mendekati kakak kelas pemilik tahi lalat di dekat bibir itu. Maksudku bukan mendekati dalam artian ingin ku jadikan pacar, ya nggak mungkin lah, waktu itu aku belum cukup umur untuk memikirkan hal itu. Aku hanya ingin mendapat perhatian dari kakak manis itu.
Setiap istirahat, aku memutuskan untuk bermain di taman yang letaknya di depan ruang kelas 6. Aku sering melihat kakak manis itu berada di taman yang sekarang menjadi tempat tongkronganku.
“Hai Adek manis, namamu siapa?” Tanya kakak manis itu.
“Arif Mbak. Kalau Mbak namanya siapa?”
“Tina.”
Saat kakak manis itu menyebutkan namanya, aku teringat kepada sosok perempuan yang juga cantik dan manis. Namanya juga sama, Tina. Itu hlo lawan main Syahrukan dalam film Kuch Kuch Hotahe, film India yang menjadi favoritku sejak kecil dan lagi-lagi karena ibuku juga memfavoritkan film itu.
Aku sempat berpikir, apa yang ada di otak Tina saat aku menyebutkan namaku. Nggak mungkin kalau dia terbayang sosok artis yang imutnya sama seperti aku, setahuku tidak ada artis yang memiliki nama depan seperti namaku. Seharusnya ibuku menamaiku Dimas Andrean pemain Bawang Merah Bawang Putih  yang menjadi sinetron andalan sebuah stasiun televisi yang lagi-lagi menjadi tontonan wajibku.
Mungkin yang ada di pikiran Tina saat itu adalah pelajaran PKn, yang menerangkan kata arif artinya sama dengan bijaksana. Mungkin ibuku menamaiku Arif supaya aku menjadi lelaki yang bijaksana dalam memilih cinta. Atau bijaksana dalam mempermainkan perempuan, hloh nggak lah aku kan cowok setia. Tapi kadang suka lirik-lirik dikit sih sebenarnya, hahaha.
“Kok nggak ke kantin Dek?”
“Nggak Mbak, aku bawa bekal sendiri.”
“Bolu kukus mau nggak Mbak?” Kataku yang menawarkan sisa bekal yang belum sempat ku makan.
“Wah kebetulan sekali, itu makanan favoritku.” Kata Tina yang terlihat senang.
“Ini Mbak makan aja, aku sudah kenyang.” Aku pun menyodorkan tempat makan yang terisi dua bolu kukus.
“Semuanya ya Dek.”
“Iya.” Jawabku dengan tersenyum.
Sejak hari itu, setiap aku membawa bekal bolu kukus, selalu ku sisihkan untuk Tina. Karena hanya dengan hal itu aku bisa dekat dan melihat senyum darinya. Tapi suatu ketika, aku melihat sosok laki-laki keluar dari ruang kelas 6. Dia memberikan selembar kertas kepadanya, dan Tina terlihat sangat senang melebihi ketika aku membawakan makanan favoritnya. Aku tak tahu apa yang ada di kertas itu, sampai-sampai wajah Tina berubah menjadi merah muda, aku pun memutar otak agar bisa melihat dia tersenyum seperti itu padaku.
“Ini Mbak.” Kataku dengan menyodorkan sesuatu.
“Apa ini?” Terlihat kebingungan di wajah Tina.
“Iya itu, Mbak Tina nggak suka?” Tanyaku polos.
“Hahahaha. Kok selembar kertas?” Tawa Tina terbahak-bahak.
“Nggak papalah, ntar kan ulangan Matematika jadi aku nggak perlu nyobek kertas lagi, makasih ya.” Katanya yang kemudian masuk ke kelas dengan tawa masih menyertainya.
Yups benar, aku pun mengikuti cara laki-laki itu dengan memberi Tina selembar kertas. Dan rencanaku pun berhasil, aku bisa melihat dia tersenyum dan poin plusnya aku bisa melihat dia tertawa terbahak-bahak. Entah tawa apa yang ia berikan kepadaku. Tawa bahagia atau tawa ledekan.
Hari, Minggu, Bulan dan Tahun pun berganti. Kini aku sudah berumur 16 tahun dan sudah memakai seragam putih abu-abu. Aku tak lagi imut seperti dulu, tapi jangan tanya soal kegantenganku, Alhamdulillah dengan berjalannya waktu kadar kegantenganku pun bertambah dan akibatnya aku digilai banyak perempuan, hahaha.
Saat aku mengikuti pengajian satu kelurahan untuk yang pertama kalinya, mataku langsung tertuju pada sosok perempuan berjilbab ungu dengan hiasan bunga-bunga. Aku tak asing lagi dengan sosok perempuan itu. Tapi aku lupa namanya, itulah yang kusesali saat SD, nilai IPS ku sering jeblok karena tak bisa menjawab soal-soal dengan gambar Pahlawan Nasional. Tahu gambarnya tapi nggak tahu namanya, parah kan?
Kegalauanku bertambah saat memori di otakku tak bisa menemukan nama perempuan itu. Ku biarkan saja kegalauan ini menemaniku di sepanjang perjalanan pulang. Dan sesampainya di rumah tak biasanya aku langsung membuka HP, mungkin karena kadar kegalauanku yang melebihi standar keamanan, yang menyebabkan aku membuka hp dan membuka situs pertemanan yang hampir satu bulan tak kubuka.
Banyak permintaan pertemanan yang menunggu konfirmasiku, dan bukannya sombong hlo ya, kebanyakan mereka adalah perempuan, hahaha. Walaupun banyak yang mengirim permintaan pertemanan, aku tak sembarang untuk menerimanya, aku memiliki kriteria tinggi dalam mencari teman, yang ku konfrim selain karena aku mengenalnya, juga karena kecantikan dan banyaknya teman yang ia punya, hloh sama aja kali ya.
Ada salah satu akun facebook yang membuat aku penasaran, sepertinya aku mengenal dia, tapi siapa dia dan dimana aku mengenalnya. Nama akunnya adalah Princes Tisya. Setelah aku melihat profil dan koleksi fotonya, betapa terkejutnya aku saat saat menemukan foto dari koleksi Tisya ada sosok perempuan yang aku maksud. Yang memakai kerudung ungu tadi malam.
Aku pun tak menggubris permintaan pertemanan yang ia kirim, aku lebih tertarik mengirim permintaan pertemanan temannya. Nama akunnya Tina Sweet, yups benar sekali dia adalah Tina, kakak kelas SD dulu.
Tak harus menunggu lama, malam itu juga Tina mengonfrim permintaan pertemananku. Rasa kegalauanku langsung ku usir dan rasa bahagia mendadak datang walaupun tak diundang, hloh emang jalangkung! Dengan berbekal gratisan paket data aku mencoba mengulik informasi tentang Tina, dimana ia kuliah dan bagaimana hidupnya termasuk sudahkah dia mempunyai kekasih.
Dan ups.... Hatiku seakan tertusuk belatih tajam saat mengetahui status hubungannya. Dia sudah mempunyai pacar saudara-saudara, dan sepertinya sudah dari dulu dia menjalin hubungan dengan seorang laki-laki dengan akun “Setya sama kamu”. Hah, harapanku untuk mimpi indah malam ini benar-benar sirna. Sebelum galau itu datang lagi, aku paksakan mata ini untuk terpejam walau dengan hati yang masih gelisah.
Beberapa hari kemudian aku mengikuti takbir keliling, dan tak kusangka Tina juga mengikutinya. Aku ingin mendekati dia untuk sekedar bertanya masih ingatkah dengan aku? Adek kelas yang dulu pernah memberimu bolu kukus. Ah, tapi sepertinya momentnya kurang pas, aku akan mencari moment yang pas dengan memberi dia bolu kukus yang banyak. Tapi apakah dia masih menyukai bolu kukus? Bisa saja selama beberapa tahun ini selera makannya berubah. Contohnya aku, dulu aku nggak suka sama Durian, tapi sekarang kalau lihat buah berduri itu langsung deh ngeces.
Dan tiba-tiba aku melihat sosok laki-laki yang mendekati Tina, dia memberikan beberapa coklat dan ah lagi-lagi aku kecolongan start. Sebenarnya perasaan macam apa ini? Dia sudah punya kekasih dan aku pun juga, tapi saat melihat dia berdekatan dengan laki-laki lain rasanya nggak rela. Hm.m...
Aku pun tak menyerah, dengan segala cara aku mencari kontak ponsel Tina, setelah dapat nomornya, tanpa basa-basi ku kirim pesan singkat kepadanya.
“Assalamu’alaikum Mbak. Ini aku Arif adek kelasmu dulu.”
“Wa’alaikumusalam. Oh, Arif yang ikut takbir keliling kemarin kan?” Isi balasan dari Tina yang membuat aku semakin bersemangat membalsnya.
“Iya Mbak, aku juga yang pernah ngasih bolu kukus dulu itu hlo Mbak.” Kataku yang mencoba mengingatkannya.
“Oh iya aku ingat, gimana kabarmu.” Balasnya lagi.
Saat senang seperti ini, aku teringat akun facebook yang tak gubris selama ini. Padahal berkat akun facebook darinya lah aku mendapat beberapa informasi tentang Tina. Aku pun menerima permintaan pertemanan Princes Tisya dan mengirimnya pesan singkat, bagaimanapun juga dia teman dekat dari Tina, dan teman satu kelurahanku.
Dan aku baru menyadari bahwa Tisya juga pernah bersekolah di SD Bingkisan Negeri, tepatnya satu tahun di atas Tina. Mungkin itulah yang menyebabkan Tina sering nongkrong di taman depan kelas 6 selain karena laki-laki yang ku ketahui bernama Nugroho itu.
Setelah aku beranjak remaja aku baru tahu kalau selembar kertas yang diberikan oleh Nugroho kepada Tina ada beberapa kata yang membuat hati tina berbunga-bunga, bukan hanya sekedar selembar kertas kosong seperti yang aku berikan dulu, ah betapa polos dan bodohnya aku. Dan aku juga pernah mendengar bahwa Tina pernah bersitegang dengan Tisya karena ulah usil Tisya yang menukar surat balasan dari Tina yang isinya Aku juga suka sama kamu diubah Tisya dan teman-temannya menjadi Aku tidak suka denganmu. Hahaha well done Tisya.
Karena merasa bersalah Tisya akhirnya memberikan foto Tina kepada Nugroho, tapi karena inilah yang menyebabkan cinta monyet antara keduanya harus kandas. Orang tua Nugroho menemukan foto Tina di dalam tas anaknya, dan beliau beraksi dengan melaporkan kejadian ini ke Kepala Sekolah. Haha kasian.
Beberapa hari kemudian, dengan semangat 45 aku berangkat ke pengajian. Kupakai pakain terbaikku, apalagi kalau bukan batik bergambar lambang club sepak bola favoritku. Aku sempat curi-curi pandang ke arah Tina, dan sempat beberapa kali tertangkap basah oleh Tina dan teman-temannya, ah memalukan sekali.
Setelah jam menunjukkan pukul 11.00 pengajianpun usai, aku lagi-lagi melihat ke arah Tina, padahal di pengajian itu ada kekasihku, tapi entah mengapa mata ini selalu ingin melihat ke arahnya, walaupun aku tahu kekasihku sedang melihatku. Dengan diam-diam aku mengirim pesan singkat untuknya, yang isinya menawarkan bantuan mengantarnya pulang.
Tina yang juga menyadari posisinya, secara diam-diam meninggalkan tempat pengajian dan menungguku di suatu tempat. Aku pun menyusul Tina, dan mengantarnya pulang. Di sepanjang perjalanan kami menceritakan kisah-kisah lucu masa SD dulu, dan pastinya menanyakan tentang kekasih hati. Dan saat dia menanyakan hal itu padaku, tiba-tiba aku merasa bersalah kepada Ika, kekasihku. Aku mencampakannya dan memilih untuk mengantar Tina pulang. Mungkin ini karena cinta pertama yang belum tersampaikan yang membuat aku senekat ini. Tapi dalam sanubari terdalamku hanya ada Ika seorang, yang selalu ada saat aku sedih dan gundah. Dan saat aku bahagia aku sering melupakannya, ah teganya aku.
“Kamu baru kelas 1 SMA ya?”
“Walaupun masih muda jangan pernah main-main sama yang namanya perasaan. Itu bahaya, apalagi bisa membuat orang terluka.”
“Sekrang aku sudah semester 4, dan hubungan ku dengan Setya mengarah ke jenjang yang serius, dulu waktu aku seumuran kamu, aku memiliki pola pikir yang berbeda dengan teman-temanku, mereka memilih menikmati permainan cinta dengan bergonta ganti pasangan, tetapi aku lebih memilih menjaga komitmen dengan Setya, dan Alhamdulillah langgeng sampai sekarang.”
“Jadi jaga cintamu, jangan sampai dia pergi meninggalkanmu.”
“Memang kita hanya sebatas teman, tapi aku takut Ika mengartikan berbeda tentang kedekatan kita ini.” Kata Tina yang memberi wejangan kepadaku.
“Iya Mbak, aku akan menjaga cintaku kok. Dan akan berhati-hati dalam bergaul. Semoga hubungan pertemanan ini akan langgeng ya Mbak.” Kataku yang berharap bisa menjadi teman Tina.
“Pasti.” Kata Tina.
Kenangan cinta pertama memang membekas, tetapi goresan kenangan itu semakin lama semakin hilang dengan hadirnya cinta terakhir yang membuat aku nyaman berada bersamanya, karena cinta terakhir adalah bagian dari tubuhku, karena dialah yang telah mencuri tulang rusukku, dan hanya kepadaku lah dia akan mengembalikan tulang itu dengan menjadi pasangan hidupku, menjadi makmumku, dan melengkapi hidupku. Walaupun usiaku masih 16 tahun, aku akan memikirkan masa depanku bersama Ika, seperti halnya yang diajarkan Tina tentang kisah cintanya yang bertahan hingga saat ini. Sekarang Tina adalah sahabatku, tempat aku bercerita dan Ika adalah kekasihku tempat dimana hatiku bersandar.
***
Titis Tiyas Sari - @eentiis

Jumat, 12 September 2014

Red Frame



Red Frame

Sejak berusia 5 tahun, Lina sudah terbiasa memakai alat bantu penglihatan. Dia tak asing lagi dengan yang namanya kaca mata. Tanpa kaca mata dia tak bisa melihat obyek jarak jauh dan tak bisa melihat garis lurus.
Saat dia menginjak umur 17 tahun, minusnya sudah mencapai 5 dan silindernya 1,25. Sudah lebih dari 10 tahun matanya selalu dihiasi dengan frame yang sudah buluk karena tak pernah diganti.
Hingga suatu hari, saat hatinya terguncang karena cinta, dia ingin merubah penampilannya agar terlihat lebih cantik dari biasanya. Dia ingin menjadi pusat perhatian semua laki-laki terutama laki-laki yang ia sukai.
Tanpa diketahui orang tuanya, dia pergi ke sekolah tanpa menggunakan kaca mata. Hal konyol pertama yang Lina lakukan gara-gara cinta. Dia tak berpikir bahwa itu hanya akan menyiksa dirinya sendiri.
Aduh kok pusing ya?
“Hei Mbak, bisa jalan nggak sih? Jalan tu di pinggir, jangan ke tengah!” Kata seorang pejalan kaki yang melihat Lina berjalan semakin lama semakin ke tengah jalan.
“Aku jalannya juga sudah lurus tu Mbak.” Elak Lina yang merasa jika dia berjalan lurus.
“PIM!!!!” Terdengar suara klakson mobil dan Lina pun ditarik ke pinggir jalan oleh temannya.
“Lin, mana kaca matamu?” Tanya Winda.
“Kamu Winda?” Lina pun memusatkan pandangannya dan mendekatkan kepalanya ke arah Winda, untuk memastikan apakah itu benar-benar Winda atau bukan.
“Iya lah. Tu kan jarak sedekat gini aja kamu nggak bisa lihat apalagi jarak jauh. Bahaya tahu! Mana kaca matamu?”
“Hehehehe.” Lina pun tersenyum dan dengan malu menceritakan alasannya melepas kaca mata. “Em.m sebenernya, aku ingin tampil beda dan terlihat cantik di depan Zyan.”
“Zyan? Zyainudin maksud mu???”
“Kamu suka sama Zayn?”
“Iya.” Jawab Lina dengan malu.
“Tapi bukan gini caranya.” Kata Winda dengan sedikit menarik nafas panjangnya.
“Alih-alih terlihat cantik, kamu akan terlihat seperti orang bingung di depan Zyan. Tanpa kaca mata, kamu nggak bisa melihat wajah tampan Zayn dengan jelas.” Jelas Winda yang terlihat jengkel, karena ulah konyol Lina yang melepas kaca mata.
“Ayo ikut aku!” Kata Winda dengan menarik tangan Lina.
Winda mengajak Lina ke Optik yang tak jauh dari sekolahan mereka. Banyak sekali frame kaca mata dari harga standar sampai ke harga yang lumayan. Mata Lina pun tertuju pada sebuah red frame yang terletak di belakang frame dengan merk terkenal. Lina sempat berpikir pasti harga red frame yang ia sukai itu mahal. Setelah ia bertanya pada penjual, ternyata harga red frame hanya Rp 150.000,-.
“Iya Mbak, harganya murah karena ini barang second.” Kata penjaga optic, yang menjawab keherannan Lina.
“Tapi kualitasnya masih bagus kok Mbak. Dan kebetulan sekali lensanya minus 5 dan silindernya 1,25.”
“Kok pas banget sih.”
“Aku coba dulu ya Mas.” Kata Lina yang tidak sabar mencoba red frame yang sedang menjadi trend saat ini.
“Aku ambil ya Mas, tapi……” Lina pun terlihat panik saat membuka dompetnya.
“Aku hanya bawa uang seratus ribu. Kurangannya besok ya Mas, boleh kan?” Tanya Lina dengan mata penuh harap.
Setelah mendapat persetujuan dari penjual kaca mata, dengan langkah pasti mereka meninggalkan Optik dan menuju ke sekolahan. Ada hal aneh yang dialami Lina saat pertama kali menggunakan red frame itu. Selain terlihat cantik, mata Lina pun terlihat cerah tetapi terkadang Lina menatap orang yang sedang pacaran dengan tatapan penuh makna, raut wajahnya pun berubah tak seperti Lina yang biasanya.
“Hei.” Kata Winda yang menyenggol pundak Lina, agar Lina mengalihkan pandangannya.
“Aku tahu kalau kamu pengen punya pacar, tapi jangan menatap mereka seperti itu. Jaga wibawa dikit napa!” Kata Winda yang masih melihat mata Lina.
“Helo!! Lin!!” Winda pun melambaikan tangannya ke depan mata Lina.
“Pacaran kok di sekolahan.” Kata Lina yang tatapannya masih tertuju pada sepasang kekasih yang bergandengan tangan menuju ke lobi sekolah.
“Kita sudah dua tahun sekolah di sini, dan kenapa kamu ngomel saat melihat mereka? Bukannya kita sering lihat yang seperti itu, bahkan lebih parah dari mereka, tapi kamu biasa aja tu dan sekarang kenapa kamu jadi sewot?” Tanya Winda yang bingung melihat perubahan dari Lina.
“Masak sih? Sudahlah lupakan, ayo kita masuk ke kelas. Keburu telat.”
Mereka pun berjalan menuju ke kelas, dan tiba-tiba dari kejauhan terlihat sosok Zayn yang sudah mengenakan seragam olah raga berjalan menuju mereka. Perjalanan mereka pun tiba-tiba terhenti, Winda bisa merasakan debar jantung Lina yang tak beraturan. Winda pun melihat ke arah Lina yang terlihat gugup dan pucat.
Tetapi tiba-tiba raut wajah Lina berubah, dari yang tadinya tak berdaya melihat ketampanan Zayn menjadi memerah seperti menahan amarah. Lina pun menyaut air minum yang dibawa Winda, dan saat Zayn mendekat tiba-tiba Lina melemparkan air minum Winda ke muka Zayn.
“Ups maaf nggak sengaja.” Kata Lina yang kemudian berlari menuju ke kelas.
“Maaf ya Zayn, teman saya lagi panik takut dihukum karena telat, jadi nggak lihat ada orang di depannya. Sekali lagi maaf ya.” Kata Winda yang mencoba meluruskan kejadian yang dilakukan Lina.
“Oke nggak masalah.” Kata Zayn yang sibuk mengelap wajah saat Winda masih di depannya.
“Dasar Lina!” Zayn pun meluapkan kekesalannya saat Winda sudah masuk ke kelas.
Rasa penasaran Winda sepertinya tak bisa dibendung lagi. Dia memutuskan untuk duduk di samping Lina dan menanyakan alasan Lina menyiram wajah Zayn. Tatapan mata Lina tak berubah, dia masih menatap lapangan basket yang ada dilantai bawah dan tak menggubris Winda.
Karena penasaran, Winda pun menoleh ke bawah. Dan benar saja ada Zayn yang sedang berolahraga di lapangan basket. Winda pun juga ikut mengamati Zayn, tiba-tiba ada bola yang melayang dengan sendirinya dan mengenai kepala Zayn. Melihat kejadian ganjil dengan mata sendiri, membuat bulu kuduk Winda berdiri, sambil menelan ludah Winda langsung mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Sedangkan Lina, dia tersenyum licik seperti senyum tokoh antagonis saat berhasil menyiksa tokoh utama saat melihat Zayn kesakitan.
“Sial benar nasibku hari ini, tadi pagi disiram Lina dan sekarang kena bola basket.” Kata Zayn sambil mengeram kesakitan.
“Kamu tahu nggak Zal, siapa yang melempar bola basket ke arahku?” Tanya Zayn ke Faizal, temannya.
“Nah, itu dia. Kayaknya nggak ada orang deh di sini. Teman-teman masih di kelas. Dan bola basket ini, tadi terletak di sana. Kenapa tiba-tiba bisa melayang sendiri. Aneh.” Jelas Faizal yang merasa lapangan basket sekolahnya angker.
Di sisi lain, Winda masih terbayang-bayang kejadian yang ia lihat itu. Dia sudah menyiapkan beribu pertanyaan kepada Lina, yang sepertinya berubah setelah menggunakan kaca mata dengan frame warna merah darah itu.
Setelah lagu sayonara bergema tanda usai sekolah, Lina dan Winda bergegas meninggalkan kelas. Lina terlihat berjalan lebih dulu, dan kemudian disusul Winda. Saat berada di jalan raya, Winda mulai mengeluarkan pertanyaan yang sudah membusuk di otaknya. Tetapi pertanyaannya terpotong saat melihat sepasang kekasih yang berboncengan dengan motor, tiba-tiba ban belakangnya meletus dan mengeluarkan suara yang cukup untuk membangunkan seekor kucing malas yang ada di bawah pohon.
Lina pun tak menghiraukannya, dia terus saja berjalan, Winda yang sempat berhenti karena merasa kaget kemudian berlari mengejar Lina. Tatapan Lina masih sama seperti tadi pagi, menatap orang yang sedang pacaran dengan tatapan penuh makna. Kali ini Winda yakin, bahwa tatapan itu bukan tatapan iri tetapi tatapan mistis yang membuat sepasang kekasih mengalami kesialan.
Ternyata dugaan Winda benar, selang beberapa menit ada kecelakaan di depannya. Tak lain dan tak bukan korbannya adalah sepasang kekasih yang berboncengan dengan sepeda tertabrak oleh pengendara motor. Semua orang berduyun-duyun menolong mereka, dan Winda pun sempat ingin menolongnya, tetapi melihat Lina yang seperti menggunakan kaca mata kuda, tak melihat kanan kiri dan terus berjalan lurus, membuat winda mengurungkan niat baiknya.
Karena tak kuat melihat hal-hal yang membuat jantungnya berpacu sangat cepat, akhirnya Winda mengajak Lina menganti arah jalan mereka menuju gang yang cukup sepi. Dengan alasan agar Lina tak melihat orang yang sedang pacaran lagi. Saat suasana sepi dan keberanian Winda sudah terkumpul, dia pun melanjutkan pertanyaan yang sempat terpotong.
“Lin, kamu ngrasa nggak sih kalau hari ini aneh.”
“Banyak sekali hal ganjil yang ku lihat.” Kata Winda yang memandang ke arah Lina.
“Pertama, tatapan matamu saat melihat orang yang sedang dimabuk cinta. Kedua, saat kamu menyiram air muka ke Zayn dan ketiga…..” Kata Winda yang terpotong.
“Melihat bola basket melayang dengan sendirinya dan mengenai kapala Zayn?” Lina pun bisa menebak apa yang akan ditanyakan oleh Winda.
“Dan kenapa kamu tadi diam aja, padahal di depan kita ada kecelakaan.”
“Itu bukan urusan kita. Salah siapa pacaran di jalan. Mengganggu ketertiban lalu lintas.” Jawab Lina yang membalas tatapan Winda dengan senyum licik khasnya.
Keesokan paginya, Winda berangkat ke sekolah dengan waktu yang tak lazim. Dia berangkat dari rumah pukul 05.30, waktu yang sangat pagi untuk rumah yang berjarak kurang dari 2 Km dari sekolah. Bulu kuduk Winda dipaksa berdiri dengan pikiran negatifnya saat melewati lapangan basket, dia pun berlari menuju kantin tempat penjaga sekolah beristirahat.
Di sana dia mengintrogasi penjaga sekolah dengan pertanyaan yang sudah ia siapkan sejak malam hari. Mengenai sejarah berdirinya sekolah, apakah bekas kuburan atau bekas rumah sakit sampai dengan hal-hal yang berbau mistis yang pernah terjadi di sekolahannya. Karena belum puas dengan jawaban penjaga sekolah, akhirnya Winda memberanikan diri masuk ke ruang BP. Guru BP di sekolah Winda terkenal memiliki indra ke 6, sering sekali di mintai tolong untuk mengeluarkan roh jahat saat ada siswa yang kesurupan.
“Pagi Pak, maaf mengganggu. Boleh saya masuk.” Sapa Winda sambil mengetuk pintu ruang BP.
“Iya silahkan masuk.” Kata Pak Darko yang baru saja tiba di sekolah.
“Maaf Pak, saya mau cerita tentang teman saya. Sepertinya Bapak kenal, namanya Lina.” Kata Winda yang tak mau mengulur waktu untuk bercerita.
“Oh iya, Anak  kelas 2 IPA 3 kan? Yang sekarang memakai kaca mata red frame?”
“Iya benar sekali Pak. Saya curiga, sepertinya ada hal gaib di kaca mata itu. Pasalnya setelah Lina menatap orang yang pacaran pasti mereka akan sial.”
“Bapak mendengar berita kecelakaan kemarin siang kan Pak?”
“Nah, salah satunya itu.” Jelas Winda.
Pak Darko pun terdiam dan mencoba menerawang. Tak berapa lama, pak Darko pun bercerita dengan mata tertutup. Dia menceritakan bahwa sebenarnya pemilik kaca mata red frame itu sudah meninggal. Penyebab kematian gadis malang yang bernama Deata itu karena ulah pacarnya. Dia mempunyai pacar satu sekolahan, dan si cowok mengharuskan Deata menggunakan lensa mata agar terlihat lebih modis. Deata pun mengiyakan dan akhirnya kaca mata Deata disita si pacar. Tak sampai disitu, Deata pun memata-matai si pacar, saat pacarnya tak mau mengantar dia pulang. Ternyata si pacar memiliki selingkuhan yang masih satu sekolah dengan dia. Melihat hal seperti itu, hati Deata terguncang, dia pun mengendarai motor dengan kecapatan yang tinggi dan dengan konsentrasi yang buyar. Dan akhirnya dia tertabrak mobil saat menghindari orang yang sedang menyebrang jalan. Nyawa Deata pun tak tertolong, dan kaca mata yang dibawa pacar Deata dijual karena si pacar terus dihantui arwah kekasihnya itu.
Kata pak Darko, siapa saja yang memakai red frame peninggalan Deata akan merasa sebal jika melihat orang yang sedang pacaran. Hal yang paling mengerikan, si pemakai kaca mata secara tidak sadar akan menyiksa orang yang ia sukai.
“Astaga, Zayn.” Kata Winda yang teringat peristiwa yang dialami Zayn kemarin.
“Lina menyukai Zayn?” Tanya pak Darko dengan membuka matanya.
“Itu sangat berbahaya. Mereka satu sekolahan otomatis mereka sering bertemu dan Zayn akan mengalami kesialan saat bertemu dengan Lina.” Jelas pak Darko lagi.
“Apakah Zayn bisa terbunuh karena Lina?”
“Tidak.”
“Incaran Deata adalah kekasihnya. Mungkin jika Lina bertemu dengan kekasih Deata, dia akan mengalami gejolak yang luar biasa dan bisa membunuh kekasih Deata itu. Entah dengan kekuatan magis atau dengan tangannya sendiri.” Jelas pak Darko.
“Lantas siapa kekasih Almh. Deata itu Pak?”
“Aku tidak tahu.” Kata pak Darko yang tak bisa menerawang siapa kekasih pemilik red frame.
“Waduh, bisa gawat ni.” Kata Winda yang terlihat bingung.
“Kamu harus membawa Lina ke rumah Deata. Berikan kaca mata itu ke orang tua Deata. Hanya Lina dan orang tua Deata yang mampu melepas red frame itu. Sedangkan Lina dia merasa terlihat cantik dan tak ingin melepas red frame dari matanya.” Jelas pak Darko.
“Jadi setelah Lina melepas red frame, semuanya akan berjalan seperti biasanya lagi kan Pak?”
Pak Darko pun menganggukan kepala. Setelah mencoba menerawang lagi, pak Darko menuliskan sebuah alamat di selembar kertas dan diberikan ke Winda. Setelah mendapat beberapa penjelasan dari pak Darko, Winda pun menuju ke kelasnya, yang pasti setelah mengucapkan beribu terimakasih kepada guru BP itu.
Sepulang sekolah, dengan terlihat terburu-buru Winda berlari menuju rumahnya. Setelah pakain seragam yang ia kenakan terlepas dari badannya dan diganti dengan kaos oblong warna biru dan celana selutut berwarna abu-abu, Winda mengeluarkan beat kesayangan ibunya. Walaupun sempat dilarang sang ibu karena belum mempunyai SIM, dia tetap nekat membawa kabur Honda  beat itu ke rumah Lina.
Setelah segala jurus ia keluarkan untuk membujuk Lina, akhirnya dengan sedikit ragu Lina mau menemani Winda ke rumah saudaranya. Layaknya sebuah sinetron, Winda berpura-pura bahwa saudara jauhnya sakit, dan dia tak berani ketempat saudaranya itu jika sendiri.
Di sepanjang jalan menuju rumah saudara palsu Winda, mulutnya terlihat tak berhenti mengucap doa. Dia terlihat takut saat memboncengkan Lina, bukan karena takut tertangkap Polisi dan ditilang, tetapi karena takut yang diboncengkan saat ini bukan Lina yang sebenarnya.
Hati Winda pun dibuat gelisah saat berpapasan dengan sepasang kekasih di seberang jalan yang ia lalui. Karena tak tega melihat nasib mereka, tiba-tiba Winda menghentikan motornya dan mengajak Lina berbicara.
“Aku tahu di dalam agama kita yang namanya pacaran itu dilarang. Dan kamu bukan hakim mereka yang dengan seenaknya membalas perilaku menyimpang mereka.”
“Jadi hentikan semua ini, jangan buat mereka bernasib sial. Biarkan Yang Maha Esa yang membalas perilaku mereka, bukan kamu Deata!” Kata Winda dengan keberanian yang tinggi memanggil Lina dengan sebutan Deata.
 Tatapan mata Lina pun semakin tajam mengarah ke Winda, saat dia dipanggil dengan sebutan Deata. Winda pun gemetar melihat tatapan itu dia takut akan bernasib sial seperti nasib sepasang kekasih tadi. Winda mencoba menghiraukannya dan bergegas melanjutkan perjalanan ke rumah ibu Deata. Lina pun seperti tersadar, pengaruh red frame itu sedikit hilang dan dia terlihat sedikit lebih tenang saat berpapasan dengan sepasang kekasih yang lain. Panggilan Deata dari Winda membuat pengaruh red frame itu sedikit menghilang.
Tak berapa lama mereka sudah tiba di rumah yang terlihat kuno dari yang lainnya. Winda mengajak Lina masuk ke rumah itu. Dengan suara lirih Winda mengucap salam dan mengetuk pintu rumah itu. Dengan cepat sesok ibu setengah baya membukakan pintu rumahnya.
Terlihat kebingungan di wajah ibu itu saat melihat orang asing bertamu di rumahnya, terlebih lagi melihat Lina yang tiba-tiba menangis melihat Ibu Deata di depannya. Setelah dipersilahkan masuk, mereka pun duduk di sofa yang bisa dibilang empuk dari pada jok montor beat Winda.
Setelah Winda menjelaskan maksud kedatangannya dan Ibu Deata paham apa yang harus ia lakukan, dengan mata yang berkaca-kaca dia berbicara kepada Lina.
“Wahai anakku Deata, apa kabar Nak? Ibu kangen sama kamu.” Sapa sang Ibu dengan membelai lembut rambut Lina.
“Bukankah di sana kamu nyaman, kenapa ke sini lagi?”
“Apa yang menghantarkanmu ke sini? Apa karena ingin membalas Lay?” Kata sang Ibu yang menyebutkan nama pacar anaknya.
“Sudahlah Nak, Ibu sudah ikhlas melepasmu pergi. Dan ambil sisi positif dari Lay, mungkin Tuhan tidak rela membiarkan kamu terus menerus disakiti dan ditipu oleh Lay, dan akhirnya Tuhan mengambil nyawamu dalam sekejap.”
“Ibu sayang kamu Nak, apakah kamu sayang sama Ibu? Kalau kamu sayang sama Ibu, kamu harus pergi dan tunggu Ibu di pintu surga.” Kata ibu Deata yang tak mampu membendung air matanya.
Air mata Lina pun terus mengalir, Deata yang ada di dalam tubuh Lina merasa bersalah atas kejadian yang dialami orang-orang karena dia terlebih lagi setelah mendengar suara ibunya yang dengan penuh kasih sayang menasehati dirinya. Setelah Lina mulai tenang, ibu Deata pun melepas kaca mata yang di pakai Lina, tiba-tiba saja Lina jatuh pingsan. Setelah mengelap air mata, Winda langsung menolong temannya itu.
Setelah diberi pertolongan pertama, Lina pun tersadar dan merasa bingung dengan tempat asing di mana ia berada sekarang. Winda pun memberikan kaca mata lama Lina yang secara diam-diam ia ambil saat berada di rumah Lina. Setelah sedikit berbincang dan mengucapkan terimakasih karena telah banyak membantu, mereka pun pamit dan bergegas pulang.
Di perjalan pulang, mulut Winda juga terlihat tak berhenti bergerak. Bukan untuk membaca doa seperti saat berangkat tadi, melainkan menceritakan kronologi yang membawa mereka ke rumah itu.
Pagi harinya, dengan wajah sumringah Lina berangkat sekolah senidiri, dia merasa lebih baik dari dua hari sebelumnya. Saat melunasi hutang kaca mata, dia sempat berpesan kepada pemilik optic agar tidak menjual frame bekas, karena setiap barang bekas pasti ada kenangan tersendiri dan pasti akan berpengaruh terhadap orang yang memakainya.
Sesampainya di lobi sekolah, jantung Lina kembali berdegub tak beraturan karena berpapasan dengan Zayn. Setelah berlatih semalaman untuk sekedar meminta maaf, akhirnya dia berhasil mengendalikan kegugupannya itu.
“Zayn.” Sapanya.
“Ini, aku minta maaf soal yang kemarin ya. Sungguh itu diluar kuasaku.” Kata Lina yang memberikan sapu tangan kepada Zayn.
“Oh, it’s oke.” Zayn langsung mengambil sapu tangan yang Lina sodorkan.
“Besok lagi kalau mau nyiram orang jangan pakai air ya.” Kata Zayn yang membuat bingung Lina.
“Terus pakai apa?” Tanya Lina penasaran
“Pakai cinta yang tulus.”
***