Mie
Instan Vs Rokok
“Sudah ku bilang kan, kurangi rokokmu!!”
“Terus kamu sendiri bagaimana? Apa sudah mengurangi makan
cacing kriting itu!”
“Hei, jangan samakan makanan favoritku dengan hewan menjijikan
itu!”
Suasana pun menjadi panas, tak ada yang mau mengalah satu sama
lain. Pacarku adalah perokok berat dan aku berusaha menghentikan kebiasaan
merokok pacarku itu. Tak ada salahnya kan, itu demi kesehatan dia, tapi apa
balasannya? Dia malah mengeluarkan kata kasar padaku, sepertinya kecintaan dia
terhadap benda tabung yang penuh dengan racun itu lebih besar dari cintanya
padaku.
“Mie instan juga bahaya untuk kesehatan, jadi kamu harus
menguranginya juga.” Kata Soni yang berusaha mendinginkan suasana.
“Lebih bahaya rokok!!”
“Kamu nggak lihat gambar di bungkus rokok itu?”
“Merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, kanker mulut dan tenggorokan.
Kamu nggak lihat? Atau sengaja mengabaikannya?” Kataku yang masih saja
terpancing emosi.
“Mie instan juga menyebabkan kanker, dan seharusnya di bungkus
mie instan juga harus di munculkan gambar mengerikan itu, bukan hanya di
bungkus rokok!”
“Oke, cukup! Aku sudah nggak tahan lagi dengan hubungan kita,
selalu saja berdebat dengan topik yang sama dan tak ada satu pun yang mau
mengalah, lebih baik kita udahan aja, aku capek.” Kataku.
“Oke kalau itu maumu!” Kata Soni yang kemudian pergi
meninggalkan aku.
What? Dia pergi begitu saja setelah membuat kekacauan seperti
ini? Seharusnya dia berusa meredam amarahku dan mau mengalah demi aku dan
hubungan kita, tapi ternyata dia lebih memilih rokok daripada aku, that’s so pity.
Ok fine, mulai
hari ini aku menyandang stasus jomblo. Mungkin itu lebih baik, daripada tiap
hari aku selalu khawatir tentang tensi darahku yang sepertinya naik setelah aku
bertengkar dengan Soni. Tapi, yang membuat aku tak nyaman adalah tentang
intensitas pertemuanku dengan Soni yang sering, aku dan Soni adalah rekan kerja
sebelum akhirnya benih-benih cinta itu pun tumbuh. Semua rekan kerjaku bahkan
bosku mendukung hubungan kita, dan mengharapkan hubungan kita sampai
kepelaminan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, hubungan kita kandas di
tengah jalan, dan aku harus berakting agar pertengkaran ini tidak terdengar oleh
rekan-rekan kerjaku lainnya.
“Makan siang pakai apa kamu Monic?” Tanya Citra disaat jam
makan siang.
“Sama mie goreng sambal ungu dong.”
“Waow, variant baru ya itu?” Tanya Isna.
“Yups betul. Beruntungnya aku bisa jadi taster produk mie instan terbaru.”
“Gitu aja dibanggain.” Kata Soni yang tiba-tiba datang dan
duduk di sebelahku.
“Nih, lihat bekal makan siang ku.” Soni pun menunjukan bekal
makan siangnya yang hampir memenuhi 4 sehat 5 sempurna, minumnya pun jus yang
dicampur susu, dia benar-benar memperhatikan gizi di makanannya.
“Nggak kayak kamu, mie instan melulu.”
“Nggak bisa masak, atau nggak punya uang lebih buat beli yang
lebih bergizi?” Kata Soni yang lagi-lagi memancing emosiku. Karena sekarang aku
berada di kantor ku coba untuk mengendalikan emosiku, dan berpura-pura bersikap
manis di depan Soni.
“Bisa jadi seperti itu.” Kataku yang tak mau menanggapi Soni.
Soni pun mengambil bekal makan siangku dan membuangnya ke tong
sampah, dan dia menyodorkan bekal makan siangnya sebagai ganti makan siangku
yang sudah ia anggap sampah itu.
“Heh, maksud kamu apa sih? Itu makanan bukan sampah!” Aku pun
berdiri dan melotot kearah Soni. Kali ini aku benar-benar tak bisa
mengendalikan emosiku, dan tak ku pedulikan teman-temanku yang terlihat bingung
melihat kita.
“Kayak gini yang namanya makanan? Yang hanya membuat kamu
kenyang tapi tak menyehatkan?” Soni pun meladeni omonganku.
“Hei, kamu apa-apaan sih?” Kata Soni saat tanganku menuju ke
kantung bajunya.
“Dan ini yang namanya penghilang setres?” Aku pun mengambil
satu bungkus rokok yang ada dikantungnya dan langsung ku injak dengan sepatu
high heel ku.
“Bahkan menurutku inilah penyebab setres, yang berujung
kematian!”
“Sudah hentikan!” Teriak Isna.
“Ayo kita cari tempat makan lain!” Isna dan Citra pun
membawaku pergi sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Yah, beginilah resiko punya pacar satu kerjaan. Enaknya kalau
lagi kasmaran bisa jadi penyemangat, kalau lagi musuhan kayak gini dah pasti
bikin males dan pengen cepat-cepat pulang.
Akhirnya jam pun menunjukan pukul 15.00, dan aku sudah berada
di halte bus untuk menunggu jemputan masal itu datang. Biasanya aku memilih bus
yang masih terlihat longgar, tapi kali ini karena mood sedang terganggu, aku
naik bus pertama yang lewat di depanku dengan alasan agar cepat sampai rumah.
Saat aku menaiki bus, terlihat banyak tempat duduk yang sudah
terisi tapi ada satu bangku yang masih kosong di pojok belakang. Padahal aku
naik dengan Citra, itu berarti salah satu diantara kita harus berdiri sampai tiba
di lokasi tujuan. Aku dan Citra menuju ke bagian belakang bus, dan betapa
terkejutnya aku saat mengetahui penumpang yang duduk di samping kursi kosong
itu adalah Soni. Citra pun memilih berdiri dan mempersilahkan aku duduk. Karena
terpaksa aku pun duduk di samping Soni.
Suasana kikuk pun tercipta. Aku berkali-kali menelan
ludah dan membasahi bibir dan Soni
terlihat menikmati pemandangan luar dengan korek api yang masih ditangannya. Beberapa
kali pengamen jalanan masuk untuk sekedar mendendangkan lagu tempo dulu, tapi
itu tak membuat keheningan diantara kami sirna, ironi sekali memang jika
dibandingkan dengan suasana di bus saat ini.
Saat bus berhenti tepat di depan SMA Nuansa Indah, aku dan
Citra pun turun. Tanpa basa-basi aku beranjak dari kursi itu dan meninggalkan
Soni sendiri.
“Cie, yang duduk berdua,” ledek Citra ketika kami sudah turun
dari bus.
“Apaan sih,” kataku yang kemudian berjalan mendului Citra.
“Tadi kamu lihat Soni nggak? Maksudku sebelum kamu duduk di
sampingnya?” Citra pun mengejarku dan berjalan di sampingku.
“Aku lihat dia ngrokok, dan pas kamu nongol tiba-tiba dia
mematikan putung rokoknya.”
“Mungkin dia takut sama aku,” kataku yang masih berjalan tanpa
memperhatikan Citra.
“Bukan itu Monic!!! Dia masih peduli sama kamu, dia nggak
ingin kamu jadi perokok pasif.”
“Coba kalau yang duduk itu aku, sudah pasti habis satu
bungkus rokok.”
“Oh.” Kataku yang kemudian masuk ke halaman rumah dan
meninggalkan Citra sendiri di jalan.
“Ihih Monic, diajak bicara malah masuk!” Teriak Citra.
Pagi harinya, dengan sisa semangat yang ku punya akupun
menuju ke kantor. Sesampainya di kantor, ternyata belum ada manusia sama
sekali. Yeah, kali ini aku memecahkan rekor, berangkat paling awal. Biasanya
aku paling terakhir tiba di kantor, yah itu karena faktor transportasi. Kadang
bus datang tepat waktu kadang juga molor, tapi banyak molornya, mungkin ngejar
target. Jadi tiap ada orang yang berdiri di jalan selalu saja di samperin walau
kadang ditolak karena bukan bus jurusannya, kasian.
Saat berada di dalam kantor perhatianku pun tercuri saat
melihat koran yang berada di meja kerja si bos. Terlihat gambar mie instan yang
ku makan kemarin, karena penasaran aku pun meminjamnya dan membaca topic yang
jadi sorotan utama itu. Dan betapa kagetnya aku, membaca berita bahwa BPOM
mengeluarkan statemen bahwa mie instan dengan rasa cabe ungu tidak layak
dikonsumsi manusia, karena ada kadar zat kimia dalam jumlah yang melampaui
batas keamanan.
“Udah baca berita tadi pagi belum Mon?” Tanya Isna di
saat jam istirahat yang kubalas anggukan kepala.
“Kamu harusnya minta maaf ke Soni, ada baiknya juga kan
kemarin dia buang makanan mu?” Sahut Citra.
“Betul itu yang dikatakan Citra.”
“Cie, yang diomongin nongol.” Kata Citra yang melihat
Soni sudah berada di pinggir meja makan kami.
Tiba-tiba soni melihat bekal makan siangku, tak ada kata
yang keluar dari mulutnya ketika melihat laukku adalah telur dadar. Dia pun
memberiku satu botol jus jambu dan kemudian pergi begitu saja.
Dia selalu saja memperhatikan aku, apa yang aku makan dan
minum tak luput dari perhatiaanya. Merasa bersalah juga telah membetak dia
kemarin, dan telah lancang mengambil rokok yang ada di sakunya. Tapi itu karena
aku care sama dia, nggak mau dia sakit karena efek buruk dari rokok, tapi dia
justru tak memperhatikan kesehatannya, malah aku yang ia perhatikan, argh....
Setelah ku habiskan bekal makan siangku, aku pun pergi
dengan membawa jus jambu yang baru kuminum sedikit. Aku pun mencari Soni di
warung makan depan kantor. Dan betul saja dia berada di sana, yang membuatku
semakin bersalah adalah ketika melihat minuman yang ia minum adalah es teh,
sedangkan aku minum jus jambu kesukaannya.
“Ini.” Kataku yang memberikan botol jus jambu.
“Aku sudah meminumnya, sekarang aku berikan lagi ke
kamu.” Soni pun menatapku dengan tatapan seperti orang bingung.
“Kamu juga harus meminumnya, karena ini baik untuk
kesehatannmu.” Jelasku yang masih terlihat kaku saat berbicara dengan Soni.
“Oh iya, maaf soal yang kemarin. Ini sebagai gantinya.”
Kataku yang memberi uang kertas berwarna hijau.
“Itu sebagai ganti rokok yang kuinjak kemarin, tapi maaf
aku nggak bisa membelikan kamu dalam bentuk rokok. Terserah kamu, mau buat beli
rokok lagi atau tidak, aku tak peduli.” Kataku yang kemudian pergi.
“Aku akan menggunakan uang itu untuk membayar makan
siangku.” Kata Soni yang sempat menghentikan langkahku.
“Aku sedang belajar untuk tidak merokok lagi.” Kata Soni
yang membuat bibirku melebar.
Setelah jam makan siang berakhir, aku pun masuk ke ruang
kerjaku dengan pikiran yang masih semrawut. Apa maksud Soni tadi, apakah dia
benar-benar mencoba untuk berhenti merokok atau hanya sekedar omong kosong
doang. Kalau memang benar, apa yang aku berikan kepadanya, bahkan aku sendiri
belum mencoba mengurangi makan mie instan, hanya saja tadi pagi karena
persediaan satu kerdus mie ku habis makanya aku bawa bekal telur dadar, ah
egoisnya aku. Mencoba memperhatikan kesehatan orang, kesehatan diriku sendiri
tak sempat ku perhatikan. Memang benar mie instan jika dikonsumsi terlalu
sering berakibat negatif untuk kesehatan, dan aku mencoba tak mempedulikannya
untuk menjadi pemenang dalam perdebatan yang terjadi kemarin. Benar-benar
membuatku frustasi saja ni masalah. Hufth.
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku mengirim
pesan kepada Soni. Aku ingin membicarakan masalah ini dengan baik-baik agar tak
ada rasa canggung atau dendam ketika kita bersama, apalagi kita satu kerjaan
rasanya bakal nggak nyaman jika harus begini terus.
Soni pun mengiyakan tawaranku untuk berbicara sepulang
kerja, dan aku memilih lokasi halte bus untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ada
di hati. Tempat yang sama sekali tak romantis untuk memperbaiki sebuah hubungan
yang telah hancur karena sebuah keegoisan, tapi justru tempat itu yang paling
pas karena di sana lah tempat kita dipertemukan dan akhirnya menjalin hubungan
yang serius, dan mungkin di tempat sana jugalah hubungan kami akan kembali
kesemula atau tidak sama sekali, aku pun masih bingung mengenai hal ini.
Setelah jam kantor berakhir, aku bergegas menuju halte
dekat kantor. Dan terlihat Soni sudah duduk tangan dilipat di dadanya.
“Hai.” Sapaku.
“Ayuk Neng naik!” Ajak seorang kondektur bus yang
melihatku baru tiba di halte.
“Tidak Bang, makasih!” Tolakku yang kemudian duduk di
samping Soni.
“Bagaimana kabarmu?” Soni pun bertanya tentang kabarku,
seperti orang yang baru bertemu setelah sekian lama berpisah.
“Baik, dan kamu?” Jawabku.
“Hahaha terlihat
aneh dan canggung ya.” Kata Soni dengan tertawa getir.
“Em.m aku minta maaf atas keegoisanku selama ini.” Aku
pun memulai topik pembicaraan yang sudah aku persiapkan sejak tadi siang.
“Aku tahu kita saling care satu sama lain. Aku melarangmu
merokok, dan kamu melarangku makan mie instan. Semua itu ada manfaatnya untuk
kesehatan, tapi karena keegoisan masing-masing rasa-rasanya hal itu menjadi
boomerang antara kita.”
“Aku pun begitu, sebagai seorang laki-laki tak selayaknya
aku menghindar dari masalah. Seharusnya aku mendengar kata-katamu untuk
berhenti merokok, karena batuk yang aku alami ini karena kebiasaan burukku
itu.” Kata Soni.
“Apa? Kamu sakit Son? Sudah minum obat dari dokter belum
tadi siang?” Kataku yang terlihat panik saat mengetahui bahwa batuk yang Soni
alami sejak dulu karena efek dari rokok.
“Terimakasih. Terimakasih kamu masih perhatian sama aku.”
Kata Soni dengan menatap mataku.
“Seharusnya aku yang bilang makasih ma kamu.” Aku pun
membalas tatapan mata Soni.
“Tapi, sebaiknya kita sendiri dulu saja.”
“Sebelum kita mencintai orang lain, kita harus mencoba
mencintai diri kita sendiri dulu. Memang kelihatannya mudah, tapi sebenarnya
itu sangat sulit apalagi itu dilakukan karena paksaan dari pihak lain.”
“Aku harus mencoba mengurangi mie instan dan kamu harus
mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan merokokmu itu dengan kesadaran
diri bukan karenaku atau karenamu.” Jelasku.
“Kamu juga harus menghentikan kebiasaan makan mie instan jangan
cuma mengurangi!” Kata Soni yang membuat aku tercengang.
“Hey! Kalau nggak ada waktu buat masak, andalanku cuma
mie instan.”
“Aku yang akan membawakan bekal untukmu. Aku akan
membawakan nasi yang lengkap dengan sayur dan lauknya juga jus jambu atau buah
lain yang harganya murah.” Kata Soni.
“Kok yang murah sih?”
“Lagi krisis moneter ini. Lagian gajiku lebih sedikit
dari pada gajimu, harusnya kamu yang ngasih jus ke aku!”
“Hey! Mana sempat aku buat jus, kalau kamu nggak ikhlas
buatin jus, nggak usah buatin aja!” Kataku kesal.
“Gitu aja marah.”
“Senyum dikit dong.”
“Tenang aja, aku ikhlas kok buatin jus, jus spesial untuk
mu.”
“Hehehe makasih. Tapi nggak papa kan kalau kita sendiri
dulu.” Tanyaku yang memastikan status hubungan kami.
“Iya nggak papa, kita memang harus sendiri dulu, saling
intropeksi dan bersikap lebih dewasa lagi.”
“Ship.”
***