Selasa, 07 Agustus 2018

Ternyata, Memang Kamulah Jawaban dari Doaku


Ternyata, Memang Kamulah Jawaban dari Doaku


“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah:186)

Entah mengapa akhir-akhir ini postingan di Instagram selalu berbau tentang jodoh, mungkin topik tentang jodoh selalu menarik untuk dibahas, terlebih bagi yang berstatus single dan sudah ada niatan untuk menikah dalam waktu dekat, tetapi belum juga bertemu dengan jodohnya. Ada?Banyak!
Nah, kalau sudah ada niat baik untuk menikah dikarenakan perintah Allah dan Rasul bukan karena niatan lain, perbanyaklah berdoa selain daripada usaha. Karena Allah sudah menjanjikan akan mengabulkan do’a setiap hamba yang berdo’a kepada-Nya.
Telah aku tengadahkan kedua tangan ini, diringi nafas yang terisak dan air mata, dalam setiap waktu mustajab aku selalu memohon agar bertemu dengan seorang sholeh/sholihah yang akan mendampingiku, berjalan beriringan menuju Jannah-Nya. Bahkan terkadang aku menyebut nama seorang yang aku anggap itu pantas dan sangat baik untukku, tetapi mengapa sampai sekarang Allah belum mengabulkan do’aku?
Eits, tunggu dulu, jangan berburuk sangka kepada Allah SWT. Allah mempunyai tiga cara dalam mengabulkan sebuah doa. Pertama, Ya, akan Aku kabulkan permintaanmu; kedua, Aku akan mengabulkan do’amu, tapi bukan sekarang, ini artinya Allah memang menunda doa yang kita panjatkan sampai batas waktu yang dikehendaki-Nya, sampai kita benar-benar siap dan pantas untuk mendapatkan apa yang menjadi permintaan kita, namun bisa saja Allah menunda doa yang kita minta, sampai di akhirat kelak baru dikabulkan, oleh karena itu, janganlah putus untuk selalu memanjatkan doa kepada Sang Pengabul do’a. Dan yang ketiga, tidak, dia tidak baik bagimu, akan Aku ganti yang lebih baik untuk mu, perlu digaris bawahi bahwa Allah Maha Mengetahui sedang kita tidak mengetahui. Mungkin menurut kita dia baik, tetapi menurut Allah dia tidak baik untuk kita dan percayalah Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya, dan berdo’a-lah agar Allah melapangkan dada kita sehingga kita bisa ridha dengan semua ketetapan itu, walau awalnya berat.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216).
Seorang tokoh ulama sufi yang bernama Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari pernah berkata, “jangan kau tuntut Tuhanmu karena tertundanya keinginanmu, tetapi tuntutlah dirimu sendiri karena engkau telah menunda adabmu kepada Allah.”
Bagaimana jika kita sudah melaksanakan perintah-Nya dan juga sudah menjauhi larangan-Nya tetapi masih saja do’a itu belum terkabul?
Coba kita cek bagaimana cara kita berdo’a, apakah sudah benar atau belum. Menghadap atasan untuk sekedar meminta tanda tangan saja penampilan diperhatikan, tata bahasa dan sikap pun juga. Menghadap Allah pun seharusnya juga begitu. Sebelum berdo’a yakinkan dalam hati bahwa do’a kita di dengar dan akan dikabulkan. Usahakan berdoa dalam kondisi khusyuk tidak sedang tergesa-gesa. Perbanyak pujian kepada Allah, dan sholawat kepada Rasululloh. Berdo’alah diwaktu mustajab terkabulnya doa, antara lain di 1/3 malam terakhir, ketika turun hujan, hari arafah, antara adzan dan iqomah dan waktu mustajab lainnya.
Jika cara berdo’a sudah benar langkah selanjutnya adalah bersabar. Ya, solusi andalan yang diucapkan seseorang ketika dijadikan tempat curhat temannya, yang sabar ya! Dibalik kata sabar, tersimpan banyak keutamaan, bukankah Allah mencintai orang-orang yang bersabar (QS. Al-Imran: 146), dan Allah menjanjikan surga bagi pelaku sabar, “Dan orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’du:22).
Nah, aku punya sebuah cerita tentang buah manis kesabaran, apalagi kalau bukan terkabulnya do’a yang sudah lama ia panjatkan. Sebut saja dia Setia(nama ini nama sesungguhnya, tetapi bukan nama panggilan keseharian). Dia adalah kakak kelas saya waktu SMK. Setia adalah ketua organisasi Pramuka yang sangat terkenal pada masa itu. Base camp mereka terletak di dekat Masjid SMK yang menjadi base camp anak Rohis.
Walaupun base camp Pramuka dan Rohis berdekatan, tetapi kebanyakan dari anggota kedua organisasi tersebut tidak saling kenal. Hingga suatu ketika Setia telah lulus dari SMK dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara mengambil jurusan D-1 Beacukai.
Karena tempat kuliahnya di Jogja, Setia masih bisa mampir ke SMK untuk sekedar jumpa fans, maklumlah fans dia banyak di sekolah. Kesempatan emas berkunjung ke SMK ia manfaatkan betul dengan mengikuti kelas mengaji bersama guru agama yang juga Pembina Rohis.
“Mas Setia, ya?” Sapa seorang gadis manis berlesung pipi.
“Iya,” jawab Setia singkat.
“Sekarang kuliah di STAN ya Mas?” Tanya gadis itu memastikan berita yang sudah tersebar ke seluruh lapisan sekolah.
Belum sempat menjawab pertanyaan gadis itu, perhatian Setia dialihkan oleh suara lembut yang memanggil namanya. Ternyata suara itu berasal dari adek tingkat pramuka yang tak mau kalah ingin mewawancarainya.
Angin membelai lembut, menemani Setia dalam lamunan. Ada yang mengganjal, sesak yang ia rasakan. Diambilnya sebuah telpon genggam, dan dicarinyalah kontak gadis berlesung pipi itu. Masih ada pertanyaan yang belum sempat ia jawab yang menjadi alasan ia menghubungi gadis itu.
Beberapa bulan setelah itu, bergetarlah telfon genggam milik Setia. Sebuah pesan singkat, yang tak ia duga. Ya, pesan singkat dari gadis itu, Dwi namanya. Ternyata waktu cepat sekali berlalu, Dwi sudah lulus dari SMK dan ingin melanjutkan kuliah di sebuah universitas ternama yang terletak di Jogja, Universitas Gajah Mada.
Dwi menyadari bahwa dia buta arah dan belum mengenal betul daerah Jogja, dia berniat meminta bantuan Setia untuk menghantarkannya ke sana. Bak sambil menyelam minum air, Setia mengiyakan permintaan Dwi. Ketika akan berangkat kuliah, Setia menghampiri Dwi yang sudah berada di tepi jalan.
Pemandangan tak biasa terlihat, motor Honda yang biasanya ia tumpangi sendiri sekarang harus berbagi tempat dengan Dwi. Tas ransel besar yang ia pakai menjadi pembatas antara mereka berdua. Di sepanjang perjalanan Klaten-Jogja tak ada percakapan sedikitpun antara mereka, karena pada dasarnya mereka bukanlah teman dekat, karena keterpaksaan saja Dwi meminta bantuan ke Setia, begitu pula sebaliknya.
Setelah tugas Setia selesai, yaitu menghantarkan sampai ke gerbang masuk UGM, ia pamit untuk pergi karena ada jadwal kuliah. Setia juga tidak menjemput Dwi, karena perjanjian awal Dwi hanya meminta bantuan untuk mengantarkan saja. 
Setelah hari itu, Dwi sibuk di organisasi islam di kampusnya. Sedangkan Setia sibuk dengan penempatan kerja. Hingga suatu ketika, konsentrasi Dwi buyar ketika menerima sebuah pesan singkat dari sahabatnya, yang juga sahabatku (Bintan). Pesan singkat itu berisi sebuah informasi penting. Kebetulan Bintan adalah teman satu organisasi dengan Setia. Dan Setia mengetahui betul jika Bintan adalah teman dekat Dwi.
Lewat Bintan-lah ia sampaikan niat baik untuk menjadikan Dwi sebagai pendamping hidupnya. Alih-allih diterima, Dwi sangat kaget membaca pesan singkat itu, dan akhirnya menolak niat baik Setia dikarenakan waktunya belum tepat dan belum ada kecenderungan di hati Dwi untuk Setia. Waktu itu Dwi masih kuliah semester 2, ia ingin fokus mengerjakan tugas dan belum ada pikiran untuk melepas masa lajang secepat itu.
Setia memang gerak cepat, ia yakin bahwa Dwi adalah perempuan sholihah yang pantas menjadi pendamping hidupnya setelah ia mengetahui bahwa Dwi aktif di organisasi Ummati, dan Setia juga memperhatikan betul proses hijrah Dwi. Yang dulu belum banyak perempuan mengenakan rok dan manset serta menjulurkan kerudungnya, Dwi sudah lebih dulu melakukan itu, dan Alhamdulillah dia istiqamah, bahkan bisa merangkul sahabat terdekatnya untuk berhijrah.
Dwi tidak menyangka jika Setia memendam rasa kepadanya, pasalnya ketika SMK Dwi tidak begitu dekat dengan Setia, bicara pun jarang; hanya saja pernah terlibat dalam satu kegiatan secara bersama.
Setia yang juga sedang berhijrah, sedikit tahu tentang batasan hubungan akhwat dengan ikhwan, dia ada sedikit kebingungan bagaimana cara menyampaikan perasaannya kepada Dwi. Perasaan yang setiap hari semakin kuat; yang setiap malam mengusik waktu tidurnya. Karena masih awam tentang tata cara ta’aruf yang benar, akhirnya Setia memutuskan untuk menyampaikan niat baiknya itu lewat Bintan.
Setelah penolakan pertama yang Setia alami, tidak menjadikan dia berubah pikiran. Dia menerima dengan lapang dada alasan penolakan yang disampaikan Dwi melalui Bintan bahkan dia rela menunggu Dwi lulus kuliah.
Setelah Setia mengetahui berita kelulusan Dwi, beberapa bulan kemudian dia menyampaikan niat yang sempat tertolak itu kepada Dwi. Kali ini ada perkembangan, dia membuat sebuah cerita yang mendiskripsikan dirinya sendiri dan keluarganya. Karangan tulisan tangan itu ia titipkan kepada Bintan, yups lagi-lagi bintan yang menjadi perantara mereka
Dan, apa yang terjadi sahabat sekalian? Selembar kertas yang penuh untaian kalimat yang telah Setia goreskan dengan tintanya hanya berakhir di bawah tumpukan buku di atas meja Dwi. Lagi-lagi Dwi menolak niat baik Setia. Alasan penolakannya apalagi kalau bukan waktunya belum tepat. Sama persis dengan alasan pertama. Kali ini Dwi ingin bekerja terlebih dahulu, ingin membahagiakan keluarga.
Perjalanan pencarian kerja Dwi bisa dibilang cukup panjang dan lama. Awalnya Dwi bekerja di Klaten, agar dekat dengan keluarga, masyarakat dan sahabat-sahabatnya. Karena Dwi adalah orang yang menurut saya sangat berpengaruh di desanya, dia mempunyai banyak sekali relasi. Dari kalangan anak-anak TPA, ustadz-ustadzah sampai takmir masjid pun kenal baik dengan Dwi. Dari sanalah Dwi mendapatkan masukan untuk keluar dari pekerjaanya yang pertama, karena menurut ustadz Hasyim pekerjaannya tidak barokah.
Dwi pun akhirnya resign dan membayar denda karena keluar sebelum menghabiskan masa trainingnya. Dia lakukan itu karena Allah SWT, dan ia yakin akan mendapat ganti yang lebih baik dari-Nya.
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik (HR. Ahmad 5: 363).
Tak berapa lama setelah ia resign, ia langsung mendapat pekerjaan di sebuah toko roti sebagai admin keuangan. Karena rizki tidak serta merta berupa uang, di pertemukan dengan orang sholeh dan sholihah adalah rizki yang tak ternilai harganya. Pemilik toko roti yang menjadi tempat kerja Dwi sangat religius dan sangat menjujung kekeluargaan. Toko roti itu bernama Roti Dahlia, sahabat sekalian bisa cek langsung ke toko nya. Baru masuk ke tokonya, sudah disambut pramuniaga yang mengenakan kerudung, dan ada lantunan musik-musik islami yang akan menemani pengunjung memilih kue. Kalau bukan kita yang membeli produk-produk saudara kita, lantas siapa lagi?
Sebenarnya masih panjang cerita tentang Dwi dalam pencarian kerja, bisa-bisa keluar dari topik awal dan kasihan Setia yang tak kunjung kusebut dalam cerita ini. Jadi setelah di Roti Dahlia, Dwi memutuskan pindah ke Jakarta untuk merawat nenek. Disela-sela merawat nenek, Dwi juga melamar kerja di beberapa perusahan. Alhamdulillah diterima dan bukan Dwi namanya kalau merasa nyaman di zona aman. Dia keluar karena sistem kerjanya yang kurang jelas, dia sering pulang malam dan tidak dihitung sebagai lembur. Setelah memutuskan keluar, akhirnya dia kembali pulang ke Klaten.
Oh iya sampai lupa, ketika Dwi berada di Jakarta, untuk yang ketiga kalinya Setia menyampaikan niat baiknya itu melalui guru agama semasa smk. Dwi merasa bingung, apa yang harus ia lakukan. Karena yang menyampaikan pesan adalah guru agama yang ia segani, dan ia juga tahu betul bahwa Setia sudah berproses menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Tetapi dilain pihak Dwi baru saja diterima bekerja, dan dengan terpaksa Dwi lagi-lagi menolak niat baik Setia.
Bisa dibayangkan berapa bulan atau bahkan tahun pencarian kerja Dwi, itu sama dengan lamanya penantian Setia yang masih memiliki keyakinan teguh bahwa Dwilah sosok perempuan yang diciptakan untuknya. Keyakinan yang kuat itu didapatkan dari beberapa kali ia melakukan sholat istikharah. Tapi untuk penolakan yang ketiga kalinya ini, membuat Setia berpikir keras. Sebenarnya keyakinan yang ia dapatkan itu atas jawaban dari sholat istikharahnya atau hanya sebatas keinginan untuk bersamanya yang terlalu besar.
Setia mencoba menerima kenyataan yang teramat pahit itu, dan mencoba mencari perempuan lain yang siap menikah dengan jalan ta’aruf. Ia pun masih meminta bantuan guru agama SMK untuk mencarikannya. Hingga suatu saat ada seorang perempuan sholihah yang sudah siap menikah dan bersedia berta’aruf dengan Setia.
Perasaan Setia tidak karuan, apakah benar dia akan menikah bukan dengan Dwi. Dan apakah benar Dwi yang selama ini ia perjuangkan bukanlah jodohnya.
Setia mencoba ridho dengan takdir-Nya, dan menjalani proses ta’aruf dengan baik. Pertanyaan demi pertanyaan ia sampaikan melalui guru SMK, begitu juga sebaliknya. Ia juga sudah berusaha meminta petunjuk lewat istikharah, dan jawabannya tidak ada keyakinan yang ia rasakan seperti ia yakin kepada Dwi. Akhirnya ia memutuskan untuk mundur dari proses tersebut.
Setelah melakukan penolakan terhadap Setia untuk yang ketiga kalinya, Dwi merasa sangat sedih. Dia sedih karena menolak sosok laki-laki yang baik agamanya dan juga baik perangainya. Ia harap-harap cemas; ia menunggu kabar gembira akan undangan pernikahan Setia dengan perempuan sholihah itu.
Nah, suatu ketika karena suatu hal saya menghubungi Setia untuk menanyakan sesuatu. Sepertinya karena dia update status di BBM yang menandakan dirinya berada di suatu tempat yang dekat dengan rumahku. Berawal dari pertanyaan ringan kemudian berlanjut kepertanyaan yang menjurus ke Dwi. Dan ternyata Setia sengaja membuat status seperti itu agar saya berkomentar dan bisa ia tanyai tetang Dwi. Ternyata bukan cuma aku yang sering ngode lewat status BBM, tapi sayangnya nggak tepat sasaran seperti Setia, hehe.
Dan ketika Setia sedang berkomunikasi denganku lewat BBM, aku pun juga berkomunikasi dengan Dwi lewat WA. Aku kirimkan percakapan Setia ke Dwi begitu pula sebaliknya. Dari sana saya bisa mencium bahwa sebenarnya Dwi mulai ada rasa untuk Setia, terbukti dia agak iri dengan gaya percakapanku dengan Setia yang bisa bercanda lepas, sedangkan ketika Setia menghubungi dia, gaya percakapannya kaku. Langsunglah percakapan itu aku kirimkan ke Setia, dan masyaAllah jawaban dari Setia membuat aku baper seketika,
“dia tidak pantas untuk aku candai sebelum halal. Besok kalau sudah menikah saja bercandanya,” seperti itu lah jawaban Setia yang lagi-lagi aku kirimkan ke Dwi, dan percakapan itu terjadi beberapa bulan sebelum Ramadhan.
“Mas, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Dwi?” Tanyaku ketika sudah memasuki bulan Ramadhan, pasalnya setelah itu tidak ada percakapan yang membahas tentang Dwi, biasanya Dwi terbuka ke saya tapi kali ini justru saya lah yang harus mencari info sendiri.
“Sudah, jangan membahas masalah itu dulu, aku lagi ingin focus meningkatkan ibadah di bulan Ramadhan ini,” jawab Setia.
Dan apakah yang terjadi sahabat sekalian, betapa kagetnya saya ternyata selama bulan Ramadhan itu mereka berdua sudah tukar biodata dan saling setuju satu sama lain. Beberapa hari setelah hari Raya Idhul Fitri, untuk pertama kalinya Dwi dipertemukan dengan Setia untuk menanyakan kelanjutan proses mereka.
Dwi yang ditemani Ustadzah Eka, dan Setia karena murabbinya ada di Kudus, ia ditemani oleh suami Ustadzah Eka. Mereka bertemu disebuah masjid dekat  tugu Rajawali, masjid Roudhoh namanya. Disana mereka saling mengajukan pertanyaan satu sama lain. Sebelum mereka bertemu, malam harinya Dwi dibantu sahabatnya sudah menuliskan beberapa pertanyaan di buku.
“Siapa yang paling engkau sayangi di dunia ini?” Tanya Dwi.
“Yang pertama Allah Swt., yang ke-dua Rasululloh Saw. kemudian ibuku, ibuku, ibuku dan ayahku,” jawab Setia yang membuat mata Dwi berkaca-kaca, dan saya pun juga merinding ketika mendengar cerita ini dari Dwi.Dan dari jawaban itulah yang membuat Dwi yakin untuk melanjutkan ke tahap khitbah yang kemudian akan berlanjut ke akad.
Betapa senangnya hati Setia saat itu, akhirnya do’a yang selama ini tak putus ia panjatkan perlahan tapi pasti mendapatkan jawaban. Pada waktu itu juga seusai sholat Dzuhur, Setia berniat menemui ayah dari Dwi, ia ingin segera mengutarakan niat baiknya untuk meminang Dwi.
Di rumah Dwi, Setia memperkenalkan diri dengan dibantu ustadzah eka dan suami. Setelah mengutarakan niatnya, ayah Dwi pun mengiyakan dengan syarat minta waktu 1 tahun, banyak yang harus dipersiapkan terutama masalah biaya, terlebih lagi adek Dwi baru saja masuk kuliah.
“Untuk masalah biaya insyaAllah nanti saling membantu Pak,” kata Setia yang tetep kekeh ingin menikahi Dwi dalam waktu dekat.
“Jika keluarga disini ada kekurangan, keluarga kami siap membantu, begitu juga seballiknya, apabila keluarga kami ada kekurangan, kami mohon bantuannya” tambahnya lagi.
“Nggak hanya masalah biaya resepsi Nak, tapi juga tentang janji Dwi yang ingin membantu membiayai kuliah adeknya,” jawab Ayah Dwi yang tetap meminta waktu 1 tahun.
“Iya Pak, insyaAllah menyatukan dua orang dalam pernikahan berarti menyatukan dua keluarga, insyaAllah rejeki kita nanti semakin bertambah, aamiin” tambah Setia.
 “Benar Pak, kata mas Setia. Jarak antara khitbah dan akad itu sebaiknya tidak boleh lebih dari 3 bulan, tapi nggeh monggo didiskusikan dulu saja, lebih baik disegerakan mawon Pak, karena menikah itu juga ibadah, menyempurnakan separuh dari agama,” tambah suami ustadzah Eka yang memecah keheningan.
Kalau keduanya saling suka, saya dan keluarga mau bagaimana kalau bukan memberi Ridho atas niat baik mereka,” kata ayah Dwi, yang memberikan angin segar bagi Setia.
“Alhamdulillah, kalau Bapak sudah Ridho, insyaAllah besok pagi saya akan mengajak kedua orang tua saya untuk silaturahim kesini,” ucap Setia sambil tersenyum lega.
Pagi harinya, Setia dan keluarga mendatangi rumah Dwi. Setia sudah memberi tahu kepada sesepuh di keluarganya, untuk berdialog agar keluarga Dwi setuju untuk melangsungkan pernikahan di bulan Safar.
Pertemuan pertama antar keluarga terasa begitu hangat, walaupun awalnya yang Setia dan Dwi rasakan adalah perasaan takut dengan jantung yang berdebar sangat cepat. Lagi-lagi do’a Setia terkabul. Ternyata dari Ayah Dwi tidak ada penolakan ketika pihak laki-laki menawarkan untuk menikah di bulan Safar, padahal jarak antara Syawal dan Safar hanya sekitar 4 bulan.
Sepulangnya keluarga Setia, di rumah Dwi terjadi perdebatan kecil, kenapa ayah Dwi mengiyakan begitu saja tawaran dari pihak laki-laki, padahal kemarin ayahnya kukuh harus menunggu 1 tahun. Ayah Dwi pun juga merasakan keanehan, lidahnya kelu dan pikirannya jadi kosong, sehingga dengan mudahnya meng-iyakan tawaran dari pihak laki-laki.
Seiring berjalannya waktu, yang dipermasalahkan ayah Dwi perlahan bisa terselesaikan. Banyak sekali pihak yang membantu, dan dari Setia juga membantu persiapan resepsi. Mulai dari mendesain dan mencetak sendiri undangan, mencarikan rias dan dekorasi yang bagus dan terjangkau. Benar-benar saling membantu satu sama lain.
Waktu pun berjalan dengan sangat cepat, tak terasa kurang 1 bulan lagi Dwi dan Setia melangsungkan pernikahan. Tetapi, Dwi merasa gundah gulana. Hatinya tidak tenang, ia ingin menangis tapi bingung karena apa. Kalau saya pikir itu karena kesibukannya di Karang Taruna yang menyita waktu, tenaga, dan pikirannya. Bayangkan saja, terkadang Dwi sampai larut malam ikut berjualan makanan yang dikelola Karang Taruna di Desanya. Biasanya orang yang sudah mempunyai rencana menikah, pasti sudah disibukan dengan urusan pernikahan jauh-jauh hari sebelumnya. Tetapi Dwi berbeda, itulah yang membuat aku iri dengannya. Dia begitu bermanfaat bagi sesama, hingga menomor duakan urusan pribadi.
Dan sangkaanku pun salah, dia bahkan enjoy menikmati perannya itu, yang membuat hatinya tak tenang adalah tentang pemikirannya. Bagaimana besok setelah menikah, bagaimana cara berkomunikasi dengan keluarganya, bagaimana dan bagaimana.
Setalah mencurahkan isi hatinya ke ustadzah, Dwi pun mendapatkan saran jika dia harus mengunjungi rumah Setia sebelum akad itu dilangsungkan. Pasalnya Dwi sama sekali belum pernah berkunjung ke rumah Setia. Bahkan ketika aku mengantarkan dia dan Setia ke sebuah rias pengantin, Dwi bersekongkol denganku, bahwa berangkatnya agak sore saja biar waktunya pas selesai menjelang Maghrib dan nggak usah mampir ke rumah Setia, yang kebetulan dekat dengan lokasi rias pengantin tersebut.
Sedangkan ustadzah yang dulu juga berproses melalui ta’aruf, sering sekali main ke rumah suaminya untuk sekedar masak bareng sama mertua dan ngobrol santai dengan saudara-saudara dari suami.
Dwi pun mengikuti saran dari ustadzah, dan untuk pertama kalinya Dwi mengunjungi rumah Setia. Perasaan takut, deg-degan jadi satu. Takut jika salah berbicara, takut jika salah bertindak dan takut jika kesan pertama tidak sebaik yang ia harapkan.
“Besok setelah menikah tinggal di sini saja Nak? Lagian Setia seminggu sekali juga pulang,” saran dari Ibu Setia.
“Tetapi kembali lagi ke Setia, tugas kamu menuruti perintah Suami. Kamu masih boleh membantu ibumu, tetapi tugas utamamu adalah taat kepada suami,” tambah ibu Setia yang dibalas Dwi dengan senyuman dan anggukan.
“Buk, lauknya apa?” Tiba-tiba adek Setia yang paling kecil pulang dari sekolah, dan ingin makan.
“Lodeh terong,” jawab ibu.
“Aku nggak suka lodeh terong,” kata adek Setia dengan cemberut.
“Yasudah Ibu gorengin telur dulu,” kata ibu Setia yang kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur yang diikuti oleh Dwi.
“Biar saya saja Buk yang goreng,” kata Dwi.
Dwi pun tidak hanya menggoreng telur, tetapi juga mengambilkan nasi untuk makan adeknya (hehe, bakal adek). Setelah itu Dwi juga membuat sambal bawang dan menggoreng kerupuk. Walaupun sepele tapi Dwi sangat berhati-hati dalam memasak, ia tidak mau membuat kesalahan sekecil apapun. Tetapi yang terjadi diluar dugaan, kerupuk yang ia goreng tidak mengembang sempurna, ia berkali-kali minta maaf kepada ibu Setia. Setelah dirasa cukup, Dwi berpamitan untuk pulang, dan ibu Setia pun membawakan cabe untuk calon besannya, kata ibu Setia‘cabe dari calon besan untuk calon besan’.
Spechless, pengen nangis karena terharu. Cara mereka berproses sangat mulia, mungkin diluaran sana banyak sekali yang berproses seperti itu, tetapi ini terjadi dengan sahabatku dan aku menjadi saksi atas mereka. Kebetulan saya mengenal keduanya, dan itulah yang menjadikan ku menulis cerita ini, sebagai hadiah pernikahan mereka. Semoga Allah memberkahi kamu, dan memberkahi kalian berdua, serta mengumpulkan kalian berdua pada kebaikan, aamiin.
Dari ceritaku di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah mengabulkan doa Setia dengan cara ‘Ya, dia baik untukmu, akan Aku kabulkan do’amu, tapi tunggu sebentar, bukan sekarang waktunya.’ Dan yang harus dicontoh dari Setia adalah kesabaran dan keyakinannya bahwa doa tersebut akan dikabulkan Allah, walaupun ia harus menunggu dalam waktu yang lama. Dan ternyata memang Dwilah yang ditakdirkan untukknya. Serta, Allah memberikannya di waktu yang tepat.
Jadi teruslah berdoa jangan putus asa. Terus bersabar dan bersyukur. Jangan lupa do’akan saudara-saudara muslim dengan do’a yang terbaik, karena sesungguhnya do’a itu juga akan kembali ke kita.
 “Doa seorang muslim untuk saudaranya (muslim lainnya) yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan oleh Allah. Di atas kepala orang muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang ditugasi menjaganya. Setiap kali muslim itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya berkata, ‘aamiin (semoga Allah mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa.” (HR. Muslim No. 2733, Abu Dawud No. 1534, Ibnu Majah No. 2895 dan ahmad No. 21708).

***