Sabtu, 22 November 2014

Ku Tunggu Kau di Depan Pintu Masjid


Ku Tunggu Kau di Depan Pintu Masjid

“Suf, masih ingat dengan Anisa nggak? Dia sekarang di rumah Hlo!” Kata Akbar kepadaku.
Baru enak-enak tidur siang, e si Akbar datang kerumah. Mau nggak mau aku harus bangun dan menemui dia. Ku kira ada hal penting yang ingin ia sampaikan kepadaku, tapi ternyata dia hanya memberi kabar yang sebenarnya tak penting untukku, yups tentang Anisa.
Anisa adalah tetanggaku dan juga adek kelasku waktu SMP, kalau nggak salah aku kelas 3 dia baru kelas 1. Mau tau kenapa aku nggak tertarik mengenai Anisa? Oke aku akan menceritakan sebagian kisah kelamku itu kepada kalian.
Anisa adalah cewek terpopuler di SMP, baru satu bulan dia masuk, sekolahanku jadi geger. Banyak laki-laki tertarik padanya, tidak hanya yang satu angkatan dengan dia saja, tetapi banyak temanku yang tertarik padanya.
Selain rambut, lesung pipinya juga menjadi daya tarik yang sangat dahsyat. Sekali dia tersenyum dan mengibaskan rambutnya semua laki-laki akan terpesona. Mata mereka tak bisa berkedip, mulutnya pun ternganga, bahkan ada yang hampir ngeces gara-gara melihat Anisa, parah banget kan?
Banyak temanku yang menginginkan Anisa menjadi kekasihnya, segala cara telah dilakukan tetapi hasilnya nihil, dan karena Anisa adalah tetanggaku dengan bangganya aku menawarkan bantuan kepada mereka.
“Kalian percaya nggak kalau Anisa itu tetanggaku?”
“Aku bisa bantu kalian deket sama Anisa!” Kataku dengan bangganya.
“Hahahaha.” Tawa teman-temanku yang tak mempercayai perkataanku.
“Banyak banget yang ngaku kayak gitu Suf. Niat mereka ngaku kayak gitu biar nyali saingannya ciut. Dan sekarang kamu yang ngaku kayak gitu?”
“Katanya kamu nggak tertarik sama Anisa?” Kata Bobi, teman SMPku.
“Iya tu benar kata Bobi, jangan-jangan kamu tertarik juga kan dengan Anisa?” Tanya Krisna.
“Bobi, Krisna, Dion! Kalian harus percaya denganku. Aku nggak bohong!”
“Oke, kalau begitu buktikan kalau kamu nggak bohong.”
“Nanti jam istirahat kita makan di kantin kelas satu.” Saran Dion.
Entahlah, kenapa saat itu aku dengan bangganya mengaku bahwa Anisa adalah tetanggaku. Rasa bangganya itu seperti rasa bangga ketika ada finalis Indonesian Idol yang berasal dari kota Klaten menjadi juara satu. Ketika bertemu dengan orang yang berbeda daerah, aku pasti akan mengatakan Dia dari klaten hlo! Dan saya juga dari Klaten. Haha, ngenes banget kan? Bangga sama seseorang yang menjadi idola dan sang idola tak mengenali kita. Nah itu juga yang aku terima dari Anisa, dengan sombongnya dia tak menyapaku saat kita bertemu.
“Hahaha!” Lagi-lagi mereka menertawakanku.
“Katanya tetangga? Kenapa dia tak menyapamu?” Sindir Bobi.
“Tetangga beda kecamatan mungkin.” Tambah Krisna.
“Oke, akan kubuktikan sekali lagi, biar kalian percaya kalau dia tetanggaku.”
“Hai Anisa.” Sapaku saat Anisa berada tepat didepanku.
Anisa terlihat bingung karena tiba-tiba aku menyapanya dan kebingungannya bertambah saat melihat ekspresi dari teman-temanku yang sangat menyeramkan baginya. Anisa pun tak membalas sapaanku, dia hanya tersenyum dan berjalan menuju tempat duduk yang masih kosong sambil membawa semangkok bakso ditangannya.
“Yusuf, Yusuf! Sudahlah jangan diteruskan itu hanya membuat perutku sakit! Hahaha.” Tawa Dion.
“Kalau kamu tertarik sama Anisa ngomong aja Suf, jangan gengsi seperti ini.” Tambah Bobi.
“Kita balik ke kelas dulu ya tentangganya Anisa! Haha. Selamat berjuang dan bersaing dengan kita!” Sindir Krisna.
Setelah kejadian itu, aku tak lagi dipercaya teman-temanku. Setiap kejujuran yang ku katakan selalu dipertanyakan dan itu benar-benar menggangguku, hingga akhirnya aku lulus SMP dan terbebas dari teman-temanku dan termasuk Anisa, cewek centil dan sombong itu.
“Anisa yang mana ya? Di desa kita ada empat orang yang namanya Anisa.” Kataku yang menanggapi berita dari Akbar.
“Hloh bukannya ada tiga orang. Anisa Intan, Anisa Sukma, Anisa Janah, yang satu siapa?” Tanya Akbar penasaran.
“Anisa Cerybelle.
“Hloh bukannya dia dah keluar dari Cerybelle ya!”
“Oh dah keluar ya? Baru tahu aku. Terus yang kamu maksud Anisa siapa?” Tanyaku.
“Siapa lagi kalau bukan Anisa Janah, yang selalu jadi topik pembicaraan kita dulu.” Jawab Akbar dengan wajah yang terlihat senang.
“Oh, bagaimana kabar dia sekarang. Rambutnya masih panjang nggak? Hoam.” Sepertinya rasa kantuk yang kurasakan ini semakin menjadi saat aku harus berpura-pura tertarik dengan topik pembicaraan mengenai Anisa.
“Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat.” Kata Akbar setelah melihatku berkali-kali menguap.
“Baru sadar ya kamu.” Kataku dengan mata yang semakin menyipit.
“Yasudah besok pagi aku kesini lagi, silahkan lanjutkan tidur siangmu.”
“Aku pulang dulu, ya!” Kata Akbar yang kemudian pergi setelah membawa segenggam kacang mete dari toples.
Nanggung banget jam segini tidur lagi, ah ke Masjid bentar lagi kan waktunya sholat Ashar.
Walaupun ilmu agamaku masih kurang, bisa dibilang pakai banget! Tapi setidaknya aku tak mau meninggalkan sholat berjamaah di Masjid. Kata pak Ustadz sholat berjama’ah itu pahalanya lebih banyak dari pada sholat sendiri dirumah, dan kata pak Ustadz lagi kalau berada di shof paling depan bakal dapat Unta, nah itu masih melekat jelas di otakku, makanya sebelum Adzan tak jarang aku sudah berada di Masjid.
Ngapain Bang kok ke Masjid duluan? Pasti mau nyuri uang infaq ya? Tidak lah, walaupun tampangku brandal tapi hati insyaAllah beriman. Ada untungnya juga kok kalau aku tiba di Masjid lebih dulu dari yang lain, aku bisa membersihkan serambi masjid, membersihkan sajadah-sajadah dan masih banyak hal lain yang bisa ku kerjakan. Rangkap jabatan jadi cleaning service ya Bang? Iya, betul. Allah saja sudah memberikan semuanya kepadaku secara cuma-cuma, dan sudah sepantasnya aku menjaga rumah Allah agar terlihat lebih bersih, indah dan nyaman untuk beribadah.
Lokasi Masjid yang menjadi tempatku beribadah cukup strategis, yaitu di tengah-tengah Desa. Walaupun strategis, tak banyak dari mereka yang menyempatkan waktu untuk sholat berjama’ah di sana. Kecuali di bulan Ramadhan, orang-orang yang jarang sholat pun juga ikut meramaikan masjid.
Selain di bulan Ramadhan, jama’ah di Masjid Al-Iman bisa dihitung dengan jari tangan, dan kadang ditambah jari kaki. Menurut survey terakhir ku, laki-laki ada sekitar 10 orang dan yang perempuan 5 orang, cukup miriskan? Apalagi kalau waktu sholat Isya dan Subuh, dari yang jumlahnya 15 orang menyusut menjadi 7 yang paling banyak bisa mencapai angka 9 orang. Mungkin mereka belum mengetahui Sabda Rasulullah yang artinya seperti ini Barangsiapa yang shalat Isya berjamaah maka seakan-akan dia telah shalat setengah malam. Dan barangsiapa shalat Subuh berjamaah maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat satu malam penuh. (HR. Muslim).
Tak berapa lama setelah aku berada di Masjid, waktu sholat Ashar pun tiba, ku lafadzkan Adzan dengan suara yang lantang dan dengan lagu yang indah, berharap orang-orang yang mendengar suaraku berduyung-duyung datang ke Masjid untuk meminta tanda tanganku, eh. Maksudnya untuk melaksanakan Sholat Ashar berjamaah. Tapi ternyata sama saja, tak ada yang berubah dari jumlah jama’ahnya.
Setelah selesai melaksanakan shalat Ashar, aku langsung keluar dari Masjid dan menghampiri sepeda ontel kesayanganku. Tetapi mata dan perhatianku tertuju pada jama’ah putri yang dari tadi belum keluar juga. Mereka terlihat sedang asik berbicara satu sama lainnya. Dan setelah aku menunggu, akhirnya mereka keluar dari Masjid, dan aku baru sadar jumlah jama’ah putri bukan 5 orang melainkan menjadi 6. Dan rasa penasaranku bertambah saat melihat mukena dengan motif kupu-kupu dan bunga yang menjadi hiasannya. Berbeda sekali dengan mukena 5 jama’ah lainnya yang terlihat polos.
Setelah sholat Maghrib pun aku mencari tahu siapa pemilik mukena yang indah itu. Saat akan keluar dari Masjid, aku menyempatkan diri melihat shof putri, dan terlihat ada sosok perempuan yang sedang berdoa dengan pandangan mata ke bawah. Aku tak bisa mengenali siapa dia, yang ku ketahui adalah kulit wajah perempuan itu nampak masih segar dan belum berkerut itu berarti dia masih muda.
Penyelidikanku berlanjut saat sholat Isya. Saat aku berjalan masuk ke Masjid, tercium aroma parfum laundry, itu berbeda sekali dengan satu minggu yang lalu, saat aku masuk ke Masjid yang tercium adalah aroma minyak kayu putih, dan benar dugaanku semakin kuat kalau dia adalah gadis muda.
Seusai shalat Isya aku mendengar suara di persimpangan jalan, suara seorang ibu yang memberi salam perpisahan kepada gadis itu.
“Ayo Anisa main ke rumah Laila.” Kata ibu itu.
Anisa? Anisa siapa lagi ini? Apa benar di Desaku sekarang yang namanya Anisa ada empat?
Malam-malam yang penuh dengan rasa penasaran digantikan dengan pagi hari yang membawa segudang kenyataan. Pagi ini Akbar akan datang ke rumahku untuk memberi tahu tentang Anisa yang dia maksud itu. Kali ini aku benar-benar tertarik dengan informasi tentang Anisa.
Tak berapa lama, Akbar pun datang dengan motor pretelan yang menjadi andalannya saat musim kampanye tiba. Dengan senyum leda-ledenya, dia memberi salam kepada orangtuaku dan mencium tangan mereka, sungguh diluar dugaan!
“Wa’alaikumsalam.” Jawab kedua orangtuaku.
“Tumben cium tangan segala, pasti lagi seneng ya?” Tanya ibuku kepada Akbar.
“Iya Tante, aku lagi seneng nih. Pagi-pagi dah dapat senyum manis dari Anisa.”
Mendengar Akbar menyebutkan nama Anisa, aku langsung keluar dari sarangku dan menyeret Akbar ke ruang tamu.
“Mana kacang mete yang ada di mejamu kemarin?” Pertanyaan yang konyol dari seorang tamu kepada tuan rumahnya. Bisa-bisanya nanya makanan, dasar Akbar!
“Kemarin bukannya kamu yang menghabiskannya?” Jawabku.
“Kemarin cuma ambil satu genggam kali bukan satu toples!”
“Ayo cepet, ceritakan tentang Anisa Janah!” Kataku yang tak mau berbasa-basi lagi.
“Nah, kemarin kamu kan tanya tentang rambut si Anisa masih panjang atau enggak, sekarang aku jawab. Aku nggak tahu!” Kata Akbar dengan gaya santainya yang meletakan kedua tangan diatas sofa.
“Maksudmu apa?”
“Bukannya tadi kamu ketemu sama Anisa, kenapa kamu nggak tahu tentang rambutnya?”
“Jangan buat aku penasaran, katakan yang sejelas-jelasnya!” Ucapku dengan nada yang semakin meninggi.
Slow aja bro, jangan marah-marah kayak gitu.”
“Iya tadi aku ketemu sama Anisa, dan senyumnya itu hlo, masya Allah buat aku melayang.”
“Akbar!” Gertakku.
“Hih, lagi bayangin senyumnya Anisa, e malah dikagetin!”
“Kamu terlalu berbelit-belit, cepet jelasin maksudmu tadi!” Ucapku yang terlihat tidak sabaran menunggu penjelasan dari Akbar.
“Aku nggak tahu seberapa panjang rambutnya, karena dia sekarang pakai kerudung.”
“Hello? Tadi pengen tahu tentang Anisa, giliran dah ku kasih tahu e malah diem. Kamu lagi bayangin senyumnya Anisa ya, hayo ngaku!” Ucap Akbar yang melihatku terdiam setelah mendengarkan penjelasan dari dia.
“Kamu salah orang kali Bar? Mungkin yang kamu lihat itu Anisa Intan atau Anisa Sukma bukan Anisa Janah.” Kataku dengan nada lirih dan dengan raut wajah yang terlihat bingung.
“Mungkin benar apa yang kamu katakan.” Kata Akbar yang kali ini mengubah posisi duduknya, dan menatap ke arahku dengan tatapan yang tajam, sehingga terlihat keseriusan di wajah Akbar.
“Jadi benar kan kalau kamu salah lihat?” Tanyaku dengan membalas tatapn Akbar.
“Iya mungkin.”
“Dan mungkin juga Anisa Intan atau Anisa Sukma melakukan operasi plastik sehingga mempunyai lesung pipi yang sama persis dengan Anisa Janah.” Jawab Akbar yang masih menatapku.
“Kamu itu kok nggak percaya banget sama aku?”
“Itu benar-benar Anisa Janah!” Kata Akbar dengan tegas.
Jadi benar kalau yang dilihat Akbar tadi adalah cewek centil itu? Sudah tiga tahun aku tak mendengar kabar berita darinya, dan sekarang dia pulang dengan membawa perubahan yang besar? Sungguh diluar dugaanku.
Selang beberapa jam, waktu sholat Dhuhur pun tiba. Kali ini aku tak membawa si cungkring (sepeda ontelku) ke Masjid. Aku memilih berjalan kaki agar bisa lebih lama memperhatikan rumah Anisa yang selalu ku lewati saat berangkat dan pulang dari Masjid. Tetapi saat aku melintasi rumah Anisa, rumahnya terlihat sepi dan alhasil akupun belum menemukan jawaban dari pertanyaanku itu.
Ditengah perjalanan menuju Masjid, terdengar suara Adzan dari Masjid Al-Iman yang menggugah lamunanku. Dengan langkah kaki yang lebih cepat dari sebelumnya, aku langsung bergegas menuju Masjid. Sesampainya di sana, lamunanku pun berlanjut, biasanya aku langsung mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat sunah rawatib, tapi kali ini aku termenung di dekat toilet. Aku masih asik dengan rasa penasaranku yang seakan membludak.
“Yusuf, ayo ambil air wudhu dan masuk Masjid.” Kata pak Gugun, tokoh agama di desaku.
“Iya Pak.” Jawabku refleks.
Aku pun langsung mengambil air wudhu, dan setelah itu aku langsung menuju serambi Masjid dan berdiri tepat di pintu Masjid khusus ikhwan.
Kalau benar itu adalah Anisa Janah, berarti pemilik mukena cantik itu adalah dia. Dan sebentar lagi dia pasti muncul.
Aku akan menunggu dia di depan pintu Masjid ini, aku harus memastikan apakah dia Anisa Janah atau bukan.
“Ayo masuk Le, ngapain berdiri di sini.” Kata pakde Rudi.
“Iya Pakde, bentar lagi masuk kok. Ini baru ngaca.” Jawabku berbohong.
“Dasar anak muda jaman sekarang.” Kata pakde Rudi yang langsung masuk ke Masjid.
Bersama dengan datangnya pakde Rudi, aroma parfum laundry pun tercium sangat pekat. Benar sekali, aroma mukena yang digunakan gadis itu. Dengan cepatnya kepala ku bergerak 90 derajat ke arah kanan dan terlihat seorang gadis yang sudah berdiri tepat di depan pintu.
Sebelum dia masuk, dia menyempatkan untuk melihat ke arahku dan senyumannya pun berkembang. Iya benar itu Anisa Janah! Aku masih hafal dengan senyumannya! Itu benar-benar Anisa!
Setelah melemparkan senyumannya kepadaku, dengan langkah pelan Anisa masuk ke Masjid, aku pun mengikuti langkah nya dengan posisi kepala yang masih sama, hingga akhirnya ku kembalikan ke posisi semula setelah aku bergabung dengan jama’ah ikhwan lainnya.
Seusai sholat Dhuhur, saat aku mengambil sandal melly ku, Anisa pun keluar dari Masjid dan mengambil sandalnya juga. Sandalnya New Era bro, beda harga dan level sama sandalku.
“Anisa Janah ya?” Sapaku.
“Iya, masih ingat sama aku ya Mas.” Jawab Anisa yang masih sibuk melipat mukenahnya.
“Iya dong, adek kelas terpopuler di SMP masak aku lupa haha.”
“Ah, jangan dibahas lagi, aku malu. Itu jaman jahiliyah.” Kata Anisa yang mulai melangkahkan kakinya menjauhi Masjid.
“Kamu kemana aja Nis, kok baru kelihatan?” Tanyaku yang kali ini berjalan berdampingan dengan Anisa.
“Setelah lulus SMP, aku SMAnya di pondok. Dan Alhamdulillah sekarang dah lulus.”
“Oh pantesan, sekarang berubah kayak gini. Hebat kamu!” Kataku yang masih tak percaya jika wanita muslimah yang ada di sampingku adalah Anisa.
“Ini bukan apa-apa Mas, ini kan kewajiban. Aku aja yang baru sadar.”
“Terus apa rencamu sekarang? Kuliah?” Tanyaku.
“Nggak Mas, bukan kuliah, tapi nikah.” Kata Anisa yang membuat langkah kakiku terhenti.
“Kok berhenti? Ayo jalan lagi!”
“Secepat itukah? Kamu kan masih muda.”
“Bukan masalah muda atau tuanya seseorang, tapi masalah kesiapan.”
“Di sana aku diajarkan banyak sekali ilmu agama, dan aku tak mau setelah keluar dari sana, aku berubah menjadi Anisa yang dulu kala. Aku ingin ada seorang imam yang membimbing langkahku.”
“Bagaimana dengan dirimu Mas?” Lagi-lagi ucapan Anisa menghentikan langkah kakiku.
“Aku?”
“Em, Aku?” Aku pun gugup menjawab pertanyaan dari Anisa.
“A..ku be..lum siap untuk menikah?” Jawabku dengan terbata-bata.
“Hehe, bukan itu pertanyaanku. Maksudku, apa kesibukanmu sekarang? Kuliah? Lancar kan?” Anisa pun tertawa mendengar jawabanku.
Dengan menahan malu aku pun menceritakan kegiatanku sekarang, hingga akhirnya kami sudah berada tepat di depan rumah Anisa. Anisa kemudian masuk ke rumah, dan aku berjalan dengan cepat agar cepat sampai rumah.
Ah sial, kenapa aku bisa seperti itu di depan Anisa? Kenapa aku tadi salah jawab pertanyaannya, benar-benar memalukan. Dan bukannya aku membenci Anisa, tapi setelah melihat Anisa yang sekarang entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat. Pesona Anisa yang sekarang lebih dahsyat dari yang dulu kala.
Hari demi pun berlalu, seperti biasanya setiap hari aku selalu bertemu dengan Anisa di depan pintu Masjid, tetapi bedanya seusai sholat berjama’ah kami tak bertemu lagi, kadang aku yang lebih dulu keluar dari Masjid atau sebaliknya.
Suatu hari, di waktu Ashar aku menunggu kedatangan pemilik lesung pipi itu, tetapi dia tak kunjung datang. Aku pikir dia terlambat datang, tetapi setelah aku sholat Ashar aku tak melihat sandal jepitnya, itu berarti dia tak melaksanakan shalat Ashar berjama’ah.
“Kamu mencari Anisa ?” Tanya pak Gugun.
“Dia nggak bakal datang, baru ada tamu.” Katanya lagi yang kemudian pergi.
O, syukurlah. Dia nggak sholat di Masjid karena baru datang bulan bukan karena dia sakit, sungguh aku khawatir dengan dia.
Setelah mendengar berita tentang Anisa dengan semangatnya aku pulang dengan mengayuh sepeda ontelku. Tak lupa saat melewati rumah Anisa ku sempatkan untuk menoleh ke arah rumahnya. Terlihat dua mobil terparkir di halamannya. Kondisi rumahnya pun ramai, tak seperti biasanya yang selalu sepi.
Ada acara apa di rumah Anisa? Kata pak Gugun, Anisa nggak ke Masjid karena ada tamu. Maksud dari kata tamu di sini apa sih? Tamu dalam artian sebenaranya atau kiasan?
“Dek sebentar mau tanya, di rumah mbak Anisa ada acara apa ya?” Tanyaku setelah turun dari sepeda ontel.
“Mbak Anisa di lamar Mas.” Jawab adek kecil itu, yang kira-kira berumur 10 tahun.
Langit menjadi gelap berkelabu, menyelimuti hatiku. Merubah seluruh hidupku. Megapa semua jadi begini perpisahan yang terjadi, diantara kita berdua. Setelah menjawab pertanyaanku, hp adek itu berdering, dan nada deringnya itu pas banget sama keadaanku sekarang.
Dengan sisa semangat yang ku miliki, ku lanjutkan perjalananku. Kali ini aku merasakan betapa beratnya mengayuh si cungkring. Tanganku bergetar hebat, kaki ku kelu dan jantungku berdetak cepat sekali, tanpa ku suruh mataku pun berkaca-kaca hingga  hampir meneteskan air mata.
“Njenggreng!” Suara pintu kamarku yang ku tutup dengan keras.
“Ada apa Suf? Pulang-pulang kok langsung ke kamar?” Tanya Ibuku yang tak ku tanggapi.
Ada apa dengan aku ini, aku terluka saat mengetahui bahwa Anisa dilamar. Dia pasti sekarang lagi bahagia, karena cita-cita menikah muda bakal kesampaian. Oh ya Allah, kenapa aku belum punya keberanian untuk melaksanakan sunnah RasulMu itu?
Apa yang harus aku lakukan ya Allah, aku sangat terluka mendengar berita itu. Ya Allah bantulah hambaMu ini, bantulah!. Air mataku pun tak bisa kubendung lagi, tak lupa ku ambil tasbih dan ku baca istighfar berkali-kali karena hanya Allah lah yang mampu mendamaikan hatiku yang sekarang sedang terluka.
Adzan Maghrib pun terdengar samar-samar dari kamarku, dan baru ku sadari bahwa aku sudah menghabiskan waktu soreku yang berharga hanya di kamar.
Dengan cepat, aku beranjak dari kamarku dan berjalan menuju masjid, yang pastinya setelah aku membasuh mukaku yang lengket karena terkena air mata. Sesampainya di Masjid, aku masih saja menunggu Anisa di depan pintu Masjid Al-Iman, entah apa yang aku lakukan ini benar atau salah, rasa-rasanya aku belum bisa menerima kenyataan bahwa sekarang Anisa sudah menjadi milik orang, dan sebentar lagi dia akan menikah, kenapa aku masih menunggunya di sini?
Nis, apakah kamu akan datang untuk melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah? Aku menunggumu di sini Nis?
Nis, kamu beneran nggak datang? Ini sudah Iqomah. Kamu lagi ngapain Nis? Kamu lagi seneng ya Nis, sampai lupa sholat berjama’ah di Masjid? Nis, aku masuk ke masjid duluan ya. Kalau bisa kamu nyusul, telat nggak papa Nis, yang penting berjama’ah. Lagi-lagi aku mengandalkan kemampuanku berbicara dalam hati untuk meluapkan emosi yang sedang ku rasakan.
Tiga rokaatpun telah terlewati, dengan lesunya aku melangkah meninggalkan Masjid.
“Mas Yusuf!” Sapa seseorang yang membuatku menoleh kebelakang.
“Anisa!” Balasku.
“Hloh kamu tadi sholat jama’ah?”
“Iya, tapi telat satu rokaat.”
“Oh iya, maklum lah ya. Kan lagi sibuk beres-beres rumah.” Sindirku.
“Siapa yang melamarmu Nis?” Tanyaku penasaran.
“Kakak kelas waktu di pondok Mas.”
“Oh Syukurlah, wanita baik dapat jodoh yang baik juga.” Kataku dengan tersenyum walaupun sebenarnya sakit yang kurasakan.
“Kalau Mas Yusuf orangnya baik nggak?” Tanya Anisa yang membuat lidahku kelu.
“Ya...ba...ik lah.” Jawabku.
“Kalau begitu Mas Yusuf dapat Wanita yang baik juga.”
“Aamiin.” Ucapku.
“Oh ya, hari ini aku belum menjawab lamaran itu.”
“Kenapa belum dijawab?” Tanyaku kepo.
“Waktunya mepet, dah masuk waktu sholat Maghrib jadi aku mengatakan akan menjawab lamaranya besok seusai Dhuhur.”
“Oh.” Ucapku.
“Jadi kamu masih punya kesempatan esok hari. Jika kau ingin menjadi imamku, kutunggu lamaranmu besok!” Kata Anisa dengan mempercepat langkah kakinya sedangkan aku seakan tak bisa berjalan mendengar ucapan dari Anisa.
Aku tak mampu mengejar langkah kakinya, aku hanya bisa melihat Anisa yang lama kelamaan hilang ditelan kegelapan. Aku masih tercengang, kakiku lagi-lagi bergetar hebat. Aku tak mengerti apa yang diucapkan Anisa, aku takut menafsirkannya.
“Ayah, Ibu!” Sapaku sesampainya dirumah.
“Ada apa Suf, kenapa nada suaramu seperti itu?”
“Kamu dikejar setan?” Tanya Ayahku.
“Ayah, Ibu besok antarkan aku ke rumah Anisa.” Kataku dengan nada yang terengah-engah.
“Bukannya kamu dah tahu rumahnya Anisa, kenapa mesti dianterin?” Tanya ibu bingung.
“Tenangkan dirimu dulu Suf, duduk dulu!” Saran ayah.
“Gini hlo Yah, Bu, aku berniat melamar Anisa, jadi ku mohon Ayah dan Ibu berkenan membantuku untuk melamar dia.” Kataku setelah aku mulai tenang.
“Apa?” Kata ayah kaget.
“Apa kamu belum tahu kalau tadi sore Anisa sudah dilamar orang? Tidak baik jika melamar wanita yang sudah dilamar orang lain.” Kata ibu.
“Tapi Bu, Anisa belum menjawab lamarannya, dan dia sendiri yang menyuruhku melamar dia. Sepertinya Anisa punya perasaan yang sama sepertiku.”
“Apa Ayah dan Ibu tega melihatku menghadiri pernikahan Anisa dengan hati yang terluka? Bisa-bisa aku melakukan tindakan seperti yang dilakukan Risna, memeluk mantan kekasihnya di hadapan orang banyak. Apa kalian tega?”
“Oke, besok kita lamarkan Anisa untuk Yusuf.” Kata Ayahku dengan tegas.
Keesokan harinya seusai sholat Dhuhur, aku ditemani dengan kedua orang tuaku datang berkunjung ke rumah Anisa. Terlihat banyak sekali kerabat dari Anisa yang datang dan juga laki-laki yang melamar dia pastinya. Dari penampilannya, laki-laki itu terlihat berpendidikan dan beragama.
“Bapak Diki dan Ibu Wulan, kehadiran kami di sini yang pertama silaturahim, yang kedua kami sebagai orang tua dari Yusuf membawa niat yang baik dan suci yaitu ingin mempererat hubungan kekeluargaan kita dengan menikahkan Anisa dan Yusuf. Apakah Bapak dan Ibu berkenan merestui Anisa untuk menjadi istri dari Yusuf.” Kata Ayahku.
“Oh, jadi ini alasan Anisa menunda menjawab lamaran dari Taufik kemarin.” Kata bapak Diki.
“Kami sebagai orang tua dari Anisa menginginkan putrinya menikah dengan laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Melihat keseharian dari Yusuf kami sangat yakin Yusuf mampu membimbing Anisa ke jalanNya, dan juga melihat latar pendidikan Taufik yang juga lulusan dari pondok, kami juga tak ragu menyerahkan Anisa ke Taufik.”
“Sekarang tinggal keputusan dari Anisa saja, karena yang akan menjalankan bahtera rumah tangga adalah dia. Bagaimana Nak, kamu memilih siapa?” Tanya Bapak Diki yang membuatku tegang.
“Sebelumnya saya minta maaf, apabila ada yang tersakiti dalam keputusanku ini. Aku harap kalian bisa menerima keputusanku ini dengan lapang dada.”
“Untuk Kak Taufik, saat aku di pondok aku sering mendengarkan santri membicarakan tentang ketaatanmu dan itu membuatku kagum kepadamu. Dan Mas Yusuf, aku juga menaruh kagum kepadamu karena kamu benar-benar menjaga sholat berjama’ah di Masjid.”
“Dan itulah yang menjadi pertimbanganku.”
“Kak Taufik, walaupun kamu terkenal taat, tapi maaf aku pernah melihatmu mengabaikan suara Adzan dan aku juga pernah melihatmu di hari Jumat, kamu datang ke Masjid saat khutbah pertama sudah dimulai, padahal kamu sendiri tahu pahala seseorang yang datang sebelum khutbah pertama dimulai.”
 “Dan Mas Yusuf, aku yakin jika seorang laki-laki mampu menjaga sholat berjama’ahnya maka dia akan mampu menjaga keutuhan rumah tangganya.”
“Bismillahirahmanirahim, aku memilih mas Yusuf untuk menjadi pasangan hidupku.” Kata Anisa yang membuatku bisa tersenyum lega.
“Alhamdulillah, Anisa sudah memutuskannya. Kami mohon dari pihak keluarga Taufik bisa menerima keputusan dari Anisa dengan lapang dada.” Tambah bapak Diki.
“Iya, Pak. Pemikiran Anisa sungguh luar biasa, kami bisa menerimanya.” Kata Taufik yang tidak terlihat bersedih dengan keputusan Anisa.
“Jadi kapan akad nikahnya dilangsungkan?” Tanya ayahku.
“Kalau bisa secepatnya.”
“Yusuf selalu menunggu Anisa di depan pintu Masjid, kalau diteruskan itu bisa menimbulkan fitnah di masyarakat.” Tambah pak Gugun, yang saat itu memang diundang untuk hadir.
“Oh, jadi Yusuf kalau berdiri di depan pintu Masjid itu nunggu Anisa ya?”
“Aku mengiranya dia sedang bercermin, oh ternyata Yusuf diam-diam memperhatikan Anisa.” Tambah pakde Rudi.
Semuanya pun tertawa mendengar cerita dari pak Gugun dan pakde Rudi tak terkecuali aku dan Anisa. Aku sudah bisa tertawa dengan terbahak-bahak setelah semalaman aku tegang dan tak bisa tidur karena memikirkan hari ini.
“Terimakasih Nis, kamu mempercayaiku untuk menjadi imammu.” Kataku seusai acara lamaran.
“Terimakasih juga sudah menungguku di depan pintu Masjid, apakah kamu akan menungguku lagi di sana?” Tanyanya dengan tersenyum.
“Nggak, aku nggak bakal nunggu lagi di sana?” Kataku.
“Hloh kenapa?” Tanyanya bingung.
“Aku akan menunggumu di depan pintu rumah kita. Karena sebentar lagi kita akan membina keluarga yang insya Allah sakinah mawadah dan warahmah.”
“Aamiin.”
Sekian