Ku Tunggu Kau di Depan Pintu Masjid
“Suf, masih ingat dengan Anisa nggak? Dia sekarang di rumah
Hlo!” Kata Akbar kepadaku.
Baru enak-enak tidur siang, e si Akbar datang kerumah. Mau
nggak mau aku harus bangun dan menemui dia. Ku kira ada hal penting yang ingin
ia sampaikan kepadaku, tapi ternyata dia hanya memberi kabar yang sebenarnya
tak penting untukku, yups tentang Anisa.
Anisa adalah tetanggaku dan juga adek kelasku waktu SMP, kalau
nggak salah aku kelas 3 dia baru kelas 1. Mau tau kenapa aku nggak tertarik
mengenai Anisa? Oke aku akan menceritakan sebagian kisah kelamku itu kepada
kalian.
Anisa adalah cewek terpopuler di SMP, baru satu bulan dia
masuk, sekolahanku jadi geger. Banyak
laki-laki tertarik padanya, tidak hanya yang satu angkatan dengan dia saja,
tetapi banyak temanku yang tertarik padanya.
Selain rambut, lesung pipinya juga menjadi daya tarik yang
sangat dahsyat. Sekali dia tersenyum dan mengibaskan rambutnya semua laki-laki
akan terpesona. Mata mereka tak bisa berkedip, mulutnya pun ternganga, bahkan
ada yang hampir ngeces gara-gara melihat Anisa, parah banget kan?
Banyak temanku yang menginginkan Anisa menjadi kekasihnya,
segala cara telah dilakukan tetapi hasilnya nihil, dan karena Anisa adalah
tetanggaku dengan bangganya aku menawarkan bantuan kepada mereka.
“Kalian percaya nggak kalau Anisa itu tetanggaku?”
“Aku bisa bantu kalian deket sama Anisa!” Kataku dengan
bangganya.
“Hahahaha.” Tawa teman-temanku yang tak mempercayai
perkataanku.
“Banyak banget yang ngaku kayak gitu Suf. Niat mereka ngaku
kayak gitu biar nyali saingannya ciut. Dan sekarang kamu yang ngaku kayak
gitu?”
“Katanya kamu nggak tertarik sama Anisa?” Kata Bobi, teman
SMPku.
“Iya tu benar kata Bobi, jangan-jangan kamu tertarik juga kan
dengan Anisa?” Tanya Krisna.
“Bobi, Krisna, Dion! Kalian harus percaya denganku. Aku nggak
bohong!”
“Oke, kalau begitu buktikan kalau kamu nggak bohong.”
“Nanti jam istirahat kita makan di kantin kelas satu.” Saran
Dion.
Entahlah, kenapa saat itu aku dengan bangganya mengaku bahwa
Anisa adalah tetanggaku. Rasa bangganya itu seperti rasa bangga ketika ada
finalis Indonesian Idol yang berasal dari kota Klaten menjadi juara satu.
Ketika bertemu dengan orang yang berbeda daerah, aku pasti akan mengatakan Dia dari klaten hlo! Dan saya juga dari Klaten.
Haha, ngenes banget kan? Bangga sama seseorang yang menjadi idola dan sang
idola tak mengenali kita. Nah itu juga yang aku terima dari Anisa, dengan
sombongnya dia tak menyapaku saat kita bertemu.
“Hahaha!” Lagi-lagi mereka menertawakanku.
“Katanya tetangga? Kenapa dia tak menyapamu?” Sindir Bobi.
“Tetangga beda kecamatan mungkin.” Tambah Krisna.
“Oke, akan kubuktikan sekali lagi, biar kalian percaya kalau
dia tetanggaku.”
“Hai Anisa.” Sapaku saat Anisa berada tepat didepanku.
Anisa terlihat bingung karena tiba-tiba aku menyapanya dan
kebingungannya bertambah saat melihat ekspresi dari teman-temanku yang sangat
menyeramkan baginya. Anisa pun tak membalas sapaanku, dia hanya tersenyum dan
berjalan menuju tempat duduk yang masih kosong sambil membawa semangkok bakso
ditangannya.
“Yusuf, Yusuf! Sudahlah jangan diteruskan itu hanya membuat
perutku sakit! Hahaha.” Tawa Dion.
“Kalau kamu tertarik sama Anisa ngomong aja Suf, jangan gengsi
seperti ini.” Tambah Bobi.
“Kita balik ke kelas dulu ya tentangganya Anisa! Haha. Selamat
berjuang dan bersaing dengan kita!” Sindir Krisna.
Setelah kejadian itu, aku tak lagi dipercaya teman-temanku.
Setiap kejujuran yang ku katakan selalu dipertanyakan dan itu benar-benar
menggangguku, hingga akhirnya aku lulus SMP dan terbebas dari teman-temanku dan
termasuk Anisa, cewek centil dan sombong itu.
“Anisa yang mana ya? Di desa kita ada empat orang yang namanya
Anisa.” Kataku yang menanggapi berita dari Akbar.
“Hloh bukannya ada tiga orang. Anisa Intan, Anisa Sukma, Anisa
Janah, yang satu siapa?” Tanya Akbar penasaran.
“Anisa Cerybelle.”
“Hloh bukannya dia dah keluar dari Cerybelle ya!”
“Oh dah keluar ya? Baru tahu aku. Terus yang kamu maksud Anisa
siapa?” Tanyaku.
“Siapa lagi kalau bukan Anisa Janah, yang selalu jadi topik
pembicaraan kita dulu.” Jawab Akbar dengan wajah yang terlihat senang.
“Oh, bagaimana kabar dia sekarang. Rambutnya masih panjang
nggak? Hoam.” Sepertinya rasa kantuk yang kurasakan ini semakin menjadi saat
aku harus berpura-pura tertarik dengan topik pembicaraan mengenai Anisa.
“Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat.” Kata Akbar
setelah melihatku berkali-kali menguap.
“Baru sadar ya kamu.” Kataku dengan mata yang semakin
menyipit.
“Yasudah besok pagi aku kesini lagi, silahkan lanjutkan tidur
siangmu.”
“Aku pulang dulu, ya!” Kata Akbar yang kemudian pergi setelah
membawa segenggam kacang mete dari toples.
Nanggung banget jam segini
tidur lagi, ah ke Masjid bentar lagi kan waktunya sholat Ashar.
Walaupun ilmu agamaku masih kurang, bisa dibilang pakai
banget! Tapi setidaknya aku tak mau meninggalkan sholat berjamaah di Masjid.
Kata pak Ustadz sholat berjama’ah itu pahalanya lebih banyak dari pada sholat
sendiri dirumah, dan kata pak Ustadz lagi kalau berada di shof paling depan
bakal dapat Unta, nah itu masih melekat jelas di otakku, makanya sebelum Adzan
tak jarang aku sudah berada di Masjid.
Ngapain Bang kok ke Masjid
duluan? Pasti mau nyuri uang infaq ya? Tidak
lah, walaupun tampangku brandal tapi hati insyaAllah beriman. Ada untungnya
juga kok kalau aku tiba di Masjid lebih dulu dari yang lain, aku bisa
membersihkan serambi masjid, membersihkan sajadah-sajadah dan masih banyak hal lain
yang bisa ku kerjakan. Rangkap jabatan
jadi cleaning service ya Bang? Iya, betul. Allah saja sudah memberikan
semuanya kepadaku secara cuma-cuma, dan sudah sepantasnya aku menjaga rumah
Allah agar terlihat lebih bersih, indah dan nyaman untuk beribadah.
Lokasi Masjid yang menjadi tempatku beribadah cukup strategis,
yaitu di tengah-tengah Desa. Walaupun strategis, tak banyak dari mereka yang
menyempatkan waktu untuk sholat berjama’ah di sana. Kecuali di bulan Ramadhan,
orang-orang yang jarang sholat pun juga ikut meramaikan masjid.
Selain di bulan Ramadhan, jama’ah di Masjid Al-Iman bisa
dihitung dengan jari tangan, dan kadang ditambah jari kaki. Menurut survey
terakhir ku, laki-laki ada sekitar 10 orang dan yang perempuan 5 orang, cukup
miriskan? Apalagi kalau waktu sholat Isya dan Subuh, dari yang jumlahnya 15
orang menyusut menjadi 7 yang paling banyak bisa mencapai angka 9 orang.
Mungkin mereka belum mengetahui Sabda Rasulullah yang artinya seperti ini Barangsiapa yang shalat Isya berjamaah maka
seakan-akan dia telah shalat setengah malam. Dan barangsiapa shalat Subuh
berjamaah maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat satu malam penuh. (HR.
Muslim).
Tak berapa lama setelah aku berada di Masjid, waktu sholat
Ashar pun tiba, ku lafadzkan Adzan dengan suara yang lantang dan dengan lagu
yang indah, berharap orang-orang yang mendengar suaraku berduyung-duyung datang
ke Masjid untuk meminta tanda tanganku, eh. Maksudnya untuk melaksanakan Sholat
Ashar berjamaah. Tapi ternyata sama saja, tak ada yang berubah dari jumlah
jama’ahnya.
Setelah selesai melaksanakan shalat Ashar, aku langsung keluar
dari Masjid dan menghampiri sepeda ontel kesayanganku. Tetapi mata dan
perhatianku tertuju pada jama’ah putri yang dari tadi belum keluar juga. Mereka
terlihat sedang asik berbicara satu sama lainnya. Dan setelah aku menunggu,
akhirnya mereka keluar dari Masjid, dan aku baru sadar jumlah jama’ah putri
bukan 5 orang melainkan menjadi 6. Dan rasa penasaranku bertambah saat melihat
mukena dengan motif kupu-kupu dan bunga yang menjadi hiasannya. Berbeda sekali
dengan mukena 5 jama’ah lainnya yang terlihat polos.
Setelah sholat Maghrib pun aku mencari tahu siapa pemilik
mukena yang indah itu. Saat akan keluar dari Masjid, aku menyempatkan diri
melihat shof putri, dan terlihat ada sosok perempuan yang sedang berdoa dengan
pandangan mata ke bawah. Aku tak bisa mengenali siapa dia, yang ku ketahui
adalah kulit wajah perempuan itu nampak masih segar dan belum berkerut itu
berarti dia masih muda.
Penyelidikanku berlanjut saat sholat Isya. Saat aku berjalan
masuk ke Masjid, tercium aroma parfum laundry, itu berbeda sekali dengan satu
minggu yang lalu, saat aku masuk ke Masjid yang tercium adalah aroma minyak
kayu putih, dan benar dugaanku semakin kuat kalau dia adalah gadis muda.
Seusai shalat Isya aku mendengar suara di persimpangan jalan,
suara seorang ibu yang memberi salam perpisahan kepada gadis itu.
“Ayo Anisa main ke rumah Laila.” Kata ibu itu.
Anisa? Anisa siapa lagi
ini? Apa benar di Desaku sekarang yang namanya Anisa ada empat?
Malam-malam yang penuh dengan rasa penasaran digantikan dengan
pagi hari yang membawa segudang kenyataan. Pagi ini Akbar akan datang ke
rumahku untuk memberi tahu tentang Anisa yang dia maksud itu. Kali ini aku
benar-benar tertarik dengan informasi tentang Anisa.
Tak berapa lama, Akbar pun datang dengan motor pretelan yang
menjadi andalannya saat musim kampanye tiba. Dengan senyum leda-ledenya, dia
memberi salam kepada orangtuaku dan mencium tangan mereka, sungguh diluar
dugaan!
“Wa’alaikumsalam.” Jawab kedua orangtuaku.
“Tumben cium tangan segala, pasti lagi seneng ya?” Tanya ibuku
kepada Akbar.
“Iya Tante, aku lagi seneng nih. Pagi-pagi dah dapat senyum
manis dari Anisa.”
Mendengar Akbar menyebutkan nama Anisa, aku langsung keluar dari
sarangku dan menyeret Akbar ke ruang tamu.
“Mana kacang mete yang ada di mejamu kemarin?” Pertanyaan yang
konyol dari seorang tamu kepada tuan rumahnya. Bisa-bisanya nanya makanan,
dasar Akbar!
“Kemarin bukannya kamu yang menghabiskannya?” Jawabku.
“Kemarin cuma ambil satu genggam kali bukan satu toples!”
“Ayo cepet, ceritakan tentang Anisa Janah!” Kataku yang tak
mau berbasa-basi lagi.
“Nah, kemarin kamu kan tanya tentang rambut si Anisa masih
panjang atau enggak, sekarang aku jawab. Aku nggak tahu!” Kata Akbar dengan
gaya santainya yang meletakan kedua tangan diatas sofa.
“Maksudmu apa?”
“Bukannya tadi kamu ketemu sama Anisa, kenapa kamu nggak tahu
tentang rambutnya?”
“Jangan buat aku penasaran, katakan yang sejelas-jelasnya!” Ucapku dengan nada yang semakin meninggi.
“Slow aja bro,
jangan marah-marah kayak gitu.”
“Iya tadi aku ketemu sama Anisa, dan senyumnya itu hlo, masya
Allah buat aku melayang.”
“Akbar!” Gertakku.
“Hih, lagi bayangin senyumnya Anisa, e malah dikagetin!”
“Kamu terlalu berbelit-belit, cepet jelasin maksudmu tadi!”
Ucapku yang terlihat tidak sabaran menunggu penjelasan dari Akbar.
“Aku nggak tahu seberapa panjang rambutnya, karena dia
sekarang pakai kerudung.”
“Hello? Tadi pengen tahu tentang Anisa, giliran dah ku kasih
tahu e malah diem. Kamu lagi bayangin senyumnya Anisa ya, hayo ngaku!” Ucap
Akbar yang melihatku terdiam setelah mendengarkan penjelasan dari dia.
“Kamu salah orang kali Bar? Mungkin yang kamu lihat itu Anisa
Intan atau Anisa Sukma bukan Anisa Janah.” Kataku dengan nada lirih dan dengan
raut wajah yang terlihat bingung.
“Mungkin benar apa yang kamu katakan.” Kata Akbar yang kali
ini mengubah posisi duduknya, dan menatap ke arahku dengan tatapan yang tajam, sehingga
terlihat keseriusan di wajah Akbar.
“Jadi benar kan kalau kamu salah lihat?” Tanyaku dengan
membalas tatapn Akbar.
“Iya mungkin.”
“Dan mungkin juga Anisa Intan atau Anisa Sukma melakukan
operasi plastik sehingga mempunyai lesung pipi yang sama persis dengan Anisa
Janah.” Jawab Akbar yang masih menatapku.
“Kamu itu kok nggak percaya banget sama aku?”
“Itu benar-benar Anisa Janah!” Kata Akbar dengan tegas.
Jadi benar kalau yang
dilihat Akbar tadi adalah cewek centil itu? Sudah tiga tahun aku tak mendengar
kabar berita darinya, dan sekarang dia pulang dengan membawa perubahan yang
besar? Sungguh diluar dugaanku.
Selang beberapa jam, waktu sholat Dhuhur pun tiba. Kali ini
aku tak membawa si cungkring (sepeda ontelku) ke Masjid. Aku memilih berjalan
kaki agar bisa lebih lama memperhatikan rumah Anisa yang selalu ku lewati saat
berangkat dan pulang dari Masjid. Tetapi saat aku melintasi rumah Anisa,
rumahnya terlihat sepi dan alhasil akupun belum menemukan jawaban dari
pertanyaanku itu.
Ditengah perjalanan menuju Masjid, terdengar suara Adzan dari
Masjid Al-Iman yang menggugah lamunanku. Dengan langkah kaki yang lebih cepat
dari sebelumnya, aku langsung bergegas menuju Masjid. Sesampainya di sana,
lamunanku pun berlanjut, biasanya aku langsung mengambil air wudhu dan
melaksanakan sholat sunah rawatib, tapi kali ini aku termenung di dekat toilet.
Aku masih asik dengan rasa penasaranku yang seakan membludak.
“Yusuf, ayo ambil air wudhu dan masuk Masjid.” Kata pak Gugun,
tokoh agama di desaku.
“Iya Pak.” Jawabku refleks.
Aku pun langsung mengambil air wudhu, dan setelah itu aku
langsung menuju serambi Masjid dan berdiri tepat di pintu Masjid khusus ikhwan.
Kalau benar itu adalah
Anisa Janah, berarti pemilik mukena cantik itu adalah dia. Dan sebentar lagi
dia pasti muncul.
Aku akan menunggu dia di
depan pintu Masjid ini, aku harus memastikan apakah dia Anisa Janah atau bukan.
“Ayo masuk Le, ngapain berdiri di sini.” Kata pakde Rudi.
“Iya Pakde, bentar lagi masuk kok. Ini baru ngaca.” Jawabku
berbohong.
“Dasar anak muda jaman sekarang.” Kata pakde Rudi yang
langsung masuk ke Masjid.
Bersama dengan datangnya pakde Rudi, aroma parfum laundry pun
tercium sangat pekat. Benar sekali, aroma mukena yang digunakan gadis itu.
Dengan cepatnya kepala ku bergerak 90 derajat ke arah kanan dan terlihat
seorang gadis yang sudah berdiri tepat di depan pintu.
Sebelum dia masuk, dia menyempatkan untuk melihat ke arahku
dan senyumannya pun berkembang. Iya benar
itu Anisa Janah! Aku masih hafal dengan senyumannya! Itu benar-benar Anisa!
Setelah melemparkan senyumannya kepadaku, dengan langkah pelan
Anisa masuk ke Masjid, aku pun mengikuti langkah nya dengan posisi kepala yang
masih sama, hingga akhirnya ku kembalikan ke posisi semula setelah aku
bergabung dengan jama’ah ikhwan lainnya.
Seusai sholat Dhuhur, saat aku mengambil sandal melly ku, Anisa pun keluar dari Masjid
dan mengambil sandalnya juga. Sandalnya New
Era bro, beda harga dan level sama sandalku.
“Anisa Janah ya?” Sapaku.
“Iya, masih ingat sama aku ya Mas.” Jawab Anisa yang masih
sibuk melipat mukenahnya.
“Iya dong, adek kelas terpopuler di SMP masak aku lupa haha.”
“Ah, jangan dibahas lagi, aku malu. Itu jaman jahiliyah.” Kata
Anisa yang mulai melangkahkan kakinya menjauhi Masjid.
“Kamu kemana aja Nis, kok baru kelihatan?” Tanyaku yang kali
ini berjalan berdampingan dengan Anisa.
“Setelah lulus SMP, aku SMAnya di pondok. Dan Alhamdulillah
sekarang dah lulus.”
“Oh pantesan, sekarang berubah kayak gini. Hebat kamu!” Kataku
yang masih tak percaya jika wanita muslimah yang ada di sampingku adalah Anisa.
“Ini bukan apa-apa Mas, ini kan kewajiban. Aku aja yang baru
sadar.”
“Terus apa rencamu sekarang? Kuliah?” Tanyaku.
“Nggak Mas, bukan kuliah, tapi nikah.” Kata Anisa yang membuat
langkah kakiku terhenti.
“Kok berhenti? Ayo jalan lagi!”
“Secepat itukah? Kamu kan masih muda.”
“Bukan masalah muda atau tuanya seseorang, tapi masalah
kesiapan.”
“Di sana aku diajarkan banyak sekali ilmu agama, dan aku tak
mau setelah keluar dari sana, aku berubah menjadi Anisa yang dulu kala. Aku
ingin ada seorang imam yang membimbing langkahku.”
“Bagaimana dengan dirimu Mas?” Lagi-lagi ucapan Anisa
menghentikan langkah kakiku.
“Aku?”
“Em, Aku?” Aku pun gugup menjawab pertanyaan dari Anisa.
“A..ku be..lum siap untuk menikah?” Jawabku dengan
terbata-bata.
“Hehe, bukan itu pertanyaanku. Maksudku, apa kesibukanmu
sekarang? Kuliah? Lancar kan?” Anisa pun tertawa mendengar jawabanku.
Dengan menahan malu aku pun menceritakan kegiatanku sekarang,
hingga akhirnya kami sudah berada tepat di depan rumah Anisa. Anisa kemudian
masuk ke rumah, dan aku berjalan dengan cepat agar cepat sampai rumah.
Ah sial, kenapa aku bisa
seperti itu di depan Anisa? Kenapa aku tadi salah jawab pertanyaannya,
benar-benar memalukan. Dan bukannya aku membenci Anisa, tapi setelah melihat
Anisa yang sekarang entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat. Pesona Anisa
yang sekarang lebih dahsyat dari yang dulu kala.
Hari demi pun berlalu, seperti biasanya setiap hari aku selalu
bertemu dengan Anisa di depan pintu Masjid, tetapi bedanya seusai sholat
berjama’ah kami tak bertemu lagi, kadang aku yang lebih dulu keluar dari Masjid
atau sebaliknya.
Suatu hari, di waktu Ashar aku menunggu kedatangan pemilik
lesung pipi itu, tetapi dia tak kunjung datang. Aku pikir dia terlambat datang,
tetapi setelah aku sholat Ashar aku tak melihat sandal jepitnya, itu berarti
dia tak melaksanakan shalat Ashar berjama’ah.
“Kamu mencari Anisa ?” Tanya pak Gugun.
“Dia nggak bakal datang, baru ada tamu.” Katanya lagi yang
kemudian pergi.
O, syukurlah. Dia nggak
sholat di Masjid karena baru datang bulan bukan karena dia sakit, sungguh aku
khawatir dengan dia.
Setelah mendengar berita tentang Anisa dengan semangatnya aku
pulang dengan mengayuh sepeda ontelku. Tak lupa saat melewati rumah Anisa ku
sempatkan untuk menoleh ke arah rumahnya. Terlihat dua mobil terparkir di
halamannya. Kondisi rumahnya pun ramai, tak seperti biasanya yang selalu sepi.
Ada acara apa di rumah
Anisa? Kata pak Gugun, Anisa nggak ke Masjid karena ada tamu. Maksud dari kata
tamu di sini apa sih? Tamu dalam artian sebenaranya atau kiasan?
“Dek sebentar mau tanya, di rumah mbak Anisa ada acara apa
ya?” Tanyaku setelah turun dari sepeda ontel.
“Mbak Anisa di lamar Mas.” Jawab adek kecil itu, yang
kira-kira berumur 10 tahun.
Langit menjadi gelap
berkelabu, menyelimuti hatiku. Merubah seluruh hidupku. Megapa semua jadi
begini perpisahan yang terjadi, diantara kita berdua. Setelah menjawab pertanyaanku, hp adek itu berdering, dan nada
deringnya itu pas banget sama keadaanku sekarang.
Dengan sisa semangat yang ku miliki, ku lanjutkan perjalananku.
Kali ini aku merasakan betapa beratnya mengayuh si cungkring. Tanganku bergetar
hebat, kaki ku kelu dan jantungku berdetak cepat sekali, tanpa ku suruh mataku
pun berkaca-kaca hingga hampir
meneteskan air mata.
“Njenggreng!” Suara pintu kamarku yang ku tutup dengan keras.
“Ada apa Suf? Pulang-pulang kok langsung ke kamar?” Tanya
Ibuku yang tak ku tanggapi.
Ada apa dengan aku ini,
aku terluka saat mengetahui bahwa Anisa dilamar. Dia pasti sekarang lagi
bahagia, karena cita-cita menikah muda bakal kesampaian. Oh ya Allah, kenapa
aku belum punya keberanian untuk melaksanakan sunnah RasulMu itu?
Apa yang harus aku lakukan
ya Allah, aku sangat terluka mendengar berita itu. Ya Allah bantulah hambaMu
ini, bantulah!. Air mataku pun tak bisa
kubendung lagi, tak lupa ku ambil tasbih dan ku baca istighfar berkali-kali
karena hanya Allah lah yang mampu mendamaikan hatiku yang sekarang sedang
terluka.
Adzan Maghrib pun terdengar samar-samar dari kamarku, dan baru
ku sadari bahwa aku sudah menghabiskan waktu soreku yang berharga hanya di kamar.
Dengan cepat, aku beranjak dari kamarku dan berjalan menuju
masjid, yang pastinya setelah aku membasuh mukaku yang lengket karena terkena
air mata. Sesampainya di Masjid, aku masih saja menunggu Anisa di depan pintu
Masjid Al-Iman, entah apa yang aku lakukan ini benar atau salah, rasa-rasanya
aku belum bisa menerima kenyataan bahwa sekarang Anisa sudah menjadi milik
orang, dan sebentar lagi dia akan menikah, kenapa aku masih menunggunya di
sini?
Nis, apakah kamu akan
datang untuk melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah? Aku menunggumu di sini
Nis?
Nis, kamu beneran nggak
datang? Ini sudah Iqomah. Kamu lagi ngapain Nis? Kamu lagi seneng ya Nis,
sampai lupa sholat berjama’ah di Masjid? Nis, aku masuk ke masjid duluan ya.
Kalau bisa kamu nyusul, telat nggak papa Nis, yang penting berjama’ah. Lagi-lagi aku mengandalkan kemampuanku berbicara dalam hati
untuk meluapkan emosi yang sedang ku rasakan.
Tiga rokaatpun telah terlewati, dengan lesunya aku melangkah
meninggalkan Masjid.
“Mas Yusuf!” Sapa seseorang yang membuatku menoleh kebelakang.
“Anisa!” Balasku.
“Hloh kamu tadi sholat jama’ah?”
“Iya, tapi telat satu rokaat.”
“Oh iya, maklum lah ya. Kan lagi sibuk beres-beres rumah.” Sindirku.
“Siapa yang melamarmu Nis?” Tanyaku penasaran.
“Kakak kelas waktu di pondok Mas.”
“Oh Syukurlah, wanita baik dapat jodoh yang baik juga.” Kataku
dengan tersenyum walaupun sebenarnya sakit yang kurasakan.
“Kalau Mas Yusuf orangnya baik nggak?” Tanya Anisa yang
membuat lidahku kelu.
“Ya...ba...ik lah.” Jawabku.
“Kalau begitu Mas Yusuf dapat Wanita yang baik juga.”
“Aamiin.” Ucapku.
“Oh ya, hari ini aku belum menjawab lamaran itu.”
“Kenapa belum dijawab?” Tanyaku kepo.
“Waktunya mepet, dah masuk waktu sholat Maghrib jadi aku
mengatakan akan menjawab lamaranya besok seusai Dhuhur.”
“Oh.” Ucapku.
“Jadi kamu masih punya kesempatan esok hari. Jika kau ingin
menjadi imamku, kutunggu lamaranmu besok!” Kata Anisa dengan mempercepat
langkah kakinya sedangkan aku seakan tak bisa berjalan mendengar ucapan dari
Anisa.
Aku tak mampu mengejar langkah kakinya, aku hanya bisa melihat
Anisa yang lama kelamaan hilang ditelan kegelapan. Aku masih tercengang, kakiku
lagi-lagi bergetar hebat. Aku tak mengerti apa yang diucapkan Anisa, aku takut
menafsirkannya.
“Ayah, Ibu!” Sapaku sesampainya dirumah.
“Ada apa Suf, kenapa nada suaramu seperti itu?”
“Kamu dikejar setan?” Tanya Ayahku.
“Ayah, Ibu besok antarkan aku ke rumah Anisa.” Kataku dengan
nada yang terengah-engah.
“Bukannya kamu dah tahu rumahnya Anisa, kenapa mesti
dianterin?” Tanya ibu bingung.
“Tenangkan dirimu dulu Suf, duduk dulu!” Saran ayah.
“Gini hlo Yah, Bu, aku berniat melamar Anisa, jadi ku mohon
Ayah dan Ibu berkenan membantuku untuk melamar dia.” Kataku setelah aku mulai
tenang.
“Apa?” Kata ayah kaget.
“Apa kamu belum tahu kalau tadi sore Anisa sudah dilamar
orang? Tidak baik jika melamar wanita yang sudah dilamar orang lain.” Kata ibu.
“Tapi Bu, Anisa belum menjawab lamarannya, dan dia sendiri yang
menyuruhku melamar dia. Sepertinya Anisa punya perasaan yang sama sepertiku.”
“Apa Ayah dan Ibu tega melihatku menghadiri pernikahan Anisa
dengan hati yang terluka? Bisa-bisa aku melakukan tindakan seperti yang
dilakukan Risna, memeluk mantan kekasihnya di hadapan orang banyak. Apa kalian
tega?”
“Oke, besok kita lamarkan Anisa untuk Yusuf.” Kata Ayahku
dengan tegas.
Keesokan harinya seusai sholat Dhuhur, aku ditemani dengan
kedua orang tuaku datang berkunjung ke rumah Anisa. Terlihat banyak sekali
kerabat dari Anisa yang datang dan juga laki-laki yang melamar dia pastinya.
Dari penampilannya, laki-laki itu terlihat berpendidikan dan beragama.
“Bapak Diki dan Ibu Wulan, kehadiran kami di sini yang pertama
silaturahim, yang kedua kami sebagai orang tua dari Yusuf membawa niat yang
baik dan suci yaitu ingin mempererat hubungan kekeluargaan kita dengan
menikahkan Anisa dan Yusuf. Apakah Bapak dan Ibu berkenan merestui Anisa untuk
menjadi istri dari Yusuf.” Kata Ayahku.
“Oh, jadi ini alasan Anisa menunda menjawab lamaran dari
Taufik kemarin.” Kata bapak Diki.
“Kami sebagai orang tua dari Anisa menginginkan putrinya
menikah dengan laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Melihat keseharian
dari Yusuf kami sangat yakin Yusuf mampu membimbing Anisa ke jalanNya, dan juga
melihat latar pendidikan Taufik yang juga lulusan dari pondok, kami juga tak
ragu menyerahkan Anisa ke Taufik.”
“Sekarang tinggal keputusan dari Anisa saja, karena yang akan
menjalankan bahtera rumah tangga adalah dia. Bagaimana Nak, kamu memilih siapa?”
Tanya Bapak Diki yang membuatku tegang.
“Sebelumnya saya minta maaf, apabila ada yang tersakiti dalam
keputusanku ini. Aku harap kalian bisa menerima keputusanku ini dengan lapang
dada.”
“Untuk Kak Taufik, saat aku di pondok aku sering mendengarkan
santri membicarakan tentang ketaatanmu dan itu membuatku kagum kepadamu. Dan Mas
Yusuf, aku juga menaruh kagum kepadamu karena kamu benar-benar menjaga sholat
berjama’ah di Masjid.”
“Dan itulah yang menjadi pertimbanganku.”
“Kak Taufik, walaupun kamu terkenal taat, tapi maaf aku pernah
melihatmu mengabaikan suara Adzan dan aku juga pernah melihatmu di hari Jumat,
kamu datang ke Masjid saat khutbah pertama sudah dimulai, padahal kamu sendiri
tahu pahala seseorang yang datang sebelum khutbah pertama dimulai.”
“Dan Mas Yusuf, aku
yakin jika seorang laki-laki mampu menjaga sholat berjama’ahnya maka dia akan
mampu menjaga keutuhan rumah tangganya.”
“Bismillahirahmanirahim, aku memilih mas Yusuf untuk menjadi
pasangan hidupku.” Kata Anisa yang membuatku bisa tersenyum lega.
“Alhamdulillah, Anisa sudah memutuskannya. Kami mohon dari
pihak keluarga Taufik bisa menerima keputusan dari Anisa dengan lapang dada.” Tambah
bapak Diki.
“Iya, Pak. Pemikiran Anisa sungguh luar biasa, kami bisa
menerimanya.” Kata Taufik yang tidak terlihat bersedih dengan keputusan Anisa.
“Jadi kapan akad nikahnya dilangsungkan?” Tanya ayahku.
“Kalau bisa secepatnya.”
“Yusuf selalu menunggu Anisa di depan pintu Masjid, kalau
diteruskan itu bisa menimbulkan fitnah di masyarakat.” Tambah pak Gugun, yang
saat itu memang diundang untuk hadir.
“Oh, jadi Yusuf kalau berdiri di depan pintu Masjid itu nunggu
Anisa ya?”
“Aku mengiranya dia sedang bercermin, oh ternyata Yusuf
diam-diam memperhatikan Anisa.” Tambah pakde Rudi.
Semuanya pun tertawa mendengar cerita dari pak Gugun dan pakde
Rudi tak terkecuali aku dan Anisa. Aku sudah bisa tertawa dengan terbahak-bahak
setelah semalaman aku tegang dan tak bisa tidur karena memikirkan hari ini.
“Terimakasih Nis, kamu mempercayaiku untuk menjadi imammu.”
Kataku seusai acara lamaran.
“Terimakasih juga sudah menungguku di depan pintu Masjid, apakah
kamu akan menungguku lagi di sana?” Tanyanya dengan tersenyum.
“Nggak, aku nggak bakal nunggu lagi di sana?” Kataku.
“Hloh kenapa?” Tanyanya bingung.
“Aku akan menunggumu di depan pintu rumah kita. Karena
sebentar lagi kita akan membina keluarga yang insya Allah sakinah mawadah dan
warahmah.”
“Aamiin.”
Sekian