Senin, 22 September 2014

Mie Instan Vs Rokok

Mie Instan Vs Rokok

“Sudah ku bilang kan, kurangi rokokmu!!”
“Terus kamu sendiri bagaimana? Apa sudah mengurangi makan cacing kriting itu!”
“Hei, jangan samakan makanan favoritku dengan hewan menjijikan itu!”
Suasana pun menjadi panas, tak ada yang mau mengalah satu sama lain. Pacarku adalah perokok berat dan aku berusaha menghentikan kebiasaan merokok pacarku itu. Tak ada salahnya kan, itu demi kesehatan dia, tapi apa balasannya? Dia malah mengeluarkan kata kasar padaku, sepertinya kecintaan dia terhadap benda tabung yang penuh dengan racun itu lebih besar dari cintanya padaku.
“Mie instan juga bahaya untuk kesehatan, jadi kamu harus menguranginya juga.” Kata Soni yang berusaha mendinginkan suasana.
“Lebih bahaya rokok!!”
“Kamu nggak lihat gambar di bungkus rokok itu?”
“Merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, kanker mulut dan tenggorokan. Kamu nggak lihat? Atau sengaja mengabaikannya?” Kataku yang masih saja terpancing emosi.
“Mie instan juga menyebabkan kanker, dan seharusnya di bungkus mie instan juga harus di munculkan gambar mengerikan itu, bukan hanya di bungkus rokok!”
“Oke, cukup! Aku sudah nggak tahan lagi dengan hubungan kita, selalu saja berdebat dengan topik yang sama dan tak ada satu pun yang mau mengalah, lebih baik kita udahan aja, aku capek.” Kataku.
“Oke kalau itu maumu!” Kata Soni yang kemudian pergi meninggalkan aku.
What? Dia pergi begitu saja setelah membuat kekacauan seperti ini? Seharusnya dia berusa meredam amarahku dan mau mengalah demi aku dan hubungan kita, tapi ternyata dia lebih memilih rokok daripada aku, that’s so pity.
Ok fine, mulai hari ini aku menyandang stasus jomblo. Mungkin itu lebih baik, daripada tiap hari aku selalu khawatir tentang tensi darahku yang sepertinya naik setelah aku bertengkar dengan Soni. Tapi, yang membuat aku tak nyaman adalah tentang intensitas pertemuanku dengan Soni yang sering, aku dan Soni adalah rekan kerja sebelum akhirnya benih-benih cinta itu pun tumbuh. Semua rekan kerjaku bahkan bosku mendukung hubungan kita, dan mengharapkan hubungan kita sampai kepelaminan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, hubungan kita kandas di tengah jalan, dan aku harus berakting agar pertengkaran ini tidak terdengar oleh rekan-rekan kerjaku lainnya.
“Makan siang pakai apa kamu Monic?” Tanya Citra disaat jam makan siang.
“Sama mie goreng sambal ungu dong.”
“Waow, variant  baru ya itu?” Tanya Isna.
“Yups betul. Beruntungnya aku bisa jadi taster produk mie instan terbaru.”
“Gitu aja dibanggain.” Kata Soni yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku.
“Nih, lihat bekal makan siang ku.” Soni pun menunjukan bekal makan siangnya yang hampir memenuhi 4 sehat 5 sempurna, minumnya pun jus yang dicampur susu, dia benar-benar memperhatikan gizi di makanannya.
“Nggak kayak kamu, mie instan melulu.”
“Nggak bisa masak, atau nggak punya uang lebih buat beli yang lebih bergizi?” Kata Soni yang lagi-lagi memancing emosiku. Karena sekarang aku berada di kantor ku coba untuk mengendalikan emosiku, dan berpura-pura bersikap manis di depan Soni.
“Bisa jadi seperti itu.” Kataku yang tak mau menanggapi Soni.
Soni pun mengambil bekal makan siangku dan membuangnya ke tong sampah, dan dia menyodorkan bekal makan siangnya sebagai ganti makan siangku yang sudah ia anggap sampah itu.
“Heh, maksud kamu apa sih? Itu makanan bukan sampah!” Aku pun berdiri dan melotot kearah Soni. Kali ini aku benar-benar tak bisa mengendalikan emosiku, dan tak ku pedulikan teman-temanku yang terlihat bingung melihat kita.
“Kayak gini yang namanya makanan? Yang hanya membuat kamu kenyang tapi tak menyehatkan?” Soni pun meladeni omonganku.
“Hei, kamu apa-apaan sih?” Kata Soni saat tanganku menuju ke kantung bajunya.
“Dan ini yang namanya penghilang setres?” Aku pun mengambil satu bungkus rokok yang ada dikantungnya dan langsung ku injak dengan sepatu high heel ku.
“Bahkan menurutku inilah penyebab setres, yang berujung kematian!”
“Sudah hentikan!” Teriak Isna.
“Ayo kita cari tempat makan lain!” Isna dan Citra pun membawaku pergi sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Yah, beginilah resiko punya pacar satu kerjaan. Enaknya kalau lagi kasmaran bisa jadi penyemangat, kalau lagi musuhan kayak gini dah pasti bikin males dan pengen cepat-cepat pulang.
Akhirnya jam pun menunjukan pukul 15.00, dan aku sudah berada di halte bus untuk menunggu jemputan masal itu datang. Biasanya aku memilih bus yang masih terlihat longgar, tapi kali ini karena mood sedang terganggu, aku naik bus pertama yang lewat di depanku dengan alasan agar cepat sampai rumah.
Saat aku menaiki bus, terlihat banyak tempat duduk yang sudah terisi tapi ada satu bangku yang masih kosong di pojok belakang. Padahal aku naik dengan Citra, itu berarti salah satu diantara kita harus berdiri sampai tiba di lokasi tujuan. Aku dan Citra menuju ke bagian belakang bus, dan betapa terkejutnya aku saat mengetahui penumpang yang duduk di samping kursi kosong itu adalah Soni. Citra pun memilih berdiri dan mempersilahkan aku duduk. Karena terpaksa aku pun duduk di samping Soni.
Suasana kikuk pun tercipta. Aku berkali-kali menelan ludah  dan membasahi bibir dan Soni terlihat menikmati pemandangan luar dengan korek api yang masih ditangannya. Beberapa kali pengamen jalanan masuk untuk sekedar mendendangkan lagu tempo dulu, tapi itu tak membuat keheningan diantara kami sirna, ironi sekali memang jika dibandingkan dengan suasana di bus saat ini.
Saat bus berhenti tepat di depan SMA Nuansa Indah, aku dan Citra pun turun. Tanpa basa-basi aku beranjak dari kursi itu dan meninggalkan Soni sendiri.
“Cie, yang duduk berdua,” ledek Citra ketika kami sudah turun dari bus.
“Apaan sih,” kataku yang kemudian berjalan mendului Citra.
“Tadi kamu lihat Soni nggak? Maksudku sebelum kamu duduk di sampingnya?” Citra pun mengejarku dan berjalan di sampingku.
“Aku lihat dia ngrokok, dan pas kamu nongol tiba-tiba dia mematikan putung rokoknya.”
“Mungkin dia takut sama aku,” kataku yang masih berjalan tanpa memperhatikan Citra.
“Bukan itu Monic!!! Dia masih peduli sama kamu, dia nggak ingin kamu jadi perokok pasif.”
“Coba kalau yang duduk itu aku, sudah pasti habis satu bungkus rokok.”
“Oh.” Kataku yang kemudian masuk ke halaman rumah dan meninggalkan Citra sendiri di jalan.
“Ihih Monic, diajak bicara  malah masuk!” Teriak Citra.
Pagi harinya, dengan sisa semangat yang ku punya akupun menuju ke kantor. Sesampainya di kantor, ternyata belum ada manusia sama sekali. Yeah, kali ini aku memecahkan rekor, berangkat paling awal. Biasanya aku paling terakhir tiba di kantor, yah itu karena faktor transportasi. Kadang bus datang tepat waktu kadang juga molor, tapi banyak molornya, mungkin ngejar target. Jadi tiap ada orang yang berdiri di jalan selalu saja di samperin walau kadang ditolak karena bukan bus jurusannya, kasian.
Saat berada di dalam kantor perhatianku pun tercuri saat melihat koran yang berada di meja kerja si bos. Terlihat gambar mie instan yang ku makan kemarin, karena penasaran aku pun meminjamnya dan membaca topic yang jadi sorotan utama itu. Dan betapa kagetnya aku, membaca berita bahwa BPOM mengeluarkan statemen bahwa mie instan dengan rasa cabe ungu tidak layak dikonsumsi manusia, karena ada kadar zat kimia dalam jumlah yang melampaui batas keamanan.
“Udah baca berita tadi pagi belum Mon?” Tanya Isna di saat jam istirahat yang kubalas anggukan kepala.
“Kamu harusnya minta maaf ke Soni, ada baiknya juga kan kemarin dia buang makanan mu?” Sahut Citra.
“Betul itu yang dikatakan Citra.”
“Cie, yang diomongin nongol.” Kata Citra yang melihat Soni sudah berada di pinggir meja makan kami.
Tiba-tiba soni melihat bekal makan siangku, tak ada kata yang keluar dari mulutnya ketika melihat laukku adalah telur dadar. Dia pun memberiku satu botol jus jambu dan kemudian pergi begitu saja.
Dia selalu saja memperhatikan aku, apa yang aku makan dan minum tak luput dari perhatiaanya. Merasa bersalah juga telah membetak dia kemarin, dan telah lancang mengambil rokok yang ada di sakunya. Tapi itu karena aku care sama dia, nggak mau dia sakit karena efek buruk dari rokok, tapi dia justru tak memperhatikan kesehatannya, malah aku yang ia perhatikan, argh....
Setelah ku habiskan bekal makan siangku, aku pun pergi dengan membawa jus jambu yang baru kuminum sedikit. Aku pun mencari Soni di warung makan depan kantor. Dan betul saja dia berada di sana, yang membuatku semakin bersalah adalah ketika melihat minuman yang ia minum adalah es teh, sedangkan aku minum jus jambu kesukaannya.
“Ini.” Kataku yang memberikan botol jus jambu.
“Aku sudah meminumnya, sekarang aku berikan lagi ke kamu.” Soni pun menatapku dengan tatapan seperti orang bingung.
“Kamu juga harus meminumnya, karena ini baik untuk kesehatannmu.” Jelasku yang masih terlihat kaku saat berbicara dengan Soni.
“Oh iya, maaf soal yang kemarin. Ini sebagai gantinya.” Kataku yang memberi uang kertas berwarna hijau.
“Itu sebagai ganti rokok yang kuinjak kemarin, tapi maaf aku nggak bisa membelikan kamu dalam bentuk rokok. Terserah kamu, mau buat beli rokok lagi atau tidak, aku tak peduli.” Kataku yang kemudian pergi.
“Aku akan menggunakan uang itu untuk membayar makan siangku.” Kata Soni yang sempat menghentikan langkahku.
“Aku sedang belajar untuk tidak merokok lagi.” Kata Soni yang membuat bibirku melebar.
Setelah jam makan siang berakhir, aku pun masuk ke ruang kerjaku dengan pikiran yang masih semrawut. Apa maksud Soni tadi, apakah dia benar-benar mencoba untuk berhenti merokok atau hanya sekedar omong kosong doang. Kalau memang benar, apa yang aku berikan kepadanya, bahkan aku sendiri belum mencoba mengurangi makan mie instan, hanya saja tadi pagi karena persediaan satu kerdus mie ku habis makanya aku bawa bekal telur dadar, ah egoisnya aku. Mencoba memperhatikan kesehatan orang, kesehatan diriku sendiri tak sempat ku perhatikan. Memang benar mie instan jika dikonsumsi terlalu sering berakibat negatif untuk kesehatan, dan aku mencoba tak mempedulikannya untuk menjadi pemenang dalam perdebatan yang terjadi kemarin. Benar-benar membuatku frustasi saja ni masalah. Hufth.
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku mengirim pesan kepada Soni. Aku ingin membicarakan masalah ini dengan baik-baik agar tak ada rasa canggung atau dendam ketika kita bersama, apalagi kita satu kerjaan rasanya bakal nggak nyaman jika harus begini terus.
Soni pun mengiyakan tawaranku untuk berbicara sepulang kerja, dan aku memilih lokasi halte bus untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ada di hati. Tempat yang sama sekali tak romantis untuk memperbaiki sebuah hubungan yang telah hancur karena sebuah keegoisan, tapi justru tempat itu yang paling pas karena di sana lah tempat kita dipertemukan dan akhirnya menjalin hubungan yang serius, dan mungkin di tempat sana jugalah hubungan kami akan kembali kesemula atau tidak sama sekali, aku pun masih bingung mengenai hal ini.
Setelah jam kantor berakhir, aku bergegas menuju halte dekat kantor. Dan terlihat Soni sudah duduk tangan dilipat di dadanya.
“Hai.” Sapaku.
“Ayuk Neng naik!” Ajak seorang kondektur bus yang melihatku baru tiba di halte.
“Tidak Bang, makasih!” Tolakku yang kemudian duduk di samping Soni.
“Bagaimana kabarmu?” Soni pun bertanya tentang kabarku, seperti orang yang baru bertemu setelah sekian lama berpisah.
“Baik, dan kamu?” Jawabku.
 “Hahaha terlihat aneh dan canggung ya.” Kata Soni dengan tertawa getir.
“Em.m aku minta maaf atas keegoisanku selama ini.” Aku pun memulai topik pembicaraan yang sudah aku persiapkan sejak tadi siang.
“Aku tahu kita saling care satu sama lain. Aku melarangmu merokok, dan kamu melarangku makan mie instan. Semua itu ada manfaatnya untuk kesehatan, tapi karena keegoisan masing-masing rasa-rasanya hal itu menjadi boomerang antara kita.”
“Aku pun begitu, sebagai seorang laki-laki tak selayaknya aku menghindar dari masalah. Seharusnya aku mendengar kata-katamu untuk berhenti merokok, karena batuk yang aku alami ini karena kebiasaan burukku itu.” Kata Soni.
“Apa? Kamu sakit Son? Sudah minum obat dari dokter belum tadi siang?” Kataku yang terlihat panik saat mengetahui bahwa batuk yang Soni alami sejak dulu karena efek dari rokok.
“Terimakasih. Terimakasih kamu masih perhatian sama aku.” Kata Soni dengan menatap mataku.
“Seharusnya aku yang bilang makasih ma kamu.” Aku pun membalas tatapan mata Soni.
“Tapi, sebaiknya kita sendiri dulu saja.”
“Sebelum kita mencintai orang lain, kita harus mencoba mencintai diri kita sendiri dulu. Memang kelihatannya mudah, tapi sebenarnya itu sangat sulit apalagi itu dilakukan karena paksaan dari pihak lain.”
“Aku harus mencoba mengurangi mie instan dan kamu harus mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan merokokmu itu dengan kesadaran diri bukan karenaku atau karenamu.” Jelasku.
“Kamu juga harus menghentikan kebiasaan makan mie instan jangan cuma mengurangi!” Kata Soni yang membuat aku tercengang.
“Hey! Kalau nggak ada waktu buat masak, andalanku cuma mie instan.”
“Aku yang akan membawakan bekal untukmu. Aku akan membawakan nasi yang lengkap dengan sayur dan lauknya juga jus jambu atau buah lain yang harganya murah.” Kata Soni.
“Kok yang murah sih?”
“Lagi krisis moneter ini. Lagian gajiku lebih sedikit dari pada gajimu, harusnya kamu yang ngasih jus ke aku!”
“Hey! Mana sempat aku buat jus, kalau kamu nggak ikhlas buatin jus, nggak usah buatin aja!” Kataku kesal.
“Gitu aja marah.”
“Senyum dikit dong.”
“Tenang aja, aku ikhlas kok buatin jus, jus spesial untuk mu.”
“Hehehe makasih. Tapi nggak papa kan kalau kita sendiri dulu.” Tanyaku yang memastikan status hubungan kami.
“Iya nggak papa, kita memang harus sendiri dulu, saling intropeksi dan bersikap lebih dewasa lagi.”
“Ship.”

***



3 komentar:

Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :