Sabtu, 23 Februari 2019

Ketika Aku Mengatakan ‘Iya’


Ketika Aku Mengatakan ‘Iya’

... lanjutan ke-2

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk berpikir, karena memang jika aku belum memutuskan akan mengganggu ketenangan kedua belah pihak, khususnya ketenanganku.
Terbangun di malam hari karena lapar adalah hal yang sangat jarang ku alami, tetapi malam itu aku terbangun, ingin rasanya ku pejamkan lagi mataku, tetapi gelisah tak mau pergi, semakin ku mencoba untuk tidur semakin gelisah itu menjadi-jadi.
Ku angkat badanku yang sudah tenggelam dalam lautan kapuk, kubasuh mukaku dengan air wudhu, ku bersimpuh dihadapanNya, mengadukan isi hati yang berkecambuk.
Ya Rabb, apa yang harus aku lakukan, inikah jawaban atas segala doaku dan buah dari kesabaranku selama ini?
Tak hanya rohani yang ku isi, aku pun mencoba membuka almari, ku cari sesuatu yang bisa mengganjal perut sampai besok pagi. Ku temukan secuil singkong yang terasa roti karena sangat berarti.
Pagi harinya, aku memutuskan untuk memberikan kontak dia ke murobbi, dan juga biodata diri yang sebenarnya sudah aku kirimkan sejak dulu, ya sedikit aku revisi tentang kriteria yang aku idamkan.
Perasaanku sedikit lebih tenang, karena pikirku semua akan berjalan lancar melalui perantara, aku tinggal menjalankan perintah dari murobi tanpa harus bekerja ekstra. Tetapi 2 hari setelah itu, ketenanganku diusik lagi.
Saat itu malam Ahad, dirumah ada acara pengajian remaja. Rasanya deg-degan menunggu adek-adek datang, karena memang baru pertama kali itu setelah sekian tahun tidak memboyong pengajian malam Ahad di rumah. Ketika aku menawarkan untuk mengaji di rumahku, penasehat Permabun pun juga menanyakan dalam rangka apa besok itu. Dengan polosnya aku menjawab, dalam rangka akhir tahun karena saat itu hilal jodoh belum terlihat.
Menunggu adek-adek datang saja rasanya deg-degan kayak gini, apa lagi menunggu dia datang bawa orang tua.
Belum selesai ku mengatur emosi, aku mendapat pesan dari mas Raka, yang isinya mas Wahyu menanyakan kelanjutan dari niat baiknya. Aku pun terheran, bukannya sudah dihubungi oleh murobi, kenapa masih tanya ke aku lagi. Ku kira dia sudah membaca biodataku dan dalam 2 hari ini dia mempertimbangkan apakah ingin melanjutkan proses apa tidak, ternyata sama sekali dia belum dihubungi perantara dikarenakan miss komunikasi.
Kontak dari mas Wahyu aku beri nama ‘Saudara mas Raka’ dan dalam beberapa hari aku sembunyikan dari pembaruan statusku. Karena pernah aku membuat status, kulihat siapa yang melihat statusku, ada nama dia dan langsung badan terasa lemas, malu dan takut rasanya saat itu.
Karena kontak nama yang tidak ada nama ‘Wahyu’, murobi mengira kontak yang aku kirim adalah perantara dari pihak laki-laki (mas Raka). Jadi beliau belum menghubungi mas Wahyu dan mengirimkan biodataku.
Aku pun memutuskan untuk mengirim biodata melalui mas Raka, sebelum itu seperti biasa aku pun meminta pendapat dari sahabat sholihahku, agar aku tidak salah langkah tentang apakah menikah harus dengan seseorang yang se-kufu atau setara dalam hal latar belakang keluarga, pendidikan dan agama. Karena jujur yang membuatku meminta waktu untuk berpikir adalah tentang syarat se-kufu.
“Ya, emang ada yang mensyaratkan seperti itu, tetapi menurutku fine-fine aja kalau memang keduanya mantab walaupun tidak setara. Tetapi memang bebannya lebih banyak.”
Jawab beliau yang dilanjutkan dengan penjelasan melalui WA. Bahwa dahulu kala di arab ada tradisi menikah harus sederajat dalam hal suku kemudian turun QS. Al-Ahzab 36 yang artinya
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” 1)
1)menurut Ath-Thabrai, yakni apabila Allah Swt telah menetapkan keputusan terhadap mereka, maka tidak pantas bagi seorang mukmin untuk mencari pilihan lain, selain apa yang telah diputuskan itu.
Atas pencerahan tersebut sedikit banyak membuatku berani mengatakan ‘iya’. Sebenarnya sebelum ini pun, aku banyak mencari pendapat tentang kasus yang sedang saya alami, dan mereka semua mengatakan untuk maju, karena hal tersebut bukanlah masalah yang besar, asalkan agama dia baik kenapa tidak?
Seusai pengajian, kurang lebih pukul 23.00 Wib, ku buka notebook dan ku perbaiki cv ku. Setelah ku rasa cukup ku pindah melalui Bluetooth dan ku kirimkan ke mas Raka, dengan syarat jangan di buka langsung forward ke yang bersangkutan saja.
Tak terasa sudah tengah malam, ku coba untuk memejamkan mata yang sekarang sering kali tak mau dipejamkan. Baru satu jam bisa hanyut dalam kegelapan, suara klakson mobil membangunkanku, ya kakakku datang dari perantauan. Melepas rindu dengan bapak dan ibu.
Mau tak mau aku harus bangun dan menyambut mereka, kakakku dengan istri dan anak perempuannya. Kami pun mengobrol hingga dini hari, dan pagi harinya kami melakukan perjalanan ke Candi Borobudur untuk menjemput kedua anak kembar mereka yang sedang melakukan tour ke Gontor.
Harapanku, segala kegelisahanku hilang ketika melakukan piknik yang serba dadakan itu. Tapi masih saja, jantung ini dibuat berdecak lebih cepat ketika mas Raka memberi tahu bahwa biodata mas Wahyu sudah ada ditangannya. Itu artinya dia setuju dengan segala karakter positif dan negatif yang ada pada diriku dan ingin melanjutkan proses ta’aruf yang insya Allah full barokah.
“Dikirimnya nanti aja ya Mas, aku lagi liburan ini. Biar nggak panik,” jawabku ke mas Raka.
“Halah, tak kasih sekarang saja. Terserah dirimu mau baca kapan,” balas mas Raka disertai dengan biodata mas Wahyu.
Bersamaan dengan dikirimnya biodata mas Wahyu, temanku juga tiba-tiba mengirimkan screen shot rias syar’i, kata dia ‘siapa tahu lagi membutuhkan San’.
Sungguh membuatku berpikir, apakah ini pertanda baik atau hanya kebetulan, tapi di dunia ini tidak ada kebetulan, semua sudah digariskan Sang Pencipta yang pasti selalu ada hikmah di dalamnya.
Sepulang kami dari Candi Borobudur, ku ajak kakakku dan istrinya untuk berdiskusi di dalam mobil, tentang laki-laki itu.
“Dia kerjanya di luar Klaten,” kataku yang mengungkapkan alasan lain yang membuatku masih ragu.
Aku adalah anak terakhir, kedua  kakakku tinggal di Bekasi, itulah yang mengganjal dalam prosesku selain tentang se-kufu yang aku bahas tadi. Jika aku mengatakan ‘iya’ berarti aku menerima dia dengan segala konsekuensinya termasuk meninggalkan kedua orang tuaku dirumah.
“Ya nggak papa, kalau memang jodohmu dia,”
“perempuan itu ikut suaminya,” saran kakakku.
“Bagaimana tentang bapak dan ibu?” Tanyaku.
“Tenang, insya Allah nanti aku dan Rahmat bergantian pulang ke Klaten untuk mengunjungi mereka,”
“Kalau perlu, saya resign bangun usaha di Klaten,” tambah kakakku meyakinkanku.
“Ya kalau mau resign dipikir-pikir dulu lah Yah, usaha apa yang cocok di sini, jangan samakan dengan di Bekasi,” sahut istrinya.
“Besok juga bakalan ada rejeki,” kata kakakku.
“Teteh dulu nikah umur berapa? Udah bisa masak belum?” Tanyaku kepada kakak ipar.
“Teteh usia 19 tahun, mas Yanto usia 25 tahun kayaknya,”
“belum Nduk, masakan yang pertama kali Teteh bisa itu kolak, karena tinggal cemplung,”
“nggak papa belum bisa masak, besok belajar bareng kayak kita dulu ya Yah,” kata Teteh Kartika, kakak Iparku.
“Iya, yang penting agama dia baik, dari keluarga baik-baik. Di ‘iyain’ aja kalau kamu bilang ‘nggak’ emang mau dia sama yang lain?” Tambah kakakku.
“Ya enggak lah, dulu pernah simpati sama dia, sekarang ada kesempatan masak enggak diambil,” jawabku.
 “Berarti lanjut ini?” Tanyaku memastikan.
“Ya terserah kamu, pilih lanjut apa dia lanjut sama yang lain.”

*To be continue*

Sabtu, 16 Februari 2019

Menjemputnya dengan Istighfar


Menjemputnya dengan Istighfar
Barang siapa memperbanyak istighfar, niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Ahmad)

            Mengenai the power of istighfar, ingatanku selalu tertuju pada sebuah kisah tentang pertemuan seorang pembuat kue dengan Imam Ahmad Hambali. Yang mana pertemuan itu terjadi karena istighfar yang tak henti-hentinya diucapkan si pembuat kue.
Setiap apapun yang ia butuhkan selalu dipenuhi Allah Swt tanpa ia minta, tetapi ada satu permintaan yang belum Allah kabulkan, yaitu bertemu dengan Imam Besar. Dan lagi-lagi skenario Allah sungguh indah, diluar batas nalar manusia. Yang mana pada kisah ini, Imam Ahmad lah yang menemui pembuat kue. Seolah-olah sang Imam diundang untuk mengunjungi suatu daerah yang asing dan bermalam di rumah pembuat kue tersebab istighfar tersebut.
Kisah lain, mengenai istighfar adalah tentang keluarnya nabi Yunus As. Dari perut ikan paus. Disaat usaha sudah dilakukan dan belum ada hasil, janganlah putus asa, masih ada doa dan istighfar yang  bisa menjadi senjata andalan kita. Begitu juga yang dilakukan nabi Yunus As, doa dan istighfar beliau sangat terkenal, yaitu : laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazh zhaalimiin (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya).
Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dan kita terapkan dari doa dan istigfhar nabi Yunus As. Pertama yaitu mengkokohkan tauhid (laa ilaaha illaa anta), kedua memuji Allah (subhaanaka), ketiga mengakui perbuatan kita yang salah (innii kuntu minazh zhaalimiin).
Dalam adab berdoa yang sudah pernahku singgung sebelumnya adalah ketika berdoa sebaiknya memuji Allah terlebih dahulu, setelah itu baru sampaikan permintaanmu dengan bahasa yang halus. Ya memang harus ada adabnya, menemui atasan saja harus menata ucapan apalagi berdoa kepada Sang Pemilik jagad raya.
Dari kedua cerita diatas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang kita anggap sulit dan mustahil terjadi bisa saja terjadi atas izin dari Allah Swt, melalui perantara doa dan istighfar yang kita lakukan. Jika seperti ini, bagi kaum single lillah seolah mendapat pencerahan, mempertemukan penjual kue dengan Imam besar adalah hal yang sangat mudah bagi Allah Swt, apalagi hanya mempertemukan kita dengan seseorang yang sudah kita idamkan. Mengeluarkan nabi Yunus As dari perut ikan paus juga hal yang sangat mudah bagi Allah Swt, apalagi hanya mengeluarkan kita dari masalah-masalah hidup termasuk belum dipertemukannya kita dengan jodoh, jadi tetap khusnudzon dan jangan berhenti beristighfar dan berdoa.
Mengenai amalan yang selalu aku sangkut pautkan dengan jodoh, mengingatkanku tentang postingan sebelum ini, yang berjudul 40 hari menjemput jodoh, yang belum baca silahkan baca hehe. Setelah membaca kisah itu, ku coba untuk mengikuti jejaknya, tapi apa daya godaan selalu datang dan akhirnya tidak bisa istiqamah membaca surat Ar-Rahman seusai shalat maghrib.
Dan setiap orang memiliki amal unggulan masing-masing, akupun mulai mencari amal unggulanku yang bisa membedakan dari yang lain. Ya, belajar dari Kajian Rutin Muslimah (Karimah ke 4) dengan tema Muda Syar’i Menginspirasi, kak Desi mengatakan bahwa, kamu harus mempunyai pembeda, jadilah beda dari yang lain dengan amalan unggulan mu.
Memang memulai sebuah amalan jauh lebih mudah daripada menjaga keistiqamahan, ada sebuah hadist yang menuturkan bahwa amalan sedikit tetapi kontinu lebih Allah cintai daripada amal yang banyak dan berhenti begitu saja. Ya, kucoba dari hal yang mudah ku lakukan, apalagi kalau bukan mengistiqamahkan membaca istighfar sebelum tidur.
Awal mulanya aku teringat sebuah benda pemberian kakakku, yaitu tasbih digital yang saat itu entah ada dimana, karena dahulu keberadaannya tidak begitu penting sehingga aku abaikan. Dan tanpa harus menguras energi untuk berpikir dan mencari, Allah menunjukan barang itu dan Alhamdulillah masih berfungsi dengan baik walau sudah berdebu.
Aku pun membuat target, pukul 9 malam harus sudah persiapan tidur dengan ritual-ritual lainnya yang harus aku selesaikan, termasuk membaca istighfar sebelum tidur. Malam pertama aku target sekian, malam berikutnya harus ditambah lagi begitu seterusnya, itu yang membuatku bisa menekan agar tidak tidur terlalu malam sehingga bisa bangun sebelum subuh, karena memang Rasulullah tidak menyukai orang yang begadang tanpa alasan, sebagaimana dalam sebuah hadist dari Abu Barzah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan beliau tidak menyukai obrolan setelah isya.” (HR. Ahmad, no.19781 dan Ibn Khuzaimah, no.1339).
Amalan itu Alhamdulillah bisa berjalan 1 pekan, hingga suatu ketika sebuah pesan membuyarkan konsentrasiku menjadikan tidur tak nyenyak, makan tak enak dan ibadah tak tenang. Sebuah pesan yang sudah lama aku tunggu-tunggu, tetapi ternyata diluar dugaanku.
Sudah lama aku memasukan biodata diri melalui perantara, tetapi belum ada kemajuan sama sekali, pernah beberapa kali berprasangka buruk tentang lambannya proses, dan akhirnya aku pasrahkan semua kepada-Nya.
Ketika semua sudah ku pasrahkan, di tambah mengosongkan hati dari harapan-harapan, ternyata Allah Swt. menggerakan hati seseorang yang memiliki niat baik dan datang dengan cara yang baik. Pernah aku menulis keinginan, ingin menemukan ‘dia’ dengan cara yang benar yaitu ta’aruf dan semoga ‘dia’ adalah sosok yang sudah aku ketahui sebelumnya, dan Alhamdulillah, Allah mengabulkan doaku di saat yang memang benar-benar tepat.
“Ya Allah, bulan ini adalah penghujung tahun 2018. Hamba ridho dan ikhlas jika memang tahun ini Engkau belum memperkenankanku menikah, tetapi setidaknya tunjukanlah siapa dia, agar hati ini merasa tenang karena sudah menemui titik terang.” Pintaku dalam doa.
27 Desember 2018, tanganku dibuat gemetar dan keringat dingin keluar bercucuran ketika ku membaca pesan singkat dari rekan kerjaku.
Santi, ada kabar gembira saudaraku ada yang mau kenal sama kamu,”
“gimana kamu mau kan? Insya Allah orangnya baik, dan dari keluarga yang agamanya baik.” Pesan dari seseorang sebut saja mas Raka.
“Masya Allah, ya nggak papa dicoba dulu. Eh tapi aku mau konsul dulu sama murobbi ku dulu ya, biar ada semacam penguat. Soalnya dulu pernah proses tapi banyak ragunya.” Balasku yang kulanjutkan dengan menghubungi murobbi.
“Mas, oke aku mau. Tapi saudaramu itu siapa? Boleh minta no WA nya?”
“aku mau kirim ke murobbi biar ada dua perantara.” Balasku setelah mendapat lampu hijau beliau.
“Ini, coba di save dulu aja San, lihat potonya sebagai bonus,” jawab mas Raka dengan glagat yang mencurigakan seolah aku tahu siapa orangnya, padahal niat pertama nomor wa tersebut langsung aku kirimkan ke murobbi, tapi karena penasaran aku coba save dan seketika rasanya seperti tersambar petir di siang bolong.
“Mas, dirimu salah kirim nggak?”
“Nggak ya, bener. Mas Wahyu pengen kenal kamu,” muka ku pun langsung berubah tangan dingin dan salah tingkah. Ku coba menarik nafas untuk menenangkan diri tapi tetap saja masih belum tenang.
“Hlah kok bisa? Aku masih nggak percaya!”
“Hla apa perlu aku kirimkan screenshot percakapan kita? Coba sana buka IG, aku baru sadar ternyata kalian sudah berteman di IG dan FB,” jawab mas Raka yang lagi-lagi membuatku tak tenang.
“Sebentar Mas, aku mau menenangkan diri dulu, beri waktu beberapa hari untukku berpikir.”
“Oke, tapi jangan lama-lama. Itu wejangan dari mas Wahyu langsung.”
Orang baik dengan niat yang baik datang dengan cara yang baik-baik, itu memang doaku dan Alhamdulillah Allah mengabulkan, tetapi sama sekali aku tak menyangka bahwa yang Allah datangkan adalah dia. Yang awalnya aku ingin segera diproses menjadi ku tunda karena suatu alasan yang benar-benar membuatku stres sampai satu minggu.
Memang awalnya aku menaruh simpati kepada dia, sering di kantor aku mendengar cerita tentangnya, dia keluar dari kantor kemudian aku masuk. Sama sekali belum pernah bertemu, dan karena aku follow IG dan FB dia, ku lihat aktivitas-aktivitasnya yang positif, tambahlah kekagumanku. Hingga suatu ketika karena sesuatu aku memutuskan untuk tidak lagi melihat postingan dia. Dan membuang jauh2 rasa simpati itu. dan ketika aku memilih menjauh dari dia, ternyata Allah mendatangkan dia untukku. Semacam the power of istighfar benar-benar terjadi padaku.
Niat awal mengistiqamahkan membaca istighfar adalah karena Rasulullah Saw saja yang dijamin masuk surga membaca istighfar lebih dari 70 kali dalam sehari, bagaimana dengan aku yang banyak dosanya ini, sangat amat malu jika lisanku ini jauh dari istighfar.
Tak ada pikiran sama sekali saat itu, mengamalkannya hanya untuk menjemput jodoh. Tetapi qadarullah, ternyata aku menjemputnya dengan istighfar. Karena memang benar jodoh itu jangan ditunggu tapi dijemput. Dengan apa menjemputnya? Dengan terus memperbaiki diri, bergaul dengan banyak orang dan terus berdoa serta beristighfar. Siapa tahu dia datang tersebab istighfar yang kamu ucapkan.

*to be continue*