Senja Punya Cerita
Hari ini
pekerjaanku sangat banyak dan sepertinya aku harus lembur, tapi aku lelah!
Mataku sudah perih, jari jemariku sudah
kaku dan punggungku sudah terasa berat, ingin rasaku pulang lebih awal dan
langsung membaringkan tubuhku di atas dipan yang nyaman. Ya, sepertinya sore ini
aku hanya mengambil lembur 1 jam dan pulang kerumah tepat pukul 5 sore, semoga
saja aku masih bisa bertemu senja di jalan, sudah lama sekali aku tak melihat nya
walau hanya sekejap mata.
Memang
senja itu istimewa, menyuguhkan warna yang elok nan indah sebagai hadiah dari
Tuhan atas keberhasilan kita melalui ujian kehidupan yang penuh dengan kejutan.
Tetapi sayangnya aku hanyalah penikmat senja abal-abal, bukan penikmat senja
yang profesional. Aku bukanlah mereka yang membawa kamera dan mencari spot untuk mengabadikan senja yang indah
tetapi aku adalah penikmat biasa yang akan tetap merasa nikmat dimanapun senja
itu terlihat.
Dan kali
ini setelah pulang lembur aku putuskan untuk menghabiskan waktu soreku di
lapangan yang terletak di belakang kompleks perumahan karena di sana aku bisa
melihat dengan jelas senja yang ku rindukan, tetapi sayang jalan menuju
lapangan ditutup karena ada hajatan, terpaksa aku putar arah melewati sawah
yang jalanya masih berupa tanah dan akan berlumpur setelah hujan turun, dan
kebetulan sekali siang tadi turun hujan dengan lebatnya.
Rasa lelah
bercampur kesal karena harus berputar arah ditambah melihat kondisi jalan yang
berlumpur membuat emosiku memuncak. Ku mainkan tanganku untuk mengatur kecepatan
motor, gas pun ku kencangkan hingga akhirnya motorku tak seimbang dan jatuh di
kubangan lumpur.
Ah, sial! Motor yang tadi pagi aku
cuci kotor lagi! Dan baju ini? Padahal besok saya pakai lagi!
Hari apa ini, dari tadi pagi sampai
saat ini selalu saja aku sial!
Aku pun
terus bergumam menyalahkan takdir yang tidak berpihak kepadaku, badanku pun
menjadi lemas tak berdaya, bahkan aku tak kuasa untuk sekedar mendirikan motor
dan keluar dari kubangan lumpur, hingga akhirnya ada seorang kakek-kakek yang
datang menghampiriku dengan sepeda yang dibelakangnya ada satu sak yang sudah
berisi penuh padi yang menguning.
“Bisa nggak
Le?” Tanya beliau, yang kemudian langsung menyandarkan sepeda tuanya itu di
batang pohon pisang.
“Iya Kek,”
kataku yang kemudian mencoba menarik gas.
“Jangan
digas!” Teriaknya, ketika melihatku menarik gas dan motorku pun terjatuh
dikubangan yang lebih dalam.
“Dimatikan
saja motormu,” sarannya yang kemudian mendekati motorku dan memegang motor
bagian belakang.
“kita
angkat saja ke situ, jangan lewat jalan tengah lewatnya pinggir-pinggir aja,
kalau jalan pinggir kubangannya nggak terlalu dalam, soalnya masih ada
rumput-rumput dan kerikil kecil,” jelas beliau.
“Ini yakin
Kakek mau ngangkat motorku? Kakek kuat?” Tanya ku.
“Nggak usah
banyak tanya, kamu angkat roda bagian depan, Kakek bagian belakang,”
perintahnya.
“Satu....dua...tiga!!!”
Aba-aba yang keluar dari mulut beliau ketika kami berusaha mengangkat motor
merahku yang sudah berubah warna menjadi coklat.
“Alhamdulillah,
makasih ya Kek,” ucapku dan kakek itu pun hanya membalas dengan senyuman yang
membuat kerut tua di matanya terlihat.
“Saya
duluan ya Nak,” pamitnya.
“Iya Kek,
hati-hati.”
Aku pun
langsung memperhatikan kakek itu, dengan tubuh kurus, kulit yang sudah mengerut,
dan rambut yang sudah memutih beliau masih saja kuat mengayuh sepeda dengan
membawa beban berat. Ini benar-benar menampar hatiku, aku yang hidupnya enak,
kerja di depan komputer, di dalam ruangan ber-ac masih saja suka mengeluh,
sedangkan beliau? Ya Allah, ampunilah
dosa hambaMu ini.
Senja!!! Aku pun
langsung melihat ke ufuk barat ketika ingatanku kembali, bahwa ini adalah waktu
senja, waktu yang aku tunggu-tunggu.
Matahari
sudah tenggelam meninggalkan kenangan yang mendalam, menghapus duka yang
terasa, dan membawa harapan untuk masa depan. Apapun yang terjadi pada hari ini
biarkanlah, tak usah kau sesali dan tak usah kau tangisi, karena masih ada hari
esok yang bisa kau lukis sesukamu, lukisan yang akan menjadi kenangan.
Ya, seperti
senja sore ini, menjadi penyegar jiwa-jiwa yang haus akan ketenangan dan
kedamaian. Warna kemerahan yang beradu dengan warna oranye seakan
menghipnotisku. Ku nikmati bisikan angin, ku hirup aroma padi yang sudah
menguning, dan kunantikan saat-saat senja menghilang dari pandanganku, ya
saat-saat yang aku benci, saat-saat dimana yang tersisa hanyalah gelap dan
sunyi. Ya begitulah senja, hadirnya begitu ku tunggu dan cepat sekali berlalu,
seperti dia yang sekarang entah kemana, aku pun tak tahu.
Malam yang
gelap pun tiba, serangga-serangga mulai beterbangan seakan ikut mengusirku,
tanpa pikir panjang, ku kemudikan motorku dengan perlahan agar aku tak
jatuh di kubangan lumpur yang sama, ya begitulah hidup harus belajar dari
pengalaman jangan mengulangi kesalahan dan harus hati-hati dalam mengambil
keputusan.
“Assalamu’alaikum,”
sapaku sesampainya di rumah.
“Wa’alaikumusalam,”
jawab bapak dan ibu.
“Baju mu
kenapa Nak? Kok kotor?” Tanya ibu yang perhatiannya tidak pernah berubah
kepadaku walaupun aku sudah beranjak dewasa.
“Tadi lewat
sawah, terus ya begitulah,” jawabku yang malas menjelaskan kronologi lengkapnya
kepada mereka.
“Yasudah
sana langsung mandi!” Perintah bapak.
Tak lupa
sebelum masuk ke kamar mandi, seragam kantor yang besok masih aku pakai ku
masukan ke dalam mesin cuci, dan motor yang sekarang mempunyai kemampuan
berubah warna ku biarkan begitu saja, hmmm harus bisa membagi waktu dengan
sebaik-baiknya.
Selepas
mandi, ku kenyangkan perutku dengan makan masakan ibu yang enaknya luar biasa,
setelah kenyang, kamar tidurlah yang menjadi tempat favoritku untuk menghabiskan
waktu malam dengan hanya sekedar baca buku, main HP dan stalking Instagram sang mantan.
Sesekali
dada terasa sesak ketika membayangkan kenangan indah saat bersamanya. Saat
menyelusuri jalan menggunakan vespa, menikmati senja bersama hingga dinner
romantis ala kita. Ya semua itu hanya tinggal kenangan, kenangan yang selalu
aku bayangkan ketika akan memasuki gerbang mimpi , berharap dalam mimpiku aku
bertemu dengannya.
“Tolelet Tolelet,”
terdengar bunyi alarm hp yang sengaja ku setting dengan nada yang lagi
ngeh-hits akhir-akhir ini, apalagi kalau bukan bunyi klakso bus, berharap
ketika mendengar suara alarm hp untuk yang pertama kali aku langsung bergegas bangun, tidak lagi memencet tombol tunda 10 menit dan kembali tidur.
Dan benar
adanya, trik itu sangat-sangat manjur. Setelah mendengar suara alarm hp yang ku
setting pukul 04.00 kantukku langsung hilang dan kini aku bersemangat untuk
mandi pagi, yups mandi pagi yang terlalu dini, dingin sih tapi mau bagaimana
lagi, kalau nggak gitu rasa kantukku
bakal balik lagi dan endingnya tidur setelah sholat subuh.
“Hari,
nanti mau sholat subuh di masjid mana?” Tanya bapak kepadaku ketika aku
menghidupkan lampu ruang tengah dan dapur.
Oh iya, sampai
lupa ngenalin diri, namaku Hari Prasetyo anak pertama dari satu bersaudara,
atau sering disebut anak tunggal. Keseharian ku, ya seperti itulah bangun
tidur, kerja, pulang sore terus nyari senja, kepoin sosial media sang mantan,
tidur dan begitu seterusnya.
Kalau
pekerjaan ibu, beliau adalah guru SD sedangkan bapak bekerja di kantor desa
sebagai Lurah. Ya begitu lah mereka sangat sibuk, sama sibuknya denganku, sibuk
mengumpulkan puing-puing kenangan yang berserakan.
“Di Masjid
At-Taqwa, Pak,” jawabku.
“Oh, ya
sudah kalau begitu Bapak di Masjid Al-Ikhlas saja.”
Bapak
memang pengertian sekali, beliau tahu kalau aku masih grogi ketika menjadi imam
sholat subuh dan ada bapak diantara jama’ah lainnya. Sebenarnya hafalanku masih
sedikit, jus 30 aja belum semua ku hafal, tapi mau bagaimana lagi, jama’ah
sholat subuh sangat sedikit, yang masih kuat secara fisik dan umur hanyalah
aku, ya sudah aku yang jadi imamnya, belajar jadi imam sholat berjama’ah dulu
sebelum jadi imam mu eh baper lagi deh.
Nah, setelah
sholat subuh, tepatnya di Jum’at pagi ada agenda yang cukup menarik di daerah
tempat tinggalku, yaitu kultum pagi. Yang ngisi kultum ganti-ganti, tetapi
sekarang adalah giliranku, rangkap jabatan sih ya, tapi nggak papalah rangkap
pahala juga kok, aamiin.
“Dirikanlah sholat dari sesudah
matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). QS. Al-Isra ayat 78”
“Barangsiapa yang shalat Isya
berjamaah maka seakan-akan dia telah shalat setengah malam. Dan barangsiapa
shalat subuh berjamaah, maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat satu
malam penuh. HR. Muslim.” Itulah petikan kultum yang aku
sampaikan pagi ini, berharap mereka-mereka yang ada di rumah mendengar dan
sadar akan kekeliruan mereka selama ini, kekeliruan yang mengabaikan sholat
berjama’ah, padahal ada keutamaan yang
Allah berikan di sholat Isya dan Subuh.
“Assalamu’alaikum,”
sapaku saat aku tiba di rumah selepas sholat subuh di masjid.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab ibu, yang ku ikuti dengan mencium tangan beliau.
Setelah
berganti pakaian, aku langsung mengambil sapu dan langsung membersihkan lantai
yang sudah terasa kasar di kaki. Hm.m walaupun aku anak cowok aku juga suka
dengan pekerjaan rumah tangga, ya membantu orangtua kan nggak ada salahnya, nggak
memandang jenis kelamin juga kan?
Tak lupa
motor yang ada di garasi ku cuci dan ku lap agar terlihat mengkilap seperti
baru lagi, nih ada info penting yang kalian harus tahu, di kantor tempat aku
bekerja ada beberapa orang yang heran dengan kondisi motorku yang selalu
terlihat bersih mengkilat walaupun sedang berada di musim penghujan, sedangkan
motor rekan kerjaku yang perempuan motornya pun tak terawat, katanya percuma di
cuci kalau nanti sore hujan pasti kotor lagi, itu sama kondisinya ketika aku
berkata percuma mencinta kalau nanti
terluka. Nah kalau sore hujan, kalau nggak? Kalau ternyata beberapa hari
atau beberapa bulan tidak turun hujan, masak iya betah pakai motor yang kotor
seperti itu, kalau aku sih risi. Dan tentang, percuma mencinta kalau nanti terluka, ya kalau terluka kalau
ternyata bahagia, terus lanjut ke KUA kenapa enggak!
Setelah
motor sudah terlihat bersih, saatnya membersihkan badan dan persiapan untuk
berangkat ke kantor, potongan buah dan bekal makan siang pun tak lupa ku bawa.
Perjalanan
dari rumah ke kantor kira-kira memakan waktu 30 menit kalau kecepatannya
kisaran 30-40 km/ jam, kalau 60 km/jam ya 15an menit sudah sampai.
Hari ini
akan ku perbaiki cara kerjaku, akan ku tulis apa yang harus aku kerjakan
sehingga tak ada waktu yang terbuang sia-sia. Setelah pekerjaan nomor 1
selesai, kemudian mengerjakan pekerjaan yang ku tulis nomor 2 dan seterusnya,
terkadang karena pekerjaan yang banyak aku malah bingung apa yang harus aku
kerjakan terlebih dahulu, dan berharap dengan metode baru ku ini, pekerjaan
yang harus selesai hari ini bisa selesai tanpa harus over time.
Jam demi
jam telah ku lewati, cacing di perut pun sudah protes. Ku buka potongan buah
yang tadi kubawa, ku makan dengan santainya sambil menggelengkan kepala
berharap otot-otot yang tegang kembali rileks.
“Capek ya
Dek?” Tanya mbak Dita, rekan kerja yang duduknya di depanku.
“Iya Mbak,
pegel,” jawabku sambil meremas jari jemari, berharap setelah mendengar bunyi
‘tuk’ dari jari yang di remas kekakuan yang kurasakan pada sendi-sendi
pergelangan tangan bisa berkurang.
“Kurang
sedekah itu Dek namanya,” ucap mbak Dita, yang membuatku tersedak saat memakan
buah pepaya.
“Oh, maaf Mbak
lupa mau nawarin.”
“Ini Mbak
buah,” kataku dengan mensodorkan tempat makan berwarna hijau.
“Hehe nggak
Dek, makasih.”
“Bukan itu
yang aku maksud.”
“Maksudnya
itu tulang-tulangmu lah yang perlu disedekahi.” Jelas mbak Dita yang membuatku
semakin bingung.
“Sedekah
tulang?”
“Bagaimana
caranya Mbak?”
“Tulang
rusuk saja belum ketemu, masak mau sedekah tulang lainnya,” kataku asal.
“Dek Hari,
baper melulu bawaanya.” Mbak Dita pun tertawa saat mendengar kata yang terucap
dari mulutku.
“Ini hlo
maksudku,” katanya sambil menyodorkan HP.
“bagi masing-masing ruas tulang dari anggota
tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekahnya. Maka setiap
bacan tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) sedekah,
setiap bacaan tahlil (La ilaha illallah) sedekah, setiap bacaan takbir (Allahu
Akbar) sedekah, beramar ma’ruf sedekah, dan mencegah kemungkaran sedekah. Dan
itu semua tercukupi dalam dua rakaat shalat Duha. (HR. Muslim).” Ku baca
artikel yang sengaja dicari mbak Dita untuk menjawab pertanyaan ku itu dengan
suara yang cukup keras.
“Oh ini to
Mbak cara sedekah tulang itu?” Kataku yang kemudian mengembalikan HP OPPO milik
mbak Dita.
“Yups.”
“Oke Mbak,
terimakasih.”
“Hari, kamu
mau kemana?” Tanya sebelahku yang melihatku beranjak dari kursi.
“Mau
sedekah tulang dulu Mbak.” Jawabku.
“Oh ya
udah, tapi aku minta buahmu ini ya?” Katanya lagi.
“Iya Mbak
makan saja, tapi jangan dihabiskan, aku tadi baru makan 5 potong,” kataku
dengan polosnya.
“Iya
beres!”
“Dah sono,
buruan sholat Dhuha!”
Beruntung
sekali aku mempunyai rekan kerja seperti mbak Dita, yang selalu mengingatkanku
dalam kebaikan. Dan aku baru ingat tentang sholat Dhuha, ternyata itu adalah
tiga wasiat yang diberikan Rasulullah
SAW kepada Abu Hurairah dua diantaranya adalah puasa tiga hari setiap bulannya
dan shalat witir sebelum tidur.
Setelah
selesai sholat Dhuha badan terasa lebih bugar, capek yang kurasakan seakan
pergi dengan sendirinya, dan mata yang tadinya perih karena terlalu lama
menatap layar monitor serasa segar kembali, dan kini saatnya bekerja kembali.
Tiba waktu
istirahat pun ku manfaatkan dengan sebaik-baiknya selain sholat Dzuhur
berjamaah dan makan siang bersama, tidur siang pun tak luput menjadi agenda
harianku. Menurut buku yang dibaca temanku, dan temanku itu cerita ke aku,
secara medis, tidur di siang hari memiliki fungsi untuk mengembalikan kebugaran
tubuh dan menentramkan hati. Sejumlah peneliti di negara Yunani menyatakan
bahwa tidur singkat di siang hari efektif untuk menghindari munculnya beberapa
jenis penyakit. Setelah mengamati sejumlah pasien di beberapa rumah sakit di
Athena selama beberapa tahun, para peneliti menyimpulkan bahwa tidur siang
selama 30 menit setelah shalat, mengurangi penyumbatan pembuluh darah hingga 30
%.
Setelah
tidur siang, kekakuan tulang leher dan kepeningan yang ku rasa hilang begitu
saja, walaupun masih terasa kantuk ketika memulai untuk bekerja lagi, itu semua
akan berlalu dengan cepat, daripada kepala pening yang sudah ku obati dengan
minyak oles tetapi tidak aku
istirahatkan (tidur) maka akan bertahan lama sampai malam, dan paginya baru
bisa hilang.
“Mas, cilok
mau?” Kata mbak Nia yang menawarkan jajanan jaman SD yang menjadi favoritku.
“Mau banget
Mbak!” Akupun tidak mengantuk lagi setelah mendengar kata cilok yang ditawarkan
mbak Nia kepadaku.
The power
of sedekah, tadi mbak Nia aku kasih buah eh siangnya mbak Nia ngasih aku cilok,
nah sholat Dhuhaku tadi juga insyaAllah dibalas oleh Allah dengan kecukupan
kebutuhan hingga sore hari seperti yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ra, wahai anak adam, shalatlah untuk-Ku empat
rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore
harinya.”
Detik
berganti menit, menit berganti jam, dan akhirnya jam dinding menunjukan pukul 4
sore, pekerjaan hari ini pun Alhamdulillah selesai, dengan cepat aku pun
berkemas dan langsung menuju parkiran.
Di
sepanjang jalan pulang, aku teringat kepada kakek yang kemarin membantuku, dan
sore ini kebetulan cuacanya cerah aku ingin sekali berjumpa dengan kakek itu
lagi.
“Assalamu’alaikum
Kek,” sapaku setelah aku memarkirkan motor di depan sawah beliau.
“Wa’alaikumsalam,
eh kamu lagi,” jawab beliau.
“Panen ya
Kek?” Tanyaku setelah aku melihat ada dua sak besar yang sudah berisi padi.
“Iya Nak,
panennya dibawa pulang, kemarin ada yang mau nebas tapi ditawar murah.”
“Ini mau
pulang Kek?” Tanyaku yang penasaran, karena ini belum terlalu sore tetapi kakek
itu sudah membersihkan kaki dan tangan dengan air sungai yang lumayan jernih.
“Iya Nak,
mau bersih-bersih rumah,” jelas beliau yang masih asik membersihkan sela-sela
tangannya.
“Boleh
ngobrol bentar nggak Kek?”
“Ini tadi
saya beli martabak buat Kakek,” kataku dengan memperlihatkan bungkusan kresek.
“Duh, Nak
repot-repot.”
“Yaudah
duduk di gubuk itu saja,” kata beliau yang kemudian berjalan mendekati gubuk
yang dimaksud.
“Ini Kek
dimakan,” ucapku setelah membuka plastik dan kardus yang membungkusi martabak.
“Makasih ya
Nak,” beliau pun langsung mengambil martabak gurih yang masih hangat itu,
tampaknya kakek lapar dan lelah, untung saja aku tadi membeli martabak dan susu
jahe khusus untuk kakek.
“Kakek
tinggal di mana? Sama siapa?” Tanyaku yang mulai mengulik kehidupan kakek.
“Di Desa
Kirsan, tinggal berdua sama istri.”
“Kok
berdua, Kakek punya anak kan?”
“Iya punya,
Kakek punya dua orang anak.”
“Mereka
tinggal di Cikarang, kalau kamu sendiri, rumahmu mana Nak?” Tanya kakek dengan
mulut yang masih penuh dengan martabak, hmmm sepertinya saya mengganggu kakek
yang sedang menikmati martabak.
“Oh iya ini
Kek, minumnya,” kataku yang menawari minum kakek, takut kakek tersedak karena
makan sambil bercerita.
“Kalau saya
tinggalnya di Perumahan Kapuk Indah, Kek, sama bapak dan ibu, karena kebetulan
saya anak tunggal,” jelasku.
“Kerja di
Klaten ya Nak?”
“Nggak
nyoba kerja di luar kota?” Tanya beliau yang nampaknya tertarik dengan kisah hidupku.
“Dulu
pernah Kek, kena PHK terus pulang deh ke Klaten,” jawabku dengan nada lirih dan
raut muka yang sedih.
“Nggak
nyoba nglamar perusahaan lain di kota itu?”
“Udah
terlanjur kecewa Kek,”
“nggak
hanya diputusin perusahaan, saya juga diputusin pacar tepat di hari saya di
PHK,” aku jadi tambah nggak karuan ketika harus membuka kenangan itu.
“Maaf ya
Nak, bukan maksud Kakek membuatmu sedih.”
“Iya Kek
nggak papa,”
“dulu aku
dan dia sangat dekat bahkan sudah ada pembicaraan tentang pernikahan, tapi sikapnya
berubah ketika aku bercerita tentang kondisi perusahaan tempat aku bekerja
dulu, dan dia memutuskan ku tanpa alasan yang pasti tepat di hari itu, hari
dimana aku menyandang status pengangguran.”
Ya,
diputuskan tanpa memberi alasan membuatku sakit hati, tiap malam aku berharap
bisa bermimpi bertemu dengannya dan menanyakan alasan dia memutuskanku, apakah
semua itu karena materi? Kalau memang iya, berarti akulah yang salah. Aku salah
telah mengenalmu dan menganggapmu mau menerima aku apa adanya.
“Sudah Nak,
jangan diteruskan!”
“Jangan
merusak senja hari ini, senjamu kemarin sudah kau rusak karena emosimu, dan
hari ini simpan semua itu jangan kau keluarkan lagi,” nampaknya Kakek tahu
bahwa senja itu istimewa, akhir dari siang yang banyak menguras energi ataupun
emosi menuju malam yang sangat sunyi.
“Jika hati
mu dipenuhi dengan rasa kesal, keindahan senja ini tak akan sampai di jiwamu,
kau hanya akan mendapati warna warna yang indah saja tanpa ada pelajaran yang
dapat kau ambil.”
“Lain
halnya ketika hatimu senang, dengan mudahnya kau dapat mengambil hikmah dari
apa yang kau lihat di waktu senja ini.”
“Lihatlah
burung-burung yang berterbangan itu, mereka pulang ke rumahnya setelah seharian
terbang kesana kemari mencari makanan untuk dia dan untuk anaknya yang masih
kecil, mereka bersorak bergembira karena mereka selamat, mereka berhasil
melalui rintangan dan cobaan yang mereka hadapi.”
“Yang nggak
bisa kembali ke rumah? Ada, bahkan banyak! Mungkin dimakan ular, atau ditembak
pemburu.”
“Banyak
yang dapat kau ambil pelajaran dari senja yang selalu kau nantikan kehadirannya
ini.”
“Kok Kakek
tahu, kalau saya sering menantikan datangnya senja?” Tanyaku penasaran.
“Kemarin
Kakek lihat dari kejauhan, kenapa kamu tidak beranjak dari tempat itu, ternyata
sedang memandangi langit mentari senja.”
“O begitu.”
Senja kali
ini akan menjadi cerita di esok hari, dimana ketika aku dan kakek Subur
menghabiskan waktu senja bersama, menikmati gurihnya martabak dan manisnya susu
segar didukung suasana persawahan yang asri dan pastinya keindahan langit yang
menjadi daya tarik tersendiri.
Saking
asiknya bercerita dan menikmati senja bersama, saya sampai lupa kalau kakek
Subur sudah ditunggu istrinya di rumah, kata beliau besok akan ada tamu
istimewa jadi kakek berniat pulang cepat untuk membersihkan rumah bersama istri
tercintanya.
Karena
merasa bersalah, aku pun menawarkan bantuan untuk mengantar kakek pulang
kerumah, yups dengan membawa dua sak yang sudah terisi padi itu. Awalnya kakek
menolak bantuanku, tapi karena aku memaksa akhirnya beliau mengiyakan
bantuanku.
Kakek pun
membantuku mengangkat sak ke atas motor dan menalinya dengan karet yang sudah
disediakan kakek. Dan sak yang satu lagi ditaruh di depan motor. Cerita baru di
senja kali ini, emm pengalaman pertama membawa dua sak besar yang berisi padi.
Perlahan
tapi pasti ku kendarai motorku sambil mengikuti kakek yang mengayuh sepeda di
depanku, tak jarang kakiku bersentuhan dengan tanah untuk menyeimbangkan motor
agar tidak terjatuh. Dan tak berapa lama sampailah aku di rumah kakek Subur,
rumah yang sangat nyaman karena banyak tumbuhan di sana, juga rumah yang sangat
cantik karena cat dindingnya masih terawat.
Istri dari
kakek Subur juga baik sekali denganku, tidak ada raut wajah kecewa ketika
melihat kakek yang baru pulang, beliau malah menyambutnya dengan wajah yang
sumringah dan beliau juga menyuruhku masuk untuk sekedar makan malam bersama,
tetapi karena aku belum mandi dengan sopan saya menolak niat baik istri kakek
Subur.
“Oh iya,
Nak Hari besok pulang jam berapa?”
“Kakek butuh
bantuan, Nak Hari bisa bantu?” Tanya beliau setelah aku mencium tangannya dan
pamit pulang.
“Besok
Sabtu saya pulang jam 12, Kek. Insya Allah kalau saya mampu saya bantu Kek,”
kataku.
“Besok
minta tolong datang kerumah ya Nak.” Pinta kakek Subur.
“Insya Allah
Kek, dengan senang hati.”
“Saya pamit
dulu ya Kek, Nek.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Keesokan
harinya, setelah pulang kerja aku langsung menuju ke rumah kakek Subur, tak
lupa aku mampir terlebih dahulu ke toko buah dan membelikan buah untuk kakek
dan nenek. Walaupun baru kemarin aku mengenal mereka, tapi entah mengapa aku
langsung mengaggap mereka sebagai kakek dan nenekku sendiri. Mereka terlihat
tulus dan baik, dan mereka mengingatkan ku pada sosok alm kakek dan almh nenek.
“Assalamu’alaikum,”
sapa ku setelah aku sampai di rumah kakek Subur.
“Wa’alaikumusalam,
sini Nak masuk,” jawab nenek.
“Nek, ini
ada buah untuk Nenek,” kataku dengan memberikan plastik berwarna putih kepada
nenek.
“Wah
repot-repot, terimakasih ya Nak.”
“Duduk dulu
Nak, saya panggil kakek dulu,” nenek pun langsung masuk ke dapur dan memanggil
kakek subur.
“Nak Hari
makasih ya buahnya,” kata kakek Subur yang baru keluar dari dapur.
“Iya Kek,
sama-sama.”
“Em... ada
yang bisa saya bantu, Kek?” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Oh iya,
Nak Hari tahu daerah Jogja nggak?” Tanya kakek memulai pembicaraan.
“Insya
Allah tahu Kek.”
“Kalau
begitu Kakek minta tolong antarkan cucu Kakek ke Jogja, bisa?”
“Wah, tamu
istimewa yang Kakek maksud itu cucu Kakek ya?”
“Usia cucu
Kakek berapa tahun, pasti lagi lucu-lucunya?”
“Pengen ke
Jogja ke obyek wisata mana Kek? Kalau saya tahu jalannya saya bersedia
mengantar cucu kakek ke sana.”
“Wah
pertanyaanmu banyak sekali, bingung Kakek mau jawab yang mana dulu,”
“Nduk, kok
tamunya belum dikasih minum?” Kata kakek Subur dengan nada yang cukup keras.
“Iya Kek,”
dan sosok perempuan berjilbab coklat pun keluar dari pintu dapur, menggunakan
baju warna abu-abu dan rok berwarna hitam tak lupa di tangannya terdapat sebuah
baki yang berisi dua gelas teh dan satu toples kue kering.
“Ini Mas,
minumnya.” Ucap perempuan itu setelah menurunkan gelas dan toples dari baki
yang dibawanya.
“Iya
terimakasih,” kataku yang masih penasaran siapa sosok perempuan ini, bukanya
kakek dan nenek hanya tinggal berdua saja, lantas ini siapa?
“Ini cucu
Kakek Nak,” kata kakek yang membuatku terkejut, jadi cucu kakek sudah sebesar
ini, kalau ini mah bukan lagi
lucu-lucunya tapi lagi
cantik-cantiknya, terus kenapa kakek menyuruhku mengantarkan dia ke Jogja?
“Cucu kakek
lulus SMA tahun lalu, dan tahun ini dia ingin melanjutkan kuliah di Jogja dan
Alhamdulillah lolos, hari ini dia harus daftar ulang tapi dia kurang paham
daerah Jogja.”
“Ayah dan
Ibunya belum bisa pulang karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, jadi
Kakek suruh Senja pulang sendiri.” Kakek pun bercerita dengan sendirinya, dan
cerita dari kakek menjawab semua pertanyaan yang ada dibenakku.
“Oh,
namanya Senja,”
“Halo
Senja, perkenalkan namaku Hari,” kataku dengan mengulurkan tangan untuk sekedar
berjabat tangan dengannya tetapi dia menarik tangannya dan meletakan di depan
dada, tanda bahwa dia tidak ingin bersalaman denganku, dengan aku yang belum
halal untuknya.
Aku pernah
membaca sebuah hadist yang artinya ditusuk
kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada
menyentuh wanita yang bukan mahramnya (HR. Thabrani dan Baihaqi) dan untuk
ke arah itu aku masih harus banyak belajar seperti halnya perempuan yang sedang
belajar menutup aurat, sebelumnya mereka beralasan ingin memperbaiki amal terlebih
dulu baru berjilbab tetapi yang perlu digaris bawahi adalah orang yang
berjilbab belum tentu baik tetapi orang yang baik pasti berjilbab. Dan untuk memperbaiki
amal langkah awal yang harus dilakukan ya berjilbab dulu, dan
selanjutnya biarkan mengalir begitu saja.
“Bagaimana
Nak Hari, bersedia mengantar cucu saya kan?” Tanya kakek yang mampu memecah
keheningan yang sejenak terjadi.
“Iya Kek,”
jawabku singkat.
“Sana Nduk,
siap-siap dulu,” Senja pun langsung masuk ke kamar untuk mengambil
berkas-berkas dan perlengkapan lainnya. Tak berapa dia pun keluar dari kamar
dengan jaket biru muda dan masker ungu di mulutnya.
“Pamit dulu
ya Kek,” kataku yang kemudian mencium tangan kakek dan diikuti oleh Senja yang
berpamitan kepada kakek.
“Yuk Dek,”
kataku yang menyuruh senja naik ke motorku.
“Bentar Kak,
aku ngeluarin motor dulu,” katanya yang langsung masuk ke garasi untuk
mengeluarkan motor beat putih yang memiliki plat nomor B.
“Naik motor
sendiri-sendiri?” Tanyaku dengan senyum kecut, karena aku nggak habis pikir,
kukira dia mau bonceng aku, ternyata faktanya sungguh diluar dugaanku.
“Iya Kak,”
ucapnya yang masih sibuk memanasi motor dan menggunakan helm.
“Nanti
jangan ngebut ya Kak, biar saya hafal jalan-jalan Jogja,” pinta nya.
“Oke.”
Jawabku singkat.
Setelah
motor Senja mesinnya sudah cukup panas, aku pun keluar dari halaman rumah kakek
dan diikuti Senja di belakangku. Ketika berada di jalan raya, aku selalu
menatap kaca spion, memastikan bahwa senja ada di belakangku, konyol banget sih
tapi lumayanlah dapat pengalaman baru yang lucu serta unik.
Tak berapa
lama kami pun tiba di kampus tempat Senja akan menuntut ilmu, dan aku pun juga
menawarkan bantuan untuk menemani dia mengurus administrasi penerimaan
mahasiswa baru, tetapi dengan sopan dia menolak dan menyuruhku menunggu di
parkiran.
Jam pun
sudah menunjukan pukul 3 sore, dan suara Adzan sudah terdengar berkumandang, ku
starterkan motorku dan menuju masjid kampus yang sudah terlihat ramai. Setelah
selesai Sholat Ashar, aku pun kembali ke parkiran tempat dimana Senja
menjanjikanku untuk menunggu.
Dari
kejauhan sudah terlihat sosok perempuan berjaket biru muda yang nampak
kebingungan mencariku, dilihatnya jam dan dibukanya hp. Mungkin dia bingung
bagaimana cara menghubungi ku, pasalnya aku belum memberikan nomor hpku padanya.
“Ehem,”
Senja pun langsung menoleh ke arahku dan terlihat sekali ketakutan di wajahnya
yang membuatku merasa bersalah.
“Maaf ya
Dek, tadi aku Sholat Ashar dulu,” kataku yang meminta maaf.
“Iya Kak, nggak
papa,” jawabnya dengan mencoba melebarkan bibir untuk sekedar menutupi rasa
takut yang ada di hatinya.
“Udah
selesai Dek?”
“Udah
Sholat?”
“Sudah Kak,
kebetulan lagi nggak sholat,” jawabnya yang langsung sibuk memakai masker dan
sarung tangan.
“Yuk Kak,
kita pulang,”
“Oke, kali
ini kamu yang di depan,”
“cuma
ngetes kemampuannmu mengingat, nanti aku ikuti dari belakang,” sebenarnya
alasanku menyuruhnya seperti itu karena aku tahu dia masih merasa takut dan aku
ingin memastikan bahwa aku tidak akan meninggalkannya lagi, aku akan
mengikutinya dari belakang dan ketika dia kebingungan aku akan maju ke depan
untuk memberikan arah jalan yang benar.
Beberapa
lampu merah dan pom bensin pun sudah kami lewati, dan aku baru ingat di sekitar
daerah ini ada tempat yang sangat indah. Aku pun mengode Senja untuk mengikuti
motorku. Kali ini aku berada di depan, dan lagi-lagi aku selalu melihat kaca
spion dan selalu ku pastikan Senja tak tertinggal jauh dariku.
“Tempat apa
ini Kak?” Katanya sesampainya kami di suatu tempat.
“Nanti kamu
bakal tau sendiri,”
“kita makan
dulu yuk,” kataku yang mengajaknya makan di sebuah warung.
“Nggak papa
kan makan di warung seperti ini?” Tanyaku.
“Iya Kak
nggak papa.” Jawabnya yang lagi-lagi selalu singkat.
Selama aku
dan dia makan, tidak ada obrolan sama sekali, mungkin karena ini pertemuan
pertama dan kami belum mengenal satu dengan yang lainnya atau mungkin Senja
memiliki sifat pemalu yang membedakan dia dengan perempuan lainnya, unik dan
lucu.
Setelah
kami selesai makan, ku ajak lah dia naik ke sebuah bukit. Bukit itu terkenal
karena pemandangannya yang indah. Banyak wisatawan yang menghabiskan waktu
sorenya di bukit itu untuk menyaksikan senja dari ketinggian.
“Sini Dek
duduk sini,” ucapku yang mempersilahkan dia duduk di samping orang-orang yang
asik foto selfie.
“Tempat apa
ini Kak?” Tanyanya.
“Ya,
seperti yang kamu lihat,”
“sebuah
bukit tempat untuk melihat matahari terbenam.” Jelasku yang kemudian langsung
duduk di sampingnya.
“Mau foto
kayak mereka nggak?” Tanyaku yang menujuk sekumpulan orang.
“Hehe,
boleh.” Aku pun kaget, itu tadi sebenarnya pertanyaan basa-basi, biar ada
obrolan antara kami, ee... ternyata dia mengiyakan tawaranku untuk foto bareng,
seneng bukan main dong pastinya.
Langsung ku
keluarkan HP baru ku OPPO A39, ku pasang wajah imut agar wajahku terlihat lebih
muda dan Senja pun tersenyum lebar hingga membuat matanya sipit.
“Em...
berarti dulu kamu lahir ketika senja ya? Kok namanya Senja?” Tanyaku basa-basi.
“Nggak,”
“aku lahir
jam 9 pagi malahan, jauh dari waktu senja.”
“Harusnya
namaku Dhuha kali ya, bukan senja.” Jawabnya yang kali ini mau mengeluarkan
banyak patah kata.
“Hehe, bisa
saja kamu Dek.”
“Terus
kenapa nama kamu Senja?” Tanyaku penasaran bukan lagi pertanyaan basa-basi!
“Karena aku
cucu pertama dari kakek, kakek ingin sekali memberikan nama untukku.”
“Karena
kakek suka sekali dengan senja, makanya aku dinamakan Senja,” jelasnya.
O.... jadi
kakek Subur juga penikmat Senja, pantas saja kemarin sore kita nyambung
ngomongin senja.
“Kalau kamu
sendiri, tipe penikmat senja atau bukan?” Tanyaku.
“Bukan!”
“Aku bukan
hanya penikmat senja, tetapi aku adalah penikmat waktu, menikmati waktu dengan
sebaik-baiknya, tidak menunggu datangnya senja ketika terbit fajar, dan tidak
menunggu malam ketika aku berada di siang hari.”
“Tapi aku
suka kok senja, langitnya indah,” tuturnya.
“Iya Indah,
kayak kamu,” kataku ketika aku terhipnotis dengan langit senja yang sedang ku
lihat saat ini.
“Apa, Kak?”
“Tadi Kakak
bilang apa?” Tanyanya yang menyadarkanku dari lamunan.
“Iya katamu
senja itu indah, ya berarti kamu itu indah.” Jelasku.
Senja
memang penuh cerita, kali ini menceritakan pertemuan pertamaku dengan perempuan
manis bernama Senja, dan untuk cerita senja-senja selanjutnya biarkan waktu
yang akan menjawab, yang jelas banyak pengalaman yang aku dapat dari tiga senja
yang aku nikmati berturut-turut. Pertemuan ku dengan sosok kakek yang bersahaya
membuatku lebih mensyukuri hidup, dan pertemuanku dengan gadis bernama Senja
membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
Dan untukmu
wahai perempuan yang baru aku kenal, umurmu masih muda, gunakan kesempatan
dengan sebaik-baiknya, carilah ilmu, teman dan pengalaman jangan pernah mencoba
bermain hati, aku tak mau kau merasakan sakit yang pernah aku rasakan, simpan
hatimu baik-baik untuk dia yang telah ditakdirkan untukmu, dan aku berharap dia
itu adalah aku. Aku yang mengagumimu sejak pertama bertemu, aku yang jauh dari
kata sempurna dan aku yang terlalu berharap menjadi bagian dari hidupmu.
Semoga
senja-senja yang akan datang membawa jawaban tentang pertanyaanku, tentang hati
yang sepertinya sudah terisi kembali, menggantikan posisi dia yang sudah lama
ingin ku lupakan. Dan untuk dia yang pernah membuatku terluka, semoga senja mu
juga bermakna hingga membuatmu sadar betapa bahagianya ketika hidup dalam kesederhanaan,
bukan hanya soal materi tapi juga kebahagiaan hati.
#The End#