Selasa, 24 Maret 2015

Aku


Aku

Aku adalah seorang anak laki-laki yang berusia 10 tahun, aku tinggal di sebuah desa yang jauh dari kebisingan lalu lintas. Sekeliling rumahku tak lain dan tak bukan adalah kebun, dan depan rumahku adalah jalan setapak. Aku tinggal bersama kakek dan nenekku, dan sudah dari kecil aku bersama mereka, aku sangat menyayangi mereka melebihi sayangku kepada kedua orang tuaku, ya Ayah dan Ibu.
Aku adalah seorang anak laki-laki yang menjadi bahan pembicaraan banyak orang termasuk dari kalangan saudaraku, semua membicarakanku karena aku berbeda dengan mereka, dan itulah yang ku cari selama ini, menjadi bahan pembicaraan adalah bentuk dari sebuah perhatian, mereka akhirnya memperhatikanku walaupun dengan omongan-omongan yang kadang memojokkanku, ya itulah resiko menjadi aku.
Aku bertubuh sehat walaupun aku kurus dan aku bisa melihat, mendengar dan berbicara dengan baik tak seperti adekku yang maaf, tidak bisa berbicara dengan baik. Tumbuh kembang adekku terganggu saat dia masih bayi, saat yang lain bisa tengkurap dan duduk dengan baik, adekku tidak bisa melakukannya, dia hanya bisa berbaring di tempat tidur dan kalaupun ibukku mencoba mendudukkannya adekku terjatuh, kata dokter tulang punggung adekku belum kuat untuk menyangga berat badannya.
Berbagai cara telah dilakukan ayah dan ibuku untuk kesembuhan adek, datang ke orang pintar pun telah mereka lakukan. Kata orang pintar ada seseorang yang membuat adek seperti itu dan katanya lagi orang itu adalah mantan istri dari ayahku, itu artinya ibu kandungku yang melakukannya.
Ya benar, aku adalah anak yang sehat di tubuh tapi sakit di hati. Aku adalah anak yang merindukan belaian kasih dan sayang dari ayah dan bundaku. Walaupun kasih dan sayang dari kakek dan nenekku lebih dari cukup tapi aku tetaplah seorang anak kecil yang selalu merenggek apabila jauh dari orangtua. Tapi sayangnya tangisanku tak mereka dengarkan dan akhirnya mereka memilih jalan untuk berpisah.
Lantas, siapa yang harus aku salahkan atas peristiwa ini, ayahku? Ah itu tidak mungkin, sekarang aku tinggal bersama kakek dan nenek, orang tua dari ayahku, itu artinya keluarga dari ayahkulah yang merawatku sejak kecil, atau bundaku yang tak mau mengurusku? Itu tidak mungkin lagi, karena aku tahu bundaku sangat tersakiti atas peristiwa ini, peristiwa dimana dia harus melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama, terus siapa yang harus aku salahkan? Tuhan? Itu sangat-sangat tidak mungkin, Dia telah memberikan nikmat yang luar biasa kepadaku, dan saat Dia memberiku cobaan seperti ini aku menyalahkan Nya? Itu sepertinya tak adil. Saat-saat bahagia aku tak pernah bertanya kepada Tuhan kenapa aku yang harus bahagia, dan saat dimana aku sedih aku bertanya mengapa harus aku yang mengalaminya? Ah, sungguh hamba yang tak tahu diri, dan aku tak ingin melakukannya, yang jelas ini sudah jalanNya, aku hanya bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas walaupun hati selalu berontak.
Dan aku tak terima dengan omongan orang pintar yang menyebutkan bundaku lah penyebab tumbuh kembang adek menjadi lambat, aku benar-benar tidak terima. Bundaku adalah orang yang baik, walaupun beliau terkenal galak dan suka bicara dengan nada keras, itu karena dulu bundaku tinggal di sebuah pegunungan yang sangat pelosok, jadi karakter beliau berbeda dengan karakter keluarga di desa, ah aku jadi rindu bundaku, Bunda dimana kau? Aku sekarang sudah besar Bun, jengguklah aku dan peluklah aku, aku benar-benar merindukanmu.
Aku tahu kehidupan bundaku setelah berpisah dengan ayah sangatlah sulit, terakhir aku mendengar berita bahwa bundaku bekerja dan sudah menikah, tapi aku tak tahu dimana beliau bekerja dan dengan siapa bunda menikah, aku benar-benar tak tahu. Tapi yang aku tahu adalah bundaku terluka karena mengetahui ada seorang wanita yang hamil dan ayah harus menikahinya.
Dahulu aku dan bunda tinggal bersama di desa, dan ayah bekerja di kota, setiap lebaran beliau selalu pulang untuk berkumpul bersama kami, sungguh harmonis sekali saat itu, tapi suatu ketika ada kabar tak baik dari kota yang mengabarkan bahwa ayah harus menikah lagi, bundaku langsung menangis mendengar kabar itu, tak berapa lama kemudian bunda pergi dari rumah nenek tanpa pamit, dan aku ditinggalkan sendiri di rumah nenek.
Berapa tahun kemudian setelah ayah menikah lagi, bunda kembali ke rumah nenek dan semua keluarga membicarakan tentang bundaku, kata mereka kenapa datang ke sini lagi, kan suaminya sudah menikah, dia sudah nggak punya hak untuk datang ke sini! Awalnya bunda tak ambil pusing dengan omongan itu, tapi lama kelamaan bunda tak nyaman berada di rumah nenek dan akhirnya beliau pergi lagi tapi kali ini bunda sempat berpamitan pada nenek dan aku.
Kata bunda, aku harus jadi anak yang baik, nurut sama kakek dan nenek. Katanya lagi, beliau sangat menyanyangiku dan akan tetap menyayangiku sampai kapanpun, tapi kenapa beliau meninggalkanku? Jika bunda menyayangiku seharusnya beliau tetap berada di sisi ku sampai kapanpun. Ya, itulah yang bisa aku pikirkan saat itu, dimana saat itu aku tak tahu pasti apa itu perpisahan, yang ku tahu aku punya ibu baru dan bundaku pergi meninggalkanku.
Setelah kepergiaan bundaku untuk yang kedua kali ini, ada sebuah surat yang datang dari pengadilan agama yang menyatakan bahwa bunda menggugat cerai ayah yang saat itu berada di kota, dan nenekku lah yang mengurus semua hingga jatuhlah kata cerai. Dan itu berarti ayah dan bunda takkan bisa bersatu seperti dulu, aku benar-benar menyayangkan hal itu.
Aku benar-benar merasa sendiri, tak ada lagi tempat untuk aku berkeluh kesah dan menyandarkan kepala jika aku merasa lelah. Pasti timbul pertanyaan Bagaimana dengan kakek dan nenekmu, dia juga menyanyangimu kan? Apa dia tak bisa menggantikan posisi bundamu yang menjadi tempatmu berkeluh kesah? Ya, memang mereka bisa menggantikan posisi bundaku, karena mereka sangat menyayangi aku, tapi sayangnya mereka tak punya waktu lebih seperti bundaku dulu, yang selalu memperhatikanku setiap saat.
Setiap pagi kakek dan nenekku berangkat ke sawah dan pulang ketika matahari sudah condong ke arah barat, dan malamnya mereka memang bersamaku tapi tubuh mereka terlalu lelah untuk ku jadikan tempat keluh kesah. Itulah yang membuat aku merasa sendiri.
Layaknya anak-anak yang baru pertama kali bersekolah, pasti banyak hal-hal yang ingin mereka ceritakan kepada kedua orang tua mereka, mulai dari teman-teman yang ada di kelasnya sampai pelajaran yang mereka anggap sulit, itulah yang tak ku dapati sekarang.
Pada siapa aku harus bercerita dan pada siapa aku harus menanyakan pelajaran berhitung yang belum bisa aku kuasai? Jika aku terlahir sebagai wanita menangis adalah jurus andalanku, menangis karena merasa kesepian di rumah, menangis karena ada masalah di sekolah dan menangis karena merindukan ayah dan bundaku. Tapi aku adalah seorang laki-laki, walaupun aku masih kecil, rasanya malu jika aku harus menangis, yang ku bisa adalah berusaha untuk terlihat baik-baik saja, walau hati terluka.
Kondisi itulah yang membuatku sering membolos sekolah, dan akhirnya keluar dari sekolah dasar sekitar satu tahun lamanya. Saat-saat aku tak bersekolah aku merasakan yang namanya kebebasan, bermain sesukaku tanpa dibayang-bayangi jam belajar. Dan aku mendapatkan teman yang cukup banyak di luar sana. Mereka juga memiliki latar belakang seperti aku, walaupun keluarga mereka utuh tapi kasih sayang dari orang tua tak mereka dapatkan.
Setiap malam kami sering berkumpul dan bermain bersama, kakek dan nenekku awalnya melarangku keluar malam, tapi karena mereka merasa kasihan melihatku murung, akhirnya mereka membiarkanku keluar malam. Dan itulah yang menjadikanku berbeda dari saudara-saudaraku, aku sudah dicap anak nakal karena keluar dari sekolah dan bermain bersama orang-orang yang juga dicap nakal, mereka memang mengkhawatirkan masa depanku, tapi mereka tak bisa merasakan apa yang kurasakan, dan dengan berteman bersama merekalah aku bisa bahagia.
Tapi untungnya masa nakalku tidak berlangsung lama, berkat nasehat dari kakek, nenek, dan bibiku aku mau kembali bersekolah dengan mengganti sekolah yang dulu jauh ke sekolah yang dekat dengan rumah. Ya, selain kakek dan nenek, di rumah ada bibiku yang juga menyayangiku, tapi karena bibiku masih bersekolah, jadi dia tidak begitu memperhatikanku layaknya kakek dan nenek.
Walaupun aku kembali lagi ke bangku sekolah, tapi aku tak bisa meninggalkan teman-temanku, tiap malam aku berkumpul bersama mereka, entah itu bermain play station atau sekedar jalan-jalan malam mengelilingi desa, dan setiap orang yang berpapasan dengan kami selalu menyarankan kami untuk segera pulang dan belajar di rumah, dan kami hanya mengiyakan saran tersebut tanpa melakukannya.
Mari kita tinggalkan cerita tentang pergaulanku yang membuatku bahagia tapi membuat khawatir orang di sekitarku itu, dan beralih ke cerita tentang adekku yang berbeda ibu itu. Sempat ku berpikir, mungkin kondisi adek yang seperti itu adalah ganjaran dari Tuhan untuk ayahku, karena ayah telah membuat bunda menangis dan meninggalkan rumah ini. Sebenarnya aku tak tahu perkembangan adekku dengan baik, karena adek berada di kota bersama ayah dan ibu. Dan aku hanya bisa bertemu dengan mereka satu tahun sekali, yups waktu lebaran.
Dan saat lebaran tiba, betapa senangnya aku karena aku bisa melepas rindu dengan ayahanda tercinta, tetapi sayangnya perhatian mereka tertuju kepada adek. Tak hanya ayah dan ibu yang pulang tetapi juga bibiku yang lain yang juga membawa suami dan anak mereka sehingga rumah nenek terlihat penuh, kalau dihitung ada dua belas orang dalam satu rumah, dan itu sungguh menggangguku, mereka asik dengan kehidupan mereka sendiri dan sama sekali tak memperhatikanku.
Saat aku melihat bibiku yang menggendong dan menyuapi sepupuku yang itu artinya anak mereka, sejujurnya membuatku iri. Apakah mungkin bundaku akan ke sini lagi dan menggendongku layaknya dahulu kala, ah tak mungkin. Dan jikalau mungkin, aku akan berdoa kepada Tuhan, agar bunda ke sini bukan di saat hari lebaran, karena itu hanya akan menyebabkan pertengkaran antara bunda, ayah dan ibu.
Ibu ku sekarang berbeda dengan yang dulu, beliau lebih ramah dan suka berbicara, cara berbicaranya pun lebih halus dari bundaku, dan itulah yang menyebabkan nenekku langsung menyukai ibu.
Ibuku bukan layaknya ibu tiri yang kejam, beliau sangat baik. Beliau selalu mengingatkanku untuk makan dan memberi ku uang ketika akan balik ke kota, entahlah itu uangnya sendiri atau uang ayah.
Ngomongin tentang uang ayah, aku jadi ingat waktu dulu. Dulu aku pernah meminta ke ayah untuk membelikanku sebuah handphone, dan apa yang terjadi? Bibiku berkomentar banyak sekali, dan beliau meminta ke ayahku untuk membelikan hand phone yang jelek saja, yang penting bisa buat sms atau telfon, lagian seusaiku saat itu mau sms atau telfon siapa?
Miris sekali, aku tidak pernah meminta apapun ke ayah, dan giliran aku meminta sesuatu dibelikan yang jelek, oke itu memang hand phone, tapi setidaknya ayah tahu kalau aku jarang mendapat kasih sayang beliau, dan seharusnya beliau membelikanku barang yang bagus sebagai gantinya.
Tapi tak apalah, aku tahu kehidupan di kota sangat sulit, banyak sekali pengeluaran terlebih lagi untuk membelikan susu adek. Jadi aku bisa terima kok kalau ayah membelikanku hand phone bekas jaman dulu.
Itulah sedikit cerita tentang aku, ku tahu di luar sana banyak anak yang memiliki nasib sepertiku bahkan lebih berat dariku, ada yang harus tinggal di panti asuhan sejak kecil, sehingga mereka tak tahu siapa orang tua mereka entah sudah meninggal atau masih hidup.
Aku bersyukur, walaupun aku dibesarkan di dalam keluarga yang tak utuh, tapi berkat kakek dan nenekku aku bisa merasakan indahnya kebersamaan dan kasih sayang. Dan dari situ aku paham, ternyata perceraian itu tak ada manfaatnya sama sekali, mereka hanya beradu ke egoisan, dan mengharuskan egonya menang dengan cara mengajukan surat cerai ke pengadilan agama dan tak mengikuti proses mediasi, dimana proses itu bisa mempersatukan dua pikiran yang berbeda dan bisa menjadi perenungan dari masing-masing pihak.
Mereka tak memikirkan nasib buah hati mereka, bagaimana supaya tidak terluka karena kejadian ini, yang mereka lakukan hanyalah berebut hak anak. Sebenarnya apa sih hak anak itu? Apakah menurut mereka hak anak adalah hak pribadi mereka sendiri, yang harus mereka dapatkan dengan menyingkirkan orang lain? TIDAK!! Dipelajaran PKn kelas 1 SD, sudah jelas sekali, hak anak adalah mendapatkan kasih dan sayang dari kedua orang tua, itu artinya ayah dan bunda, bukan salah satu diantaranya!
Ah, sungguh membuatku pusing jika memikirkan tentang kehidupan orang dewasa. Mungkin mereka lupa, bahwasanya mereka pernah menjadi anak-anak yang sangat dekat dan tergantung dengan ayah dan bunda, jadi mereka tak mau bahkan tak bisa merasakan bagaimana jadinya kalau ada anak kecil harus jauh dari kedua orang tua mereka.
Tapi satu hal yang tak pernah ku lupakan dari kelamnya kehidupan masa kecilku ini, yaitu tentang perasaan. Aku bisa merasakan semuanya, aku bisa menghargai waktuku ketika berkumpul dengan ayah, berbeda dengan orang lain yang tak pernah menjadi aku, mereka punya keluarga lengkap dan punya waktu luang yang banyak, tapi sayangnya mereka selalu pergi meninggalkan rumah dan tak ada waktu yang mereka sisakan untuk berkumpul bersama ayah dan bunda.
Dan karena perasaanku itulah, aku tak mau jika kelak aku memiliki anak, anakku merasakan apa yang kurasakan, aku benar-benar tak mau! Aku ingin anakku kelak merasakan indahnya kebersamaan bersama ayah dan bunda dan aku tak mau melihat air mata yang jatuh dari anakku karena merindukan sosok ayah dan bunda, aku akan selalu ada disaat anakku membutuhkanku.
Ah khayalan yang teramat jauh. Dari pada menghayal masa depan yang masih jauh, lebih baik menjalani hari ini dengan usaha terbaik yang ku muliki, ku coba tak akan mengeluh lagi dan akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Sekian dari aku.

The End

Jumat, 13 Maret 2015

Sobat, Maafkan Aku


Sobat, Maafkan Aku

Hari ini nampak jelas keceriaan di wajah Ara, pasalnya ada bulatan spidol hitam di kalendernya. Tanggal 6 Januari 2015 adalah tanggal yang ditunggu Ara, dia selalu membuat tanda silang disetiap tanggal yang telah ia laluinya, dan sekarang adalah saat yang ia nanti-nanti.
Dengan pakaian terbaiknya, dia melangkah pergi meninggalkan rumah, tak lupa ia mampir sebentar di sebuah resto yang cukup terkenal di kotanya. Setiap hari Ara selalu mendatangi Fresh Resto, bukan untuk memuaskan perutnya akan tetapi untuk bertemu dengan sosok laki-laki yang amat dekat dengannya. Laki-laki itu bernama Jono, tetapi agar lebih modern, dia memanggil Jono dengan sebutan John.
Di Fresh Resto John terkenal sebagai koki yang handal, dan Ara terkenal sebagai pengamat dapur, karena setiap kali mendatangai Fresh Resto selalu saja dapur yang menjadi tujuannya.
“John, lagi sibuk ya?” Tanya Ara sesampainya di dapur Fresh Resto.
“Eh, Ara. Tumben jam segini dah datang, biasanya sore,” kata John yang sedang sibuk meracik bumbu.
“Hari ini nggak ada jadwal kuliah, jadi ke sininya pagi deh.”
“Lagi masak apa John?” Ara pun mendekati John dan mencicipi bumbu yang sedang ditumbuk John.
“Hem, bumbunya pas. Pasti dikasih merica kan ini?” Asal Ara.
“Sok tahu banget, bedain antara merica sama ketumbar aja kamu nggak bisa, ini bisa-bisanya nyebut kalau bumbunya pakai merica.”
“Terus apa dong bumbunya?”
“Rahasia perusahan tidak boleh dibocorkan, em.m kayaknya baju mu baru ya Ra?” Tanya John yang kemudian memperhatikan penampilan Ara.
“That’s right baby, baju ini khusus ku persiapkan untuk hari ini.”
“Hari ini, Randy jadi pulang?” Tanya John penasaran.
“Ya iyalah. Hari ini dia pulang, dan bakal menetap di sini la..gi,” kata Ara dengan senangnya.
“Cie yang nggak bakal LDR lagi. Yaudah sana ke stasiun, ngapain kok masih di sini?”
“Hehehe, oke deh. Aku pergi dulu ya,” dengan sumringah dan semangatnya Ara langsung pergi meninggalkan John dan menuju ke stasiun untuk menjemput sang kekasih.
John senang melihat Ara yang tak seperti biasanya, biasanya Ara selalu terlihat murung ketika melihat sepasang kekasih yang sedang berduaan, pasalnya selama kurang lebih satu tahun Ara menjalin hubungan jarak jauh dengan Randy.
Sementara itu, Randi yang sudah tiba di stasiun nampak menunggu seorang gadis yang berambut panjang bergelombang yang tak lain dan tak bukan gadis itu adalah Aralia. Selang beberapa menit ada sebuah motor Beat yang terparkir di parkiran stasiun, yups itu adalah Ara.
Randi yang sudah melihat kedatangan Ara, mencoba untuk mengagetkan Ara dengan bersembunyi di semak-semak daun tehtehan. Ketika Ara berjalan mendekat ke arahnya, dengan cepat Randi keluar dari tempat persembunyiannya dan mengagetkan Ara.
“Aaaa…” teriak Ara karena kaget.
“Randy!Kata Ara setelah dia tahu bahwa yang ada di hadapannya itu adalah Randi.
“Ara!” balas Randy dengan nada yang sama persis dengan yang diucapkan Ara tadi.
“Randy,” Ara pun memeluk erat Randy yang masih menggendong tas ransel besar.
Randy pun membalas pelukan dari Ara dengan melingkarkan tangannya ke pinggang Ara. Semua yang lalu lalang di stasiun menyempatkan untuk menoleh ke arah Randi dan Ara, mereka terlihat antusis melihat secara langsung adegan romantis layaknya di sebuah sinetron dan film.
Karena sadar menjadi tontonan, Ara pun melepaskan pelukannya, begitu juga Randy.
“Dari mana saja kamu, aku sudah lama nunggu kamu di sini,” tanya Randy.
“Maaf, tadi aku mampir ke Fresh Resto dulu,”
“Ran, kamu kok tambah gemuk sih? Makmur ya di sana? Coba lihat aku, tambah kurus kan? Itu karena salahmu, keseringan mikir kamu ni akunya” kata Ara dengan nada manja.
“Siapa suruh mikirin aku, aku aja nggak pernah mikirin kamu,” ledek Randi yang langsung berjalan menuju parkiran.
“Hloh, kok gitu sih Ran?” Ara pun mengikuti langkah Randi dengan wajah yang masih semrawut karena tahu Randy tidak pernah memikirkannya.
Sambil tersenyum ke arah Ara, Randi pun menjawab,
“iya, aku nggak pernah mikirin kamu, tapi selalu memimpikan kamu.”
Senyum Ara pun terkembang setelah mendengar percaan (bahasa Indonesia dari gombal) dari Randy.
“Sini kuncinya, biar aku yang di depan,” kata Randy.
“Ini,” setelah mencari kunci di tasnya, Ara langsung memberikan kunci ke Randy.
“Katamu tadi, kamu mampir di Fresh Resto ya? Si John masih kerja di sana?” Tanya Randy.
“Hem,”
“Betah ya dia, kapan-kapan ajak aku ke Fresh Resto juga dong. Pengen ngrasain masakannya John lagi.”
“Ya besok kalau longgar kita ke sana deh,” kata Ara yang nampaknya lupa kalau tiap hari entah itu longgar atau tidak ia selalu menyempatkan ke tempat kerja sahabatnya itu.
“Sini Ran tasmu biar aku gendong aja,”
“Hati-hati, berat hlo ini,” Randy pun melepaskan tas ranselnya dan memberikan ke Ara.
“Ini mah ringan, lebih beratan cintaku ke kamu,” gumam Ara.
“Yuk naik,” kata Randy,
Setelah hari itu,  Ara melewati hari-hari berikutnya dengan ceria dan pastinya ia lewati bersama sang pujaan hati. Terkadang Ara membolos kuliah hanya untuk pergi bersama Randy.
Ara tidak mau menyianyiakan waktu berharganya dengan Randy begitu saja, karena Randy hanya mempunyai waktu libur satu minggu, dan setelah itu Randy kembali bekerja.
Hari demi haripun telah mereka lalui, dan tak terasa sudah satu minggu berlalu, memory hp Ara pun penuh dengan foto kebersamaan mereka, dan pemberitahuan di sosial media juga penuh dengan beberapa komentar di foto yang ia unggahnya. Dan itu berarti selama tujuh hari Ara tidak pernah absen di Fresh Resto, yups tempat si John bekerja.
John dan Ara adalah sahabat karib, saking karibnya jadi kerep (kerep = sering), setiap ada Ara pasti ada John, dan begitu pula sebaliknya. Mereka adalah teman satu kelas saat SD dan SMA. Sifat-sifat Ara pun sudah John ketahui, mulai dari yang terlihat kasat mata sampai yang paling disembunyikan oleh Ara.
Sifat buruk Ara yang sudah dimaklumi oleh John adalah ketika Ara mendapat teman baru teman lama terlupakan, terlupakan hlo ini bukan dilupakan, jadi dengan tidak sadarnya Ara melupakan kehadiran John saat Randy ada di sampingnya. Dan saat-saat tertentu ingatan Ara tentang John akan datang kembali, entah itu tatkala ada masalah ataupun ada keperluan yang sangat penting. Dan sepertinya hari itu telah tiba, hari dimana Ara teringat dengan John, yups dia mendatangi Fresh Resto setelah sekian hari tak mengunjungi sahabatnya itu.
“Baru kelihatan kamu Ra, darimana saja kamu?” Tanya Fika, salah satu karyawan Fresh Resto yang sudah Ara kenal sejak lama.
“Hehe, biasa anak muda Kak, kayak nggak pernah muda aja,” jawab Ara.
“Oh, masih muda ya kamu, kirain dah tua.”
“Cepetan Ra ke dapur sana, ada yang berubah dari John. Sepertinya ada masalah deh dia,” tambah Fika.
“Oke,” kata Ara yang kemudian langsung berjalan menuju dapur.
“Dor!” Ara pun mencoba mengagetkan John.
“Eh Dewi Persik eh iya Dewi Persik,” kata John latah karena kaget.
“Cie yang ngefans sama Dewi Persik, latahnya pun tak jauh dari namanya,”
“Ada apa Ra, tumben ke sini?” Sindir John.
“Justru aku yang mau tanya ke kamu, kamu ada masalah apa? Kok mukamu asam banget hari ini,” tanya Ara yang dengan saksama memperhatikan ekspresi John.
“Aku putus sama Via,” kata John singkat.
“What?”
“Kok aku baru tahu, kapan putusnya, terus siapa yang mutusin? Kamu atau dia?”
“Empat hari yang lalu, aku yang mutusin, ternyata dia selingkuh. Dia punya pacar di kampusnya,” jawab John singkat.
“Tu kan, kamu sih nggak percaya ma aku, aku kan dah pernah bilang ati-ati kalau pacaran sama anak kuliahan, ya kalau dia baik kalau dia cuma ngincer uangmu,”
“Berarti si Randy harus hati-hati dong sama kamu, kamu kan anak kuliahan dan dia sudah bekerja, siapa tahu kamu ngincer uangnya” kata John yang membuat Ara cengar-cengir karena omongannya kena dia sendiri.
“Aku mah beda, aku tulus mencintainya,” bela Ara.
“Ya udah lah John nggak usah terlalu dipikirkan, ambil hikmahnya aja,”
“Eh, John ajarin cara masak tumis kangkung bumbu pedas dong, si Randy pengen ngrasain masakanku padahal aku nggak bisa masak,” kata Ara yang akhirnya menyampaikan maksud dan tujuannya.
“Oke dengerin baik-baik ya,” dengan muka yang masih masam John menjelaskan bahan, bumbu dan cara memasak tumis kangkung bumbu pedas, dan Ara mendengarkan penjelasan John dengan konsentrasi ada pada gadgetnya.
“Kamu dengerin aku nggak sih Ra?” Tanya John yang kali ini kesal karena melihat Ara asik dengan gadgetnya.
“Iya, iya aku dengerin kamu kok,” Ara pun langsung memasukan gadgetnya di tas dan mulai memperhatikan John.
“Terus apa? Udah gitu aja cara masaknya?” Tanya Ara yang baru menyadari bahwa John sudah selesai berbicara.
“Hem,” jawab John singkat.
“Oke John aku dah paham kok, makasih ya.”
“Oh iya, besok Randy mau ke sini, mau nyoba masakanmu sama masakanku enakan mana, besok tolong keluarkan masakan gagalmu ya, biar masakanku lebih enak dari masakanmu,” tambah Ara sebelum ia pamit pulang.
“Udah dulu ya John aku mau siap-siap masak buat besok,”
“yang sabar ya, tetap semangat!” Kata Ara yang kemudian pergi.
“Cepat sekali dia perginya? Biasanya kalau lihat kamu cemberut dia langsung nyanyi dan goyang gergaji ala dewi persik, hla sekarang? Mukamu lebih dari asam, e dia malah pergi begitu aja,” komentar Nofal, salah satu koki di Fresh Resto.
“Biarlah,” kata John sedih.
Suasana hati John saat ini sangatlah kacau, dia kecewa karena mengetahui bahwa Via memiliki kekasih selain dirinya, dan kekecewaannya bertambah saat mengetahui sahabatnya berubah. Saat-saat seperti ini John sangat membutuhkan sosok sahabatnya itu, John orang yang gengsi dan hanya di hadapan Ara sajalah John bisa menjadi dirinya sendiri, dia bisa menghilangkan sifat gengsi dan bisa menangis sekencang-kencangnya karena kondisi hati yang sedang gundah gulana.
Tetapi sekarang, Ara tak mempunyai waktu untuk dia, jangankan untuk tempat ia menangis, tempat untuk bercerita saja pikiran Ara kemana-mana, nggak fokus sama John, disitulah kadang John merasa sedih, sabar ya John.
Dilain tempat, Ara yang baru saja tiba di rumahnya langsung menuju ke dapur, ketika melihat Ara yang sedang berada di dapur ibu Ara syok dan menge`jek Ara dengan sindiran mautnya, tetapi Ara tidak mengubris dan terlihat asik bermain pisau.
“Jangan kau ubah dapur ini menjadi gudang, kalau sudah selesai masak dibersihkan semuanya,” kata ibu Ara.
“Shiap Bu,”
Dengan kikuk Ara mengiris kangkung yang masih terikat dengan tali dan mulai meracik bumbu seperti yang dikatan John, Ara mencoba mengingat apa yang dikatakan John, nampaknya dia lupa takaran-takarannya. Dan dengan jurus prakiraannya yang tak pernah meleset, tanpa ragu-ragu Ara langsung memasukan bumbu-bumbu itu, dan berapa menit kemudian masakan Ara pun sudah jadi.
Karena ingin Randy yang pertama kali merasakan masakannya, Ara sama sekali tidak mencicipi masakannya dan langsung ia masukan ke dalam kulkas.
Pagi telah tiba, Ara langsung menuju ke dapurnya untuk mengukus sayur yang ia masak kemarin sore, setelah semua dirasa beres dengan langkah pasti Ara langsung tancap gas menuju Fresh Resto.
“Hai Kak, sekarang aku datang sebagai konsumen hlo, bukan pengamat dapur,” sapa Ara setibanya ia di Fresh Resto.
“Keinginanmu perintah bagiku,” ledek Fika.
“Mau pesen apa Neng Ara,” tambah Fika.
“Sayur badai yang gagal,”
“Kok yang gagal?”
“Ya pokoknya nggak enak dirasa, bilang aja ke John kalau yang pesen itu aku, dia dah tahu kok,” kata Ara dengan nada sinisnya.
“Siap Neng,” Fika langsung menuju ke dapur dan menyampaikan pesanan Ara kepada John.
Karena tidak mau merusak citra Fresh Resto yang selalu menghadirkan masakan-masakan segar dan enak di rasa, John tidak mengurangi takaran bumbunya, justru dia ingin membuat masakannya itu lebih enak dari biasanya, dia berangapan bahwa seenak-enaknya masakan dia, pasti Randy mengatakan lebih enak masakan Ara, jadi dia tak akan membuat masakannya menjadi buruk, dan dia ingin melihat respon dari Randy saat merasakan masakan Ara dan dirinya.
“Ini Neng,” kata John dengan membawakan semangkuk sayur yang terlihat berantakan, yups namanya aja sayur badai.
“Udah kamu pastikan kalau ini rasanya nggak enak kan?” Tanya Ara memastikan.
“Ya lihat aja ntar,”
“Hey, maaf lama,” sapa Randy yang baru saja datang.
“Hey John, lama nggak ketemu,” Randy pun berjabat tangan dengan John.
“Wow, sayur apa ini? Dari fisiknya aja terlihat semrawut apa lagi rasanya,” tambah Randy yang melihat sayur yang ada dihadapan John.
“Ini sayur badai namanya, menu andalan kami,” jelas John.
“Ups maaf John, saya coba dulu ya,” Randy langsung duduk dan mengambil sendok yang terletak di samping mangkuk kemudian menyruput sayur badai yang sudah ia sendoki.
“Em.m enak,”
“Ups, jangan dimakan lagi, ntar kamu kenyang, terus masakkanku siapa coba yang makan,” kata Ara yang mengeluarkan tempat makan yang sudah berisi sayur kangkung.
“Wow, sayur kangkung. Kelihatannya enak, sini-sini biar aku makan,” kata Randy antusias.
Dari fisiknya, masakkan Ara terlihat lebih rapi daripada sayur badai yang dibuat John, tapi dari rasanya, hem.m terlihat sekali dari ekspresi Randy setelah ia makan satu sendok dari masakan Ara. Setelah makan masakan dari John, ekspresi Randy terlihat datar-datar saja, tetapi setelah Randy merasakan masakkan dari Ara, alis Randy pun berkerut dan bibirnya manyun.
“Ada apa Ran, nggak enak ya?” Tanya Ara yang sedari tadi memperhatikan ekspresi dari Randy.
Randy langsung meletakan sendok yang ia pegang, kemudian meminum segelas air putih yang sudah berada di atas meja. Karena tak mau menyakiti hati kekasihnya itu, dengan berhati-hati Randy mengatakan yang sebenarnya.
“Em, kamu harus belajar lagi Ra sama si John, biar rasanya semantab masakkan John,” jelas Randy.
“Jadi masakkanku nggak enak?” Tanya Ara sedih.
“Bukan begitu,” kata Randy yang terpotong.
“Apa kamu nggak tahu perjuanganku membuat masakkan ini?”
“Baru pertama kali ini aku membuat sebuah masakan sendiri, dan ternyata respon darimu tak seperti yang ku harapkan.”
“Sudah nggak usah dimakan!” Kata Ara yang langsung menutup tempat makannya dan langsung pergi meninggalkan Randy dan John.
Randy langsung mengejar Ara yang marah karena tersingung dengan ucapannya, sedangkan John masih saja duduk termenung sambil melihat toples yang berisi masakkan Ara, dia langsung mengambil tempat makan itu. Dengan perlahan tapi pasti John mencoba masakan Ara. Berbeda dengan Randy yang raut wajahnya berubah setelah merasakan masakan Ara, raut wajah John tidak berubah sama sekali dan ia terus menyendoki tumis kangkung itu hingga tersisa satu sendok, saat akan menghabiskannya tiba-tiba ada panggilan dari bagian dapur yang mengharuskan John kembali ke tempat kerjanya, tak lupa ia membawa tempat makan itu bersamanya.
Kembali ke Ara, setelah mendapatkan penjelasan yang sejelas-jelasnya dari Randy, Ara langsung kembali masuk ke Fresh Resto sendiri. Wajah kecewa masih tampak jelas di wajahnya, walaupun sudah mengerti yang Randy katakan, tetap saja Ara masih merasa sangat kecewa.
“Walaupun rasanya nggak enak, tapi seharusnya dia menghabiskan masakanku. Kalau bukan karena rasa setidaknya dia menghabiskan masakanku karena perjuanganku. Perjuanganku untuk membuat masakan untuknya, ah sudahlah.”
“Kak, tau toples makananku nggak?” Tanya Ara pada Fika setelah melihat toples miliknya tidak ada di atas meja.
“Tadi di bawa John masuk,” jawab Fika.
Ara langsung menuju ke dapur, dan melihat isi toples makanannya sudah hampir habis,
“perasaan tadi masih banyak kenapa ini tinggal sedikit,” kata Ara yang kemudian memakan sisa masakkannya itu.
“Astaga asin banget,” Ara langsung mengeluarkan makanan yang sudah sempat masuk ke mulutnya.
Aku aja nggak kuat makan masakanku sendiri, kenapa aku mengharuskan Randy menghabiskan masakanku, oh Randy maafkan aku.”
“Hey Ra, sini tempat makanmu ku cucikan!”
“Tadi mau aku cuci, tapi masih ada makanannya jadi ku tunggu sampai John memakan habis masakanmu itu, dan ternyata sekarang sudah habis,” jelas Nofal.
“Jadi John yang menghabiskan masakkan ku?” Tanya Ara dengan muka tanpa ekspresi alias ngeblank.
“Yups,” kata Nofal yang kemudian pergi untuk mencuci tempat makan Ara.
“Dor!”
“Hey, dilarang melamun di dapur,” kata John yang tiba-tiba datang.
“John tadi tempat makanku masih banyak sayurnya dan kamu yang,”
“Oh iya, tadi di depan ada customer karena tempat duduk penuh, nah tempat duduk kita tadi dibersihkan sama karyawan termasuk tempat makanmu, mungkin isinya dibuang sama mereka,” kata John yang berusaha memotong perkataan Ara.
“Oh iya ini tempat makanmu dah bersih,” John langsung mengambil tempat makan yang dibawa Nofal dan dengan menggunakan isyarat matanya John meminta Nofal untuk pergi meninggalkan mereka.
“Oh gitu ya, jadi masakkanku tadi dibuang?”
“Untung masih ada sisanya, jadi aku bisa ngrasain,” kata Ara dengan nada menyindir dan tatapan mata yang tertuju pada John.
“Oh iya John kok masakkanku asin banget ya?” Tanya Ara.
“Nah itu yang mau aku tan..” kata John yang hampir keceplosan.
“Tan apa John?” Pancing Ara.
“Nggak kok, takaran garammu satu sendok teh kan?” Tanya John memastikan.
“Astaga, satu sendok teh ya? Kemarin aku ngasih satu sendok makan, pantasan asin banget,” kata Ara dengan raut muka yang kaget.
“Tenang, besok Randy mau ngrasain masakkanku lagi, dan kali ini aku harus benar-benar memperhatikan takaran bumbunya. Ya udah ya John sampai bertemu besok,” kata Ara yang langsung pergi.
Pagi harinya Ara langsung menuju ke dapur untuk memasak, kali ini dia punya waktu yang agak longgar karena mereka akan bertemu di jam makan siang. Dengan tenang dan teliti Ara meracik bumbu tumis kangkung bumbu pedas sesuai arahan dari John, dan tidak sampai tiga puluh menit masakkan Ara pun sudah jadi, karena tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Ara langsung mencicipi masakkannya itu.
Siang harinya, Ara langsung menuju ke Fresh Resto dan meminta John yang saat itu sedang beristirahat untuk menemuinya.
 “John, rasain deh, kali ini resepnya benar kok,” Ara pun menyodorkan tempat makanannya yang berisi tumis kangkung di hadapan John yang baru saja tiba.
John langsung duduk dan Perlahan mengambil garpu dan mengambil beberapa helai daun kangkung,
“hemmm lumayan enak,” kata John dengan mengangguk-angguk layaknya juri masak yang sedang mencicipi masakan.
“Sama masakkan kemarin enakkan mana?” Pancing Ara.
“Enakan ini banget dong ya!” Kata John dengan menyendok lagi makanan yang ada di hadapannya.
“Berarti kemarin, kamu makan masakkan ku dong? Kok bisa tahu kalau masakkan kemarin nggak enak?” Tanya Ara dengan tatapan tajamnya.
John pun langsung meletakan garpu yang ia pegang dan raut wajahnya berubah, dia bingung apa yang harus ia katakan, ia tidak mau Ara mengetahui bahwa dia lah yang menghabiskan masakkannya itu.
John berpikir bahwa hal itu tidak terlalu penting untuk Ara, pasti respon Ara sama seperti ketika dia bercerita tentang Via, ya seperti perhatian tapi sebetulnya Ara tak bisa merasakan yang John rasakan. Maka dari itu John tak menceritakan bahwa dialah yang menghabiskan semuanya.
 “Hai, maaf telat,” kata Randy yang baru datang
“Ini ya, masakanmu. Sini aku coba,” Randi pun menarik tempat makan yang berada di depan John dan langsung menyatap sayur kesukaannya itu.
“Luar biasa, ini baru yang namanya enak. Boleh saya habiskan?” Tanya Randi yang senang karena kali ini Ara bisa memasak masakan favoritnya dengan benar dan enak dirasa.
Saat Randy dengan senang dan lahap memakan masakannya, ekspresi Ara malah sebaliknya. Dia terlihat murung dan sedih, banyak hal yang ia pikirkan, tiba-tiba Ara menarik tempat makanannya itu.
“Hloh Ra, kan belum habis!”
“Kok tempat makanmu kamu ambil?” Tanya Randy dengan tatapan tertuju pada sayur kangkung yang ada di dalam tempat makan.
“Seharusnya bukan kamu yang menghabiskan masakkanku ini,” kata Ara dengan raut wajah yang masih sama seperti tadi, murung dan sedih.
“Saat aku gagal membuat sebuah masakkan, aku kira tak ada yang mau makan masakkanku sampai habis, bahkan aku sendiri saja tak mampu, satu sendok saja tak ada yang masuk di perutku, dan aku merasa kasihan kepadamu yang harus menelan satu sendok sayur itu,”
“tapi kenapa aku tak merasa kasihan kepada seseorang yang dengan ikhlas memakan semuanya, memang rasa masakkanku tak enak, tapi dia benar-benar menghargai usahaku untuk membuat masakkan itu, dia tahu bahwa baru pertama kali itu aku membuat sebuah masakkan sendiri, dan dia tak mau jika masakkanku itu terbuang sia-sia,” tatapan Ara langsung beralih ke John.
“Di situ kadang saya merasa sedih, di saat masakkanku tak enak dia yang menghabiskannya dan di saat aku berhasil membuat masakkan dia hanya bisa melihatnya, aku baru sadar ketika aku mengalami kesedihan, ku bagi kesedihan itu kepada dia, dan saat aku bahagia ku hiraukan dia.”
“Sobat, maafkan aku, aku sadar aku salah,” Ara langsung memegang tangan John dan menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Seharusnya aku ada di sampingmu di saat-saat seperti ini, tapi nyatanya aku sama sekali tak melihatmu dan asik menikmati hidupku.”
“Aku tak mau tahu seberapa dalam luka yang ada di hatimu, dan di saat aku terluka tanpa aku minta kau hadir di sampingku, kau sediakan bahu untukku, kau hapus air mataku dan kau hibur aku dengan caramu,”
“aku benar-benar bersalah, Sobat maafkan aku,” Ara pun menangis di hadapan John dan Randy.
John langsung mengusap air mata Ara,
“Ara, sudah jangan menangis,”
“Sob, maafkan aku,” kata Ara, yang lagi-lagi meminta maaf kepada John.
“Iya Ara, aku maafin kok.”
“Kamu nggak sepenuhnya salah, aku yang salah. Kenapa aku tak mendengarkan nasehatmu tentang Via saat itu,” kata John dengan menyesal.
“Kenapa jadi kayak gini sih,” kata Randy yang bingung.
“Ara, dengerin aku baik-baik,”
“Niatmu buat masakkan ini kan untuk Randy, jadi aku nggak berhak makan masakkan ini, biar Randy yang menghabiskan masakkanmu,” kata John.
“Em.m biar adil, kita bagi dua aja John,” saran Randy.
“3/4 untukmu dan 1/4 untukku,”
“aku tahu, kita adalah orang yang sangat berarti di hidup Ara, tapi kaulah yang lebih istimewa dariku. Kau telah menghabiskan banyak waktumu bersama Ara, sedangkan aku, baru satu tahun aku bersamanya, kau telah mengerti dan menjaga Ara lebih dari apa yang ku bisa, kau sahabat terbaik Ara,”
“tetaplah menjadi sahabat Ara,” kata Randy dengan bijak.
“Pasti, Ara juga sahabat terbaik untukku. Dia tak tergantikan,” kata John yang melirik ke arah Ara.
Mereka akhirnya membagi masakkan Ara menjadi dua bagian, dengan lahabnya mereka menyantab masakkan Ara. Ara terlihat senang dan senyumannya tak pernah pergi dari bibirnya. Ara sangat menyanyi mereka, dan berharap pemandangan indah seperti ini berlangsung lama.

Sekian