Aku
Aku adalah seorang anak laki-laki
yang berusia 10 tahun, aku tinggal di sebuah desa yang jauh dari kebisingan
lalu lintas. Sekeliling rumahku tak lain dan tak bukan adalah kebun, dan depan
rumahku adalah jalan setapak. Aku tinggal bersama kakek dan nenekku, dan sudah
dari kecil aku bersama mereka, aku sangat menyayangi mereka melebihi sayangku
kepada kedua orang tuaku, ya Ayah dan Ibu.
Aku adalah seorang anak laki-laki
yang menjadi bahan pembicaraan banyak orang termasuk dari kalangan saudaraku,
semua membicarakanku karena aku berbeda dengan mereka, dan itulah yang ku cari
selama ini, menjadi bahan pembicaraan adalah bentuk dari sebuah perhatian,
mereka akhirnya memperhatikanku walaupun dengan omongan-omongan yang kadang
memojokkanku, ya itulah resiko menjadi aku.
Aku bertubuh sehat walaupun aku
kurus dan aku bisa melihat, mendengar dan berbicara dengan baik tak seperti
adekku yang maaf, tidak bisa berbicara dengan baik. Tumbuh kembang adekku
terganggu saat dia masih bayi, saat yang lain bisa tengkurap dan duduk dengan
baik, adekku tidak bisa melakukannya, dia hanya bisa berbaring di tempat tidur
dan kalaupun ibukku mencoba mendudukkannya adekku terjatuh, kata dokter tulang
punggung adekku belum kuat untuk menyangga berat badannya.
Berbagai cara telah dilakukan ayah
dan ibuku untuk kesembuhan adek, datang ke orang pintar pun telah mereka
lakukan. Kata orang pintar ada seseorang yang membuat adek seperti itu dan katanya
lagi orang itu adalah mantan istri dari ayahku, itu artinya ibu kandungku yang
melakukannya.
Ya benar, aku adalah anak yang sehat
di tubuh tapi sakit di hati. Aku adalah anak yang merindukan belaian kasih dan
sayang dari ayah dan bundaku. Walaupun kasih dan sayang dari kakek dan nenekku
lebih dari cukup tapi aku tetaplah seorang anak kecil yang selalu merenggek
apabila jauh dari orangtua. Tapi sayangnya tangisanku tak mereka dengarkan dan akhirnya
mereka memilih jalan untuk berpisah.
Lantas, siapa yang harus aku
salahkan atas peristiwa ini, ayahku? Ah itu tidak mungkin, sekarang aku tinggal
bersama kakek dan nenek, orang tua dari ayahku, itu artinya keluarga dari
ayahkulah yang merawatku sejak kecil, atau bundaku yang tak mau mengurusku? Itu
tidak mungkin lagi, karena aku tahu bundaku sangat tersakiti atas peristiwa
ini, peristiwa dimana dia harus melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama,
terus siapa yang harus aku salahkan? Tuhan? Itu sangat-sangat tidak mungkin,
Dia telah memberikan nikmat yang luar biasa kepadaku, dan saat Dia memberiku
cobaan seperti ini aku menyalahkan Nya? Itu sepertinya tak adil. Saat-saat
bahagia aku tak pernah bertanya kepada Tuhan kenapa aku yang harus bahagia, dan
saat dimana aku sedih aku bertanya mengapa harus aku yang mengalaminya? Ah,
sungguh hamba yang tak tahu diri, dan aku tak ingin melakukannya, yang jelas
ini sudah jalanNya, aku hanya bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas
walaupun hati selalu berontak.
Dan aku tak terima dengan omongan
orang pintar yang menyebutkan bundaku lah penyebab tumbuh kembang adek menjadi
lambat, aku benar-benar tidak terima. Bundaku adalah orang yang baik, walaupun
beliau terkenal galak dan suka bicara dengan nada keras, itu karena dulu
bundaku tinggal di sebuah pegunungan yang sangat pelosok, jadi karakter beliau
berbeda dengan karakter keluarga di desa, ah aku jadi rindu bundaku, Bunda
dimana kau? Aku sekarang sudah besar Bun, jengguklah aku dan peluklah aku, aku
benar-benar merindukanmu.
Aku tahu kehidupan bundaku setelah
berpisah dengan ayah sangatlah sulit, terakhir aku mendengar berita bahwa
bundaku bekerja dan sudah menikah, tapi aku tak tahu dimana beliau bekerja dan
dengan siapa bunda menikah, aku benar-benar tak tahu. Tapi yang aku tahu adalah
bundaku terluka karena mengetahui ada seorang wanita yang hamil dan ayah harus
menikahinya.
Dahulu aku dan bunda tinggal bersama
di desa, dan ayah bekerja di kota, setiap lebaran beliau selalu pulang untuk
berkumpul bersama kami, sungguh harmonis sekali saat itu, tapi suatu ketika ada
kabar tak baik dari kota yang mengabarkan bahwa ayah harus menikah lagi,
bundaku langsung menangis mendengar kabar itu, tak berapa lama kemudian bunda
pergi dari rumah nenek tanpa pamit, dan aku ditinggalkan sendiri di rumah
nenek.
Berapa tahun kemudian setelah ayah
menikah lagi, bunda kembali ke rumah nenek dan semua keluarga membicarakan
tentang bundaku, kata mereka kenapa
datang ke sini lagi, kan suaminya sudah menikah, dia sudah nggak punya hak
untuk datang ke sini! Awalnya bunda tak ambil pusing dengan omongan itu,
tapi lama kelamaan bunda tak nyaman berada di rumah nenek dan akhirnya beliau
pergi lagi tapi kali ini bunda sempat berpamitan pada nenek dan aku.
Kata bunda, aku harus jadi anak yang
baik, nurut sama kakek dan nenek. Katanya lagi, beliau sangat menyanyangiku dan
akan tetap menyayangiku sampai kapanpun, tapi kenapa beliau meninggalkanku? Jika
bunda menyayangiku seharusnya beliau tetap berada di sisi ku sampai kapanpun. Ya,
itulah yang bisa aku pikirkan saat itu, dimana saat itu aku tak tahu pasti apa
itu perpisahan, yang ku tahu aku punya ibu baru dan bundaku pergi
meninggalkanku.
Setelah kepergiaan bundaku untuk
yang kedua kali ini, ada sebuah surat yang datang dari pengadilan agama yang
menyatakan bahwa bunda menggugat cerai ayah yang saat itu berada di kota, dan
nenekku lah yang mengurus semua hingga jatuhlah kata cerai. Dan itu berarti
ayah dan bunda takkan bisa bersatu seperti dulu, aku benar-benar menyayangkan
hal itu.
Aku benar-benar merasa sendiri, tak
ada lagi tempat untuk aku berkeluh kesah dan menyandarkan kepala jika aku
merasa lelah. Pasti timbul pertanyaan Bagaimana
dengan kakek dan nenekmu, dia juga menyanyangimu kan? Apa dia tak bisa
menggantikan posisi bundamu yang menjadi tempatmu berkeluh kesah? Ya,
memang mereka bisa menggantikan posisi bundaku, karena mereka sangat menyayangi
aku, tapi sayangnya mereka tak punya waktu lebih seperti bundaku dulu, yang
selalu memperhatikanku setiap saat.
Setiap pagi kakek dan nenekku
berangkat ke sawah dan pulang ketika matahari sudah condong ke arah barat, dan
malamnya mereka memang bersamaku tapi tubuh mereka terlalu lelah untuk ku
jadikan tempat keluh kesah. Itulah yang membuat aku merasa sendiri.
Layaknya anak-anak yang baru pertama
kali bersekolah, pasti banyak hal-hal yang ingin mereka ceritakan kepada kedua
orang tua mereka, mulai dari teman-teman yang ada di kelasnya sampai pelajaran
yang mereka anggap sulit, itulah yang tak ku dapati sekarang.
Pada siapa aku harus bercerita dan
pada siapa aku harus menanyakan pelajaran berhitung yang belum bisa aku kuasai?
Jika aku terlahir sebagai wanita menangis adalah jurus andalanku, menangis
karena merasa kesepian di rumah, menangis karena ada masalah di sekolah dan
menangis karena merindukan ayah dan bundaku. Tapi aku adalah seorang laki-laki,
walaupun aku masih kecil, rasanya malu jika aku harus menangis, yang ku bisa
adalah berusaha untuk terlihat baik-baik saja, walau hati terluka.
Kondisi itulah yang membuatku sering
membolos sekolah, dan akhirnya keluar dari sekolah dasar sekitar satu tahun
lamanya. Saat-saat aku tak bersekolah aku merasakan yang namanya kebebasan,
bermain sesukaku tanpa dibayang-bayangi jam belajar. Dan aku mendapatkan teman
yang cukup banyak di luar sana. Mereka juga memiliki latar belakang seperti
aku, walaupun keluarga mereka utuh tapi kasih sayang dari orang tua tak mereka
dapatkan.
Setiap malam kami sering berkumpul
dan bermain bersama, kakek dan nenekku awalnya melarangku keluar malam, tapi
karena mereka merasa kasihan melihatku murung, akhirnya mereka membiarkanku
keluar malam. Dan itulah yang menjadikanku berbeda dari saudara-saudaraku, aku
sudah dicap anak nakal karena keluar dari sekolah dan bermain bersama
orang-orang yang juga dicap nakal, mereka memang mengkhawatirkan masa depanku,
tapi mereka tak bisa merasakan apa yang kurasakan, dan dengan berteman bersama
merekalah aku bisa bahagia.
Tapi untungnya masa nakalku tidak
berlangsung lama, berkat nasehat dari kakek, nenek, dan bibiku aku mau kembali
bersekolah dengan mengganti sekolah yang dulu jauh ke sekolah yang dekat dengan
rumah. Ya, selain kakek dan nenek, di rumah ada bibiku yang juga menyayangiku,
tapi karena bibiku masih bersekolah, jadi dia tidak begitu memperhatikanku
layaknya kakek dan nenek.
Walaupun aku kembali lagi ke bangku
sekolah, tapi aku tak bisa meninggalkan teman-temanku, tiap malam aku berkumpul
bersama mereka, entah itu bermain play station atau sekedar jalan-jalan malam
mengelilingi desa, dan setiap orang yang berpapasan dengan kami selalu
menyarankan kami untuk segera pulang dan belajar di rumah, dan kami hanya
mengiyakan saran tersebut tanpa melakukannya.
Mari kita tinggalkan cerita tentang
pergaulanku yang membuatku bahagia tapi membuat khawatir orang di sekitarku
itu, dan beralih ke cerita tentang adekku yang berbeda ibu itu. Sempat ku
berpikir, mungkin kondisi adek yang seperti itu adalah ganjaran dari Tuhan
untuk ayahku, karena ayah telah membuat bunda menangis dan meninggalkan rumah
ini. Sebenarnya aku tak tahu perkembangan adekku dengan baik, karena adek
berada di kota bersama ayah dan ibu. Dan aku hanya bisa bertemu dengan mereka
satu tahun sekali, yups waktu lebaran.
Dan saat lebaran tiba, betapa
senangnya aku karena aku bisa melepas rindu dengan ayahanda tercinta, tetapi sayangnya
perhatian mereka tertuju kepada adek. Tak hanya ayah dan ibu yang pulang tetapi
juga bibiku yang lain yang juga membawa suami dan anak mereka sehingga rumah
nenek terlihat penuh, kalau dihitung ada dua belas orang dalam satu rumah, dan
itu sungguh menggangguku, mereka asik dengan kehidupan mereka sendiri dan sama
sekali tak memperhatikanku.
Saat aku melihat bibiku yang
menggendong dan menyuapi sepupuku yang itu artinya anak mereka, sejujurnya
membuatku iri. Apakah mungkin bundaku akan ke sini lagi dan menggendongku
layaknya dahulu kala, ah tak mungkin. Dan jikalau mungkin, aku akan berdoa
kepada Tuhan, agar bunda ke sini bukan di saat hari lebaran, karena itu hanya
akan menyebabkan pertengkaran antara bunda, ayah dan ibu.
Ibu ku sekarang berbeda dengan yang
dulu, beliau lebih ramah dan suka berbicara, cara berbicaranya pun lebih halus
dari bundaku, dan itulah yang menyebabkan nenekku langsung menyukai ibu.
Ibuku bukan layaknya ibu tiri yang
kejam, beliau sangat baik. Beliau selalu mengingatkanku untuk makan dan memberi
ku uang ketika akan balik ke kota, entahlah itu uangnya sendiri atau uang ayah.
Ngomongin tentang uang ayah, aku
jadi ingat waktu dulu. Dulu aku pernah meminta ke ayah untuk membelikanku
sebuah handphone, dan apa yang terjadi? Bibiku berkomentar banyak sekali, dan
beliau meminta ke ayahku untuk membelikan hand phone yang jelek saja, yang
penting bisa buat sms atau telfon, lagian seusaiku saat itu mau sms atau telfon
siapa?
Miris sekali, aku tidak pernah
meminta apapun ke ayah, dan giliran aku meminta sesuatu dibelikan yang jelek,
oke itu memang hand phone, tapi setidaknya ayah tahu kalau aku jarang mendapat
kasih sayang beliau, dan seharusnya beliau membelikanku barang yang bagus
sebagai gantinya.
Tapi tak apalah, aku tahu kehidupan
di kota sangat sulit, banyak sekali pengeluaran terlebih lagi untuk membelikan
susu adek. Jadi aku bisa terima kok kalau ayah membelikanku hand phone bekas
jaman dulu.
Itulah sedikit cerita tentang aku,
ku tahu di luar sana banyak anak yang memiliki nasib sepertiku bahkan lebih
berat dariku, ada yang harus tinggal di panti asuhan sejak kecil, sehingga mereka tak tahu siapa orang tua mereka
entah sudah meninggal atau masih hidup.
Aku bersyukur, walaupun aku
dibesarkan di dalam keluarga yang tak utuh, tapi berkat kakek dan nenekku aku
bisa merasakan indahnya kebersamaan dan kasih sayang. Dan dari situ aku paham,
ternyata perceraian itu tak ada manfaatnya sama sekali, mereka hanya beradu ke
egoisan, dan mengharuskan egonya menang dengan cara mengajukan surat cerai ke
pengadilan agama dan tak mengikuti proses mediasi, dimana proses itu bisa
mempersatukan dua pikiran yang berbeda dan bisa menjadi perenungan dari
masing-masing pihak.
Mereka tak memikirkan nasib buah
hati mereka, bagaimana supaya tidak terluka karena kejadian ini, yang mereka
lakukan hanyalah berebut hak anak. Sebenarnya apa sih hak anak itu? Apakah
menurut mereka hak anak adalah hak pribadi mereka sendiri, yang harus mereka
dapatkan dengan menyingkirkan orang lain? TIDAK!! Dipelajaran PKn kelas 1 SD,
sudah jelas sekali, hak anak adalah mendapatkan kasih dan sayang dari kedua
orang tua, itu artinya ayah dan bunda, bukan salah satu diantaranya!
Ah, sungguh membuatku pusing jika
memikirkan tentang kehidupan orang dewasa. Mungkin mereka lupa, bahwasanya mereka pernah menjadi anak-anak yang
sangat dekat dan tergantung dengan ayah dan bunda, jadi mereka tak mau bahkan tak bisa merasakan
bagaimana jadinya kalau ada anak kecil harus jauh dari kedua orang tua mereka.
Tapi satu hal yang tak pernah ku
lupakan dari kelamnya kehidupan masa kecilku ini, yaitu tentang perasaan. Aku
bisa merasakan semuanya, aku bisa menghargai waktuku ketika berkumpul dengan
ayah, berbeda dengan orang lain yang tak pernah menjadi aku, mereka punya
keluarga lengkap dan punya waktu luang yang banyak, tapi sayangnya mereka
selalu pergi meninggalkan rumah dan tak ada waktu yang mereka sisakan untuk berkumpul bersama ayah dan bunda.
Dan karena perasaanku itulah, aku
tak mau jika kelak aku memiliki anak, anakku merasakan apa yang kurasakan, aku
benar-benar tak mau! Aku ingin anakku kelak merasakan indahnya kebersamaan
bersama ayah dan bunda dan aku tak
mau melihat air mata yang jatuh dari anakku karena merindukan sosok ayah dan bunda, aku akan
selalu ada disaat anakku membutuhkanku.
Ah khayalan yang teramat jauh. Dari
pada menghayal masa depan yang masih jauh, lebih baik menjalani hari ini dengan
usaha terbaik yang ku muliki, ku coba tak akan mengeluh lagi dan akan menjadi
pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Sekian dari aku.
The End