Mobil
Impian
Impian,
semua orang pasti mempunyai impian atau bahasa kerennya cita-cita, ada yang
kesampean, ada pula yang tidak, dan itu semua tergantung dari usaha kita. Kalau
leda-lede impian itu pun akan leda-lede juga, alias nggak mau jadi
kenyataan, kalau benar-benar berjuang, InsyaAllah impian itu akan menjadi
kenyataan.
Seperti
kisah sahabatku yang namanya masih dirahasiakan, sejak SMP dia bercita-cita
dapat membeli mobil dengan uangnya sendiri. Karena saking pengennya punya mobil, suatu ketika saat jam pelajaran
kosong, si anak ini bermain sendiri layaknya sedang menyetir mobil, hem.m
permainan yang cukup kanak-kanakan untuk siswa SMP.
Tak
berhenti disitu saja, setelah lulus SMP aku dan si anak itu melanjutkan sekolah
di sekolah yang sama bahkan kelas kami pun juga sama, dan cita-citanya pun juga
masih sama, apalagi kalau bukan pengen punya mobil.
“Sis,
bentar lagi kita lulus, Lo mau nerusin kemana?” tanyaku ke anak itu, ketika aku
dan dia berada pada massa kegalauan antara nerusin kuliah atau milih kerja.
“Ya
pokoknya kerja, cari uang biar bisa beli mobil,” jawabnya.
“Cita-cita
Lo masih sama kayak SMP dulu?”
“Yups,
cita-citaku simpel kok,”
“punya
mobil, terus punya rumah bertingkat yang ada kolam renang di dalamnya dan ada
lapangan golfnya,” kata anak itu asal.
“Gila,
itu bukan simpel lagi namanya, tapi complicated.”
“Haha,
kalau Elo gimana Pret?” Tanya anak itu ke aku, nih perlu diterangin kata Pret
yang dimaksud anak itu adalah Pretty, bukan kutu kupret. Jadi intinya, namaku
itu Pretty, dan anak itu sering menggal namaku jadi Pret.
“Gue sih
pengennya kuliah di Jepang, tapi sayangnya gue nggak bisa bahasa Jepang,
bisanya cuma kamsahamnida. Nggak enak
dong ya, kuliah di sana terus mau pesen makanan harus buka kamus dulu, keburu
laper.”
“Haha,
kerja aja Pret biar dapet uang,”
“hey, itu
Korea bukan Jepang, kalau Jepang tu arigato,
gimana sih.”
“Oh iya
lupa.” Jawabku.
Beberapa
bulan setelah percakapan itu terjadi, aku dan anak itu tak lagi berkomunikasi.
Kita sama-sama sibuk, akunya nyari kerja dan dianya entah kemana aku tak tahu,
kata guru BP anak itu mencari pekerjaan di luar kota, sedangkan aku benar-benar
termakan omongan anak itu yang menyarankan untuk bekerja.
Aku pun
akhirnya diterima menjadi karyawan disalah satu percetakan terbesar di provinsi
Jawa Tengah, awalnya jadi coppywriter
dan lama-kelamaan jadi admin keuangan, hm.m Alkhamdulillah, rejeki anak
sholehah.
Dan untuk
menunjang karir, perusahaan pun mengirim aku untuk mengikuti seminar tentang
profesionalisme dalam bekerja, dengan harapan kinerjaku dapat meningkat setelah
menghadiri seminar itu.
Sebenarnya gue nggak perlu dikirim ke seminar
untuk mengingkatkan kinerja gue, cukup naikin salary-nya aja itu lebih dari
cukup, haha.
Karena nggak
terlalu bersemangat, aku pun sengaja duduk di bangku paling belakang, dan di
sekelilingku adalah laki-laki semua hanya aku yang berjenis kelamin perempuan,
itu sudah bisa membuktikan bahwa kebanyakan laki-laki tidak menyukai acara
semacam seminar, dan mereka akan merapat ke barisan paling depan jika acara
seminar itu diubah menjadi acara konser JKT-48, right?
Karena
terlalu bosan dengan acara yang sedang aku ikuti sekarang, aku pun mengasah
kemampuan mataku yang sudah lama tak ku asah. Biasanya kedua mata indahku ini
akan melirik dengan sendirinya jika ada laki-laki yang tampan yang berada di
dekatku. Dan aku pun mencoba melirik kiriku eh ternyata tak ada yang bisa
mengobati kejenuhanku, dan ku lirik sebelah kananku dan wow!!!! Tak ada yang
menarik juga.
Tapi
otakku seakan menyuruhku untuk menoleh lagi ke arah kiri, barang kali ada seorang
laki-laki yang mampu menarik perhatianku. Perlahan tapi pasti ku lirik sebelah
kiriku, awalnya laki-laki yang persis duduk di sampingku dan kemudian kulihat
laki-laki yang ada di sampingnya, tak ku sangka dan tak kuduga laki-laki itu
juga melihat ke arahku, karena kaget dan malu aku pun pura-pura melihat ke atas
dan mengibaskan tanganku untuk mengusir nyamuk-nyamuk fantasi.
“Ehem,”
suara batuk dari laki-laki itu yang menandakan bahwa dia tahu kalau aku sedang
berpura-pura.
“Ehem,”
suara batuknya lagi, yang membuatku menoleh ke arahnya.
“Heloh,
ternyata Elo?” Tanyaku kaget, ternyata e ternyata laki-laki itu adalah
Siswanto, sosok anak itu yang memiliki mimpi untuk memiliki mobil dari uangnya sendiri.
“Iya
Pret, ngapain kamu di sini? Kok nggak ke Jepang?”
“Lagi
liburan, jadi Gue pulang ke Indonesia deh,”
Karena
takut mengganggu konsentrasi sebelahku, aku pun minta tukar tempat duduk
dengannya, sehingga aku dan Siswanto duduk bersebelahan.
Pembicaraan
kami pun berlanjut, mulai dari tanya kabar sampai dengan tanya status. Dan aku
pun dengan bangganya ketika Siswanto bertanya tentang status kepadaku, aku
menjawab aku masih sama kok kayak dulu,
digantungin sama Vidi Aldiano, ups.
Satu jam
pun sudah terlewati, dan acara seminar telah usai, itu berarti aku harus
kembali ke bus bersama rekan-rekanku begitu pula Siswanto. Yang menjadi
penyesalanku adalah, kenapa aku tidak bertanya tentang sosok sexy yang menjadi
idamannya, apakah sudah ia dapatkan apa belum, itu hlo tentang mobil impiannya,
tapi nggak papa mungkin di lain kesempatan aku bisa bertemu dengan Siswanto, karena
sekarang dia bekerja di kota yang sama denganku, yups kota Klaten, kota yang
selalu bersinar dan akan terus bersinar apapun yang terjadi, cieleh.
Hari demi
hari telah kulewati dengan status sebagai admin keuangan, yang mengharuskanku
berangkat kerja di awal waktu tetapi pulang paling akhir. Suatu ketika saat aku
dalam perjalanan pulang kerja, aku mengendarai motor dengan kecepatan yang
tidak seperti biasanya, ada teman yang ingin berkunjung kerumahku, jadi aku
harus cepat-cepat sampai rumah.
Tetapi
ketika aku tiba di persimpangan jalan, ada sebuah mobil yang berada tepat di
depanku, si pengemudi itu mengendarai mobil dengan sangat pelan, aku pun tidak
bisa menyalipnya karena dari arah berlawanan arus lalu lintasnya padat. Alhasil
aku harus mengorbankan waktu berhargaku hanya untuk mengawal mobil merah itu.
“Bu,
teman-temanku mana?” Tanyaku sesampainya di rumah.
“Baru aja
pulang, katanya nanti malam mau ke sini lagi.”
“Mereka
kelamaan nunggu kamu,” jawab ibu.
Sore pun
berganti malam, sesuai dengan rencana temanku tiba di rumah pukul 21.30,
sebenarnya aku sudah terlalu lelah dan mengantuk, tapi bagaimanapun juga aku
harus menemui mereka yang telah meluangkan waktu untuk berjumpa denganku,
mereka adalah sahabat-sahabatku semasa taman kanak-kanak.
Karena di
rumah tidak ada makanan yang bisa kusuguhkan, aku pun mengajak mereka untuk
makan di rumah makan yang dekat dengan pom bensin. Tetapi karena takut begal,
kami pun ke rumah makan itu menggunakan mobil yang dikendarai temanku walaupun
sebenarnya jarak rumah makan dengan rumahku itu hanya sekitar 2 KM, ya nggak
papalah iseng-iseng ngrasain mobil baru temanku dan semoga besok bisa nyusul
punya mobil sendiri, aamiin.
“Tutut,”
suara mobil yang telah dikunci setelah diparkirkan di tempat parkir rumah makan
Mantablah.
“Prety,
kamu yakin makanan di sini enak?” Tanya Queen, temanku.
“Iya
yakin, tenang aja,” aku dan teman-temaku langsung masuk dan mencari tempat
duduk yang masih kosong.
“Silahkan, mau pesan apa?” Tanya pramusaji
setelah kami duduk dengan nyaman di lokasi yang dekat dengan kasir.
Tanpa
menawari teman-temanku, aku pun langsung menulis menu yang sudah pernah ku
coba. Tak berapa lama, pesananku pun datang, sosok laki-laki yang kurus
kerempeng membawa sebuah nampan yang berisi cukup banyak piring dan gelas,
otot-otot di tangannya pun seakan mau keluar karena tidak kuat menyangga beban
itu. Bulir-bulir keringat juga mengalir di tepi wajahnya, yang membuat rambut
yang di dekat telinga menjadi sedikit basah.
“Permisi,
sup kepala ikan kakap, nila bakar, ayam penyet, sayur asam, lalapan, sama
balado jengkol,”
“minumannya,
jus melon, jus jeruk, jus mangga sama jus lidah buaya,” kata pramusaji itu
ketika menghantarkan pesananku.
“Siswanto?”
Kataku kaget.
“Katanya
kamu kerja jadi desain programer, kok sekarang ada di sini?” Tanyaku saat
mengetahui bahwa laki-laki cungkring itu adalah Siswanto.
“Oh kamu
Pret, ntar aja ya ngomongnya, aku masih ada pekerjaan,” jawabnya yang kemudian
pergi.
Setelah
pesananku sudah di depan meja, aku dan teman-temanku pun menyantabnya dengan
semangat, dan terkadang aku melihat Siswanto yang lalu lalang dengan membawa
baki yang lebih banyak muatannya. Dan di situ kadang saya merasa sedih, waktu
SMK saja saat bersih-bersih kelas, dia meminta bantuanku untuk menggeser meja
karena dia nggak kuat, tapi sekarang tubuhnya lebih kurus dari jaman SMK tetapi
beban pekerjaannya luar biasa.
“Bentar
ya Jeng, aku ada keperluan sebentar,” kataku kepada teman-teman.
“Maaf
Mbak, saya mau ketemu sama Siswanto sebentar bisa?” Tanyaku sesampainya di
depan kasir.
“Oh, Mbak
temannya, bisa Mbak silahkan masuk saja,” jawab mbak kasir dengan sangat ramah.
“Sis, dah
longgar belum?” Tanyaku setelah masuk di sebuah ruangan yang sebenarnya itu
khusus untuk karyawan.
“Plend,
aku istirahat bentar ya,” Siswanto pun meminta izin kepada teman-temannya untuk
menemui aku sebentar.
“Ship,”
jawab teman-temannya.
Siswanto
pun mengajak aku ke keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju ke sebuah
tempat rahasia yang dijadikan tempat tongkrongan karyawan-karyawan ketika
mereka beristirahat.
“Wow
keren bingits, di sini kita bisa lihat lampu dan atap-atap rumah warga
sekitar,” kataku.
“Hey,
plis deh.”
“Gimana Pret,
enak nggak tadi jadi penggawal ku?”
“Hah,
maksud mu?” Aku pun membalikan tubuhku dan duduk di dekat kursinya.
“Tadi hlo
mobil merah itu,” jelas Siswanto dengan senyum yang terlihat berbeda dari
biasanya, mungkin dibalik senyumnya itu tersimpan sejuta keluh kesah yang ingin
ia sampaikan kepadaku.
“Oh, jadi
itu kamu! Mentang-mentang mobil baru, jalannya pun pelan. Takut lecet ya
mobilnya!” Kataku dengan kesal.
“Tapi
ngomong-ngomong selamat ya Sis, akhirnya cita-citamu tercapai juga, kapan aku
bisa duduk disampingmu?”
“Nah,
sekarang kamu lagi duduk di sampingku,” kata Siswanto dengan wajah bingungnya.
“Maksudku,
duduk di sampingmu saat di dalam mobil.”
“Oh, ya
besok kalau aku dah punya mobil beneran,” kata Siswanto dengan suara lirihnya.
“Apa kamu
nggak lihat di plat mobilnya itu? Kan ada tulisannya belajar,”
“dan
pasti kamu ke sini mau tanya kan, kenapa aku bisa kerja di sini? Ya itu karena
mobil itu. Aku pengen cepet-cepet punya mobil,” jelas Siswanto dengan tatapan
mata yang mengarah ke bawah pertanda bahwa ia sedang menahan sedih dan tak mau
aku melihat ke matanya.
“Sis, oke
itu cita-citamu, yang patut kamu perjuangin. Tapi apa begini caranya?”
“Dengan
menzalimi tubuhmu sendiri untuk mendapatkan sebuah benda yang tak kan kamu bawa
ketika kamu mati?”
“Kamu
tahu nggak kenapa Allah menciptakan siang dan malam?” Tanyaku dan ia hanya
membalas dengan gelengan kepala.
“Dalam
Al-Qur’an surat Yunus ayat 67, disebutkan bahwa Allah menciptakan malam untuk
kita beristirahat dan menjadikan siang yang terang bendarang untuk kita mencari
karunia Allah termasuk mencari harta, jadi jangan memaksakan diri seperti ini
Sis,” kataku dengan memegang pundaknya.
“Aku tahu
tubuhmu lelah, beristirahatlah Sis, jangan seperti ini. Aku nggak tega lihat
kamu seperti tadi.” Kataku dengan air mata yang mulai mengalir.
“Aku
nggak papa kok Pret, jangan terlalu khawatir denganku,” Siswanto pun melepaskan
tanganku dari pundaknya, dan menatap mataku dengan tatapan tajam untuk
meyakinkanku bahwa dia kuat, deweke ora
popo.
“Sana
Pret, kasihan teman-temanmu nunggu kamu,” kata Siswanto dengan gerakan kepala
yang menunjukan ke arah pintu keluar.
“Sana,
udah tahu jalannya kan?” Kata Siswanto yang melihatku tak bergerak ketika dia
menyuruhku untuk kembali.
“Ya sudah
aku balik dulu ya, besok aku ke sini lagi. Jaga kesehatanmu ya Sis. Daa,” aku
pun berjalan menuju pintu sambil melambaikan tangan.
Siswanto
pun juga melambaikan tangan kepadaku, senyumnya pun juga berkembang tapi
setelah aku menghilang dari pandangannya aku tak tahu apakah senyumannya itu
tetap berkembang atau berubah menjadi tangisan.
Hari
berikutnya, setelah aku melaksanakan sholat Isya’ aku langsung tancap gas
menuju rumah makan mantablah dengan membawa satu botol susu segar untuknya.
Tapi setelah aku tiba di lokasi aku di beritahu mbak kasir bahwa hari ini
Siswanto tidak masuk kerja karena semalam ia demam tinggi dan sempat
muntah-muntah, sekarang ia dirawat di rumah sakit, betapa kagetnya aku
mendengar berita itu.
Tanpa
pikir panjang aku langsung menuju rumah sakit yang disebutkan mbaknya tadi. Sekitar
sepuluh menit aku sudah sampai di rumah sakit itu, dan langsung mencari kamar
tempat Siswanto di rawat.
“Assalamu’alaikum,”
sapa ku saat memasuki kamar Fatimah no. 22.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab Siswanto lirih.
“Ayah,
ibumu mana Sis? Kok sepi?”
“Mereka
baru cari makan malam.”
“Oh,
padahal aku sudah bawa sate lontong untuk mereka,” kataku yang kemudian
meletakkan bungkusan yang ku bawa di meja.
Perlahan
ku berjalan mendekati Siswanto, ku lihat bibirnya yang dulu merah merekah
berubah menjadi putih memucat, matanya yang dulu bersinar terang menjadi kosong
seperti tanpa harapan.
“Sis, kamu mikirin apa?” Tanyaku saat melihat
wajah Siswanto yang nampak bingung dan sedih.
“Yang itu
jangan dipikirin dulu lah, bikin tambah sakit.”
“Niatku,
hari ini aku berhenti bekerja di rumah makan itu, karena uangku udah cukup buat
bayar DP mobil, e ternyata kemarin malam aku masuk rumah sakit,” tutur Siswanto
dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kenapa
ya Pret, Allah kasih cobaan seperti ini ke aku? Padahal Dia kan tahu kalau aku
benar-benar berjuang untuk mewujudkan cita-citaku itu?” Tambah Siswanto yang
membuat air matanya keluar tanpa ia suruh.
“Tu kan
masih mikirin itu, diikhlasin aja Sis. Kok nyalahin Allah sih,”
“sesungguhnya
Allah tidak berbuat zalim kepada kamu, tetapi kamu lah yang berbuat zalim
kepada dirimu sendiri,”
“Tubuhmu
itu hlo yang jadi korbannya, siang sampai malam kamu paksa untuk bekerja hanya
untuk mencari materi semata, dan sekarang apa hasilnya?”
“Iya
emang dapat uang, uang buat biaya rumah sakit!”
“Kok kamu
gitu sih Pret,” Siswanto pun sedih ketika ia sakit ia malah mendengar ceramah
dari ku, aku mah gitu orangnya care
banget sama sahabat sendiri, jadi aku nggak mau kalau sahabatku itu salah jalan,
jadi ilmu yang ku dapat dari acara Mama Dedeh ku salurkan ke Siswanto.
“Gitu
gimana Sis?”
“Udah lah
Sis, kamu jangan mikirin mobil itu dulu untuk saat ini, biarkan tubuhmu itu
istirahat. Besok kalau udah sehat baru cari uang buat beli mobil, tapi ingat
jangan terlalu memaksa.”
“Iya
Pret, rasanya aku capek banget, besok-besok lagi kapok dah aku kerja kayak
kemarin.”
“Enakan
istirahat dirumah walaupun atap rumah sering bocor daripada di sini, di sebuah
kamar yang penuh dengan fasilitas,” tutur Siswanto yang sudah menyadari
kesalahannya.
“Nah gitu
dong,”
“semoga
lekas sembuh ya Sis, aku pulang dulu. Jangan sering update di BBM, dari pada
mainan HP mending tidur,” kataku yang lagi-lagi ceramah.
“Iya bu,
siap,” jawab Siswanto dengan tersenyum walaupun dengan bibir yang pucat.
Ya,
walaupun usaha Siswanto itu tidak leda-lede
pada akhirnya dia belum, belum ya ini bukan tidak! Belum bisa mewujudkan
cita-citanya untuk mempunyai mobil sendiri. Selain karena manusia hanya bisa
berencana dan hanya Allah lah yang berkehendak, itu juga karena ada hak yang
belum dikeluarkan Siswanto, yaitu hak tubuhnya untuk istirahat. Begitu pula
untuk aku, mungkin ada hak untuk sesama yang belum aku keluarkan jadi
cita-citaku belum terwujud, cita-citaku simpel kok menjadi penulis novel yang
karyanya di terima oleh masyarakat luas, terus novelku itu dibuat film yang
pemainnya didatangkan langsung dari India, Shaheer misalnya, aamiin. Tolong
yang baca cerita ini juga mengamini cita-citaku. Aamiin (yang bilang aamiin
semoga di mudahkan rejekinya, aamiin). Hehe. Salam sukses :)
The End