Ternyata, Memang Kamulah Jawaban dari Doaku
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku
dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah:186)
Entah
mengapa akhir-akhir ini postingan di Instagram
selalu berbau tentang jodoh, mungkin topik tentang jodoh selalu menarik untuk
dibahas, terlebih bagi yang berstatus single
dan sudah ada niatan untuk menikah dalam waktu dekat, tetapi belum juga
bertemu dengan jodohnya. Ada?Banyak!
Nah,
kalau sudah ada niat baik untuk menikah dikarenakan perintah Allah dan Rasul
bukan karena niatan lain, perbanyaklah berdoa selain daripada usaha. Karena
Allah sudah menjanjikan akan mengabulkan do’a setiap hamba yang berdo’a
kepada-Nya.
Telah aku tengadahkan kedua tangan ini, diringi
nafas yang terisak dan air mata, dalam setiap waktu mustajab aku selalu memohon
agar bertemu dengan seorang sholeh/sholihah yang akan mendampingiku, berjalan
beriringan menuju Jannah-Nya. Bahkan terkadang aku menyebut nama seorang yang
aku anggap itu pantas dan sangat baik untukku, tetapi
mengapa sampai sekarang Allah belum mengabulkan do’aku?
Eits,
tunggu dulu, jangan berburuk sangka kepada Allah SWT. Allah mempunyai tiga cara
dalam mengabulkan sebuah doa. Pertama, Ya, akan Aku kabulkan permintaanmu; kedua, Aku
akan mengabulkan do’amu, tapi bukan sekarang, ini artinya Allah memang
menunda doa yang kita panjatkan sampai batas waktu yang dikehendaki-Nya, sampai
kita benar-benar siap dan pantas untuk mendapatkan apa yang menjadi permintaan
kita, namun bisa saja Allah menunda doa yang kita minta, sampai di akhirat
kelak baru dikabulkan, oleh karena itu, janganlah putus untuk selalu
memanjatkan doa kepada Sang Pengabul do’a. Dan yang ketiga, tidak, dia tidak baik
bagimu, akan Aku ganti yang lebih baik untuk mu, perlu digaris bawahi
bahwa Allah Maha Mengetahui sedang kita tidak mengetahui. Mungkin menurut kita
dia baik, tetapi menurut Allah dia tidak baik untuk kita dan percayalah Allah
selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya, dan berdo’a-lah agar Allah
melapangkan dada kita sehingga kita bisa ridha dengan semua ketetapan itu,
walau awalnya berat.
“Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216).
Seorang
tokoh ulama sufi yang bernama Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari pernah
berkata, “jangan kau tuntut Tuhanmu karena tertundanya keinginanmu, tetapi
tuntutlah dirimu sendiri karena engkau telah menunda adabmu kepada Allah.”
Bagaimana jika kita sudah
melaksanakan perintah-Nya dan juga sudah menjauhi larangan-Nya tetapi masih
saja do’a itu belum terkabul?
Coba
kita cek bagaimana cara kita berdo’a, apakah sudah benar atau belum. Menghadap
atasan untuk sekedar meminta tanda tangan saja penampilan diperhatikan, tata
bahasa dan sikap pun juga. Menghadap Allah pun seharusnya juga begitu. Sebelum
berdo’a yakinkan dalam hati bahwa do’a kita di dengar dan akan dikabulkan.
Usahakan berdoa dalam kondisi khusyuk tidak sedang tergesa-gesa. Perbanyak
pujian kepada Allah, dan sholawat kepada Rasululloh. Berdo’alah diwaktu
mustajab terkabulnya doa, antara lain di 1/3 malam terakhir, ketika turun
hujan, hari arafah, antara adzan dan iqomah dan waktu mustajab lainnya.
Jika
cara berdo’a sudah benar langkah selanjutnya adalah bersabar. Ya, solusi
andalan yang diucapkan seseorang ketika dijadikan tempat curhat temannya, yang sabar ya! Dibalik kata sabar,
tersimpan banyak keutamaan, bukankah Allah mencintai orang-orang yang bersabar
(QS. Al-Imran: 146), dan Allah menjanjikan surga bagi pelaku sabar, “Dan orang yang sabar karena mengharap
keridaan Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak
kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang
baik).” (QS. Ar-Ra’du:22).
Nah,
aku punya sebuah cerita tentang buah manis kesabaran, apalagi kalau bukan
terkabulnya do’a yang sudah lama ia panjatkan. Sebut saja dia Setia(nama ini nama sesungguhnya, tetapi bukan
nama panggilan keseharian). Dia adalah kakak kelas saya waktu SMK. Setia adalah
ketua organisasi Pramuka yang sangat terkenal pada masa itu. Base camp mereka
terletak di dekat Masjid SMK yang menjadi base camp anak Rohis.
Walaupun base camp Pramuka dan Rohis
berdekatan, tetapi kebanyakan dari anggota kedua organisasi tersebut tidak
saling kenal. Hingga suatu ketika Setia telah lulus dari SMK dan melanjutkan
pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara mengambil jurusan D-1 Beacukai.
Karena tempat kuliahnya di Jogja, Setia masih
bisa mampir ke SMK untuk sekedar jumpa fans, maklumlah fans dia banyak di
sekolah. Kesempatan emas berkunjung ke SMK ia manfaatkan betul dengan mengikuti
kelas mengaji bersama guru agama yang juga Pembina Rohis.
“Mas Setia, ya?” Sapa seorang gadis manis
berlesung pipi.
“Iya,” jawab Setia singkat.
“Sekarang kuliah di STAN ya Mas?” Tanya gadis
itu memastikan berita yang sudah tersebar ke seluruh lapisan sekolah.
Belum sempat menjawab pertanyaan gadis itu,
perhatian Setia dialihkan oleh suara lembut yang memanggil namanya. Ternyata
suara itu berasal dari adek tingkat pramuka yang tak mau kalah ingin
mewawancarainya.
Angin membelai lembut, menemani Setia dalam
lamunan. Ada yang mengganjal, sesak yang ia rasakan. Diambilnya sebuah telpon
genggam, dan dicarinyalah kontak gadis berlesung pipi itu. Masih ada pertanyaan
yang belum sempat ia jawab yang menjadi alasan ia menghubungi gadis itu.
Beberapa bulan setelah itu, bergetarlah telfon
genggam milik Setia. Sebuah pesan singkat, yang tak ia duga. Ya, pesan singkat
dari gadis itu, Dwi namanya. Ternyata waktu cepat sekali berlalu, Dwi sudah
lulus dari SMK dan ingin melanjutkan kuliah di sebuah universitas ternama yang
terletak di Jogja, Universitas Gajah Mada.
Dwi menyadari bahwa dia buta arah dan belum
mengenal betul daerah Jogja, dia berniat meminta bantuan Setia untuk
menghantarkannya ke sana. Bak sambil menyelam minum air, Setia mengiyakan
permintaan Dwi. Ketika akan berangkat kuliah, Setia menghampiri Dwi yang sudah
berada di tepi jalan.
Pemandangan tak biasa terlihat, motor Honda yang
biasanya ia tumpangi sendiri sekarang harus berbagi tempat dengan Dwi. Tas
ransel besar yang ia pakai menjadi pembatas antara mereka berdua. Di sepanjang
perjalanan Klaten-Jogja tak ada percakapan sedikitpun antara mereka, karena
pada dasarnya mereka bukanlah teman dekat, karena keterpaksaan saja Dwi meminta
bantuan ke Setia, begitu pula sebaliknya.
Setelah tugas Setia selesai, yaitu
menghantarkan sampai ke gerbang masuk UGM, ia pamit untuk pergi karena ada
jadwal kuliah. Setia juga tidak menjemput Dwi, karena perjanjian awal Dwi hanya
meminta bantuan untuk mengantarkan saja.
Setelah hari itu, Dwi sibuk di organisasi islam di kampusnya.
Sedangkan Setia sibuk dengan penempatan kerja. Hingga suatu ketika, konsentrasi Dwi buyar ketika menerima sebuah pesan singkat dari sahabatnya,
yang juga sahabatku (Bintan). Pesan singkat itu berisi sebuah informasi
penting. Kebetulan Bintan adalah teman satu organisasi dengan Setia. Dan Setia
mengetahui betul jika Bintan adalah teman dekat Dwi.
Lewat
Bintan-lah ia sampaikan niat baik untuk menjadikan Dwi sebagai pendamping
hidupnya. Alih-allih diterima, Dwi sangat kaget membaca pesan singkat itu, dan
akhirnya menolak niat baik Setia dikarenakan waktunya belum tepat dan belum
ada kecenderungan di hati Dwi untuk Setia. Waktu itu Dwi masih kuliah semester
2, ia ingin fokus mengerjakan tugas dan belum ada pikiran untuk melepas masa
lajang secepat itu.
Setia memang gerak cepat, ia yakin bahwa Dwi adalah
perempuan sholihah yang pantas menjadi pendamping hidupnya setelah ia
mengetahui bahwa Dwi aktif di organisasi Ummati, dan Setia juga memperhatikan
betul proses hijrah Dwi. Yang dulu belum banyak perempuan mengenakan rok dan
manset serta menjulurkan kerudungnya, Dwi sudah lebih dulu melakukan itu, dan
Alhamdulillah dia istiqamah, bahkan bisa merangkul sahabat terdekatnya untuk
berhijrah.
Dwi
tidak menyangka jika Setia memendam rasa kepadanya, pasalnya ketika SMK Dwi
tidak begitu dekat dengan Setia, bicara pun jarang; hanya saja pernah terlibat
dalam satu kegiatan secara bersama.
Setia
yang juga sedang berhijrah,
sedikit tahu tentang batasan hubungan akhwat dengan ikhwan,
dia ada
sedikit kebingungan bagaimana cara menyampaikan perasaannya kepada Dwi. Perasaan
yang setiap hari semakin kuat; yang setiap malam mengusik waktu tidurnya.
Karena masih awam tentang tata cara ta’aruf yang benar, akhirnya Setia
memutuskan untuk menyampaikan niat baiknya itu lewat Bintan.
Setelah
penolakan pertama yang Setia alami, tidak menjadikan dia berubah pikiran. Dia
menerima dengan lapang dada alasan penolakan yang disampaikan Dwi melalui
Bintan bahkan dia rela menunggu Dwi lulus kuliah.
Setelah
Setia mengetahui berita kelulusan Dwi, beberapa bulan kemudian dia menyampaikan
niat yang sempat tertolak itu kepada Dwi. Kali ini ada perkembangan, dia
membuat sebuah cerita yang mendiskripsikan dirinya sendiri dan keluarganya.
Karangan tulisan tangan itu ia titipkan kepada Bintan, yups lagi-lagi bintan
yang menjadi perantara mereka
Dan,
apa yang terjadi sahabat sekalian? Selembar
kertas yang penuh untaian kalimat yang telah Setia goreskan dengan tintanya
hanya berakhir di bawah tumpukan buku di atas meja Dwi. Lagi-lagi
Dwi menolak niat baik Setia. Alasan penolakannya apalagi kalau bukan waktunya
belum tepat. Sama persis dengan alasan pertama. Kali ini Dwi ingin bekerja
terlebih dahulu, ingin membahagiakan keluarga.
Perjalanan
pencarian kerja Dwi bisa dibilang cukup panjang dan lama. Awalnya Dwi bekerja
di Klaten, agar dekat dengan keluarga, masyarakat dan sahabat-sahabatnya.
Karena Dwi adalah orang yang menurut saya sangat berpengaruh di desanya, dia
mempunyai banyak sekali relasi. Dari kalangan anak-anak TPA, ustadz-ustadzah
sampai takmir masjid pun kenal baik dengan Dwi. Dari sanalah Dwi mendapatkan
masukan untuk keluar dari pekerjaanya yang pertama, karena menurut ustadz
Hasyim pekerjaannya tidak barokah.
Dwi
pun akhirnya resign dan membayar
denda karena keluar sebelum menghabiskan masa trainingnya. Dia lakukan itu
karena Allah SWT, dan ia yakin akan mendapat ganti yang lebih baik dari-Nya.
Sesungguhnya jika engkau
meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu
dengan yang lebih baik (HR. Ahmad 5: 363).
Tak
berapa lama setelah ia resign, ia
langsung mendapat pekerjaan di sebuah toko roti sebagai admin keuangan. Karena
rizki tidak serta merta berupa uang, di pertemukan dengan orang sholeh dan sholihah
adalah rizki yang tak ternilai harganya. Pemilik toko roti yang menjadi tempat
kerja Dwi sangat religius dan sangat menjujung kekeluargaan. Toko roti itu
bernama Roti Dahlia, sahabat sekalian bisa cek langsung ke toko nya. Baru masuk
ke tokonya, sudah disambut pramuniaga yang mengenakan kerudung, dan ada
lantunan musik-musik islami yang akan menemani pengunjung memilih kue. Kalau bukan kita yang membeli produk-produk saudara
kita, lantas siapa lagi?
Sebenarnya
masih panjang cerita tentang Dwi dalam pencarian kerja, bisa-bisa keluar dari
topik awal dan kasihan Setia yang tak kunjung kusebut dalam cerita ini. Jadi
setelah di Roti Dahlia, Dwi memutuskan pindah ke Jakarta untuk merawat nenek.
Disela-sela merawat nenek, Dwi juga melamar kerja di beberapa perusahan.
Alhamdulillah diterima dan bukan Dwi namanya kalau merasa nyaman di zona aman.
Dia keluar karena sistem kerjanya yang kurang jelas, dia sering pulang malam
dan tidak dihitung sebagai lembur. Setelah memutuskan keluar, akhirnya dia
kembali pulang ke Klaten.
Oh
iya sampai lupa, ketika Dwi berada di Jakarta, untuk yang ketiga kalinya Setia
menyampaikan niat baiknya itu melalui guru agama semasa smk. Dwi merasa
bingung, apa yang harus ia lakukan. Karena yang menyampaikan pesan adalah guru
agama yang ia segani, dan ia juga tahu betul bahwa Setia sudah berproses
menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Tetapi dilain pihak Dwi baru
saja diterima bekerja, dan dengan terpaksa Dwi lagi-lagi menolak niat baik Setia.
Bisa
dibayangkan berapa bulan atau bahkan tahun pencarian kerja Dwi, itu sama dengan
lamanya penantian Setia yang masih memiliki keyakinan teguh bahwa Dwilah sosok
perempuan yang diciptakan untuknya. Keyakinan yang kuat itu didapatkan dari
beberapa kali ia melakukan sholat istikharah. Tapi untuk penolakan yang ketiga
kalinya ini, membuat Setia berpikir keras. Sebenarnya keyakinan yang ia
dapatkan itu atas jawaban dari sholat istikharahnya atau hanya sebatas
keinginan untuk bersamanya yang terlalu besar.
Setia
mencoba menerima kenyataan yang teramat pahit itu, dan mencoba mencari
perempuan lain yang siap menikah dengan jalan ta’aruf. Ia pun masih meminta
bantuan guru agama SMK untuk mencarikannya. Hingga suatu saat ada seorang
perempuan sholihah yang sudah siap menikah dan bersedia berta’aruf dengan Setia.
Perasaan
Setia tidak karuan, apakah benar dia akan menikah bukan dengan Dwi. Dan apakah
benar Dwi yang selama ini ia perjuangkan bukanlah jodohnya.
Setia
mencoba ridho dengan takdir-Nya, dan menjalani proses ta’aruf dengan baik.
Pertanyaan demi pertanyaan ia sampaikan melalui guru SMK, begitu juga
sebaliknya. Ia juga sudah berusaha meminta petunjuk lewat istikharah, dan
jawabannya tidak ada keyakinan yang ia rasakan seperti ia yakin kepada Dwi.
Akhirnya ia memutuskan untuk mundur dari proses tersebut.
Setelah
melakukan penolakan terhadap Setia untuk yang ketiga kalinya, Dwi merasa sangat
sedih. Dia sedih karena menolak sosok laki-laki yang baik agamanya dan juga
baik perangainya. Ia harap-harap cemas; ia menunggu kabar gembira akan undangan
pernikahan Setia dengan perempuan sholihah itu.
Nah,
suatu ketika karena suatu hal saya menghubungi Setia untuk menanyakan sesuatu.
Sepertinya karena dia update status di BBM yang menandakan dirinya berada di
suatu tempat yang dekat dengan rumahku. Berawal dari pertanyaan ringan kemudian berlanjut
kepertanyaan yang menjurus ke Dwi. Dan ternyata Setia sengaja membuat status
seperti itu agar saya berkomentar dan bisa ia tanyai tetang Dwi. Ternyata bukan
cuma aku yang sering ngode lewat
status BBM, tapi sayangnya nggak tepat sasaran seperti Setia, hehe.
Dan
ketika Setia sedang berkomunikasi denganku lewat BBM, aku pun juga
berkomunikasi dengan Dwi lewat WA. Aku kirimkan percakapan Setia ke Dwi begitu
pula sebaliknya. Dari sana saya bisa mencium bahwa sebenarnya Dwi mulai ada
rasa untuk Setia, terbukti dia agak iri dengan gaya percakapanku dengan Setia
yang bisa bercanda lepas, sedangkan ketika Setia menghubungi dia, gaya
percakapannya kaku. Langsunglah percakapan itu aku kirimkan ke Setia, dan
masyaAllah jawaban dari Setia membuat aku baper seketika,
“dia
tidak pantas untuk aku candai sebelum halal. Besok kalau sudah menikah saja
bercandanya,” seperti itu lah jawaban Setia yang lagi-lagi aku kirimkan ke Dwi,
dan percakapan itu terjadi beberapa bulan sebelum Ramadhan.
“Mas,
bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Dwi?” Tanyaku ketika sudah memasuki
bulan Ramadhan, pasalnya setelah itu tidak ada percakapan yang membahas tentang
Dwi, biasanya Dwi terbuka ke saya tapi kali ini justru saya lah yang harus
mencari info sendiri.
“Sudah,
jangan membahas masalah itu dulu,
aku lagi ingin focus meningkatkan ibadah di bulan Ramadhan ini,” jawab Setia.
Dan
apakah yang terjadi sahabat sekalian, betapa kagetnya saya ternyata selama
bulan Ramadhan itu mereka berdua sudah tukar biodata dan saling setuju satu
sama lain. Beberapa hari setelah hari Raya Idhul Fitri, untuk pertama kalinya
Dwi dipertemukan dengan Setia untuk menanyakan kelanjutan proses mereka.
Dwi
yang ditemani Ustadzah Eka, dan Setia karena murabbinya ada di Kudus, ia
ditemani oleh suami Ustadzah Eka. Mereka bertemu disebuah masjid dekat tugu Rajawali, masjid Roudhoh namanya. Disana mereka saling
mengajukan pertanyaan satu sama lain. Sebelum mereka bertemu, malam harinya Dwi
dibantu sahabatnya sudah menuliskan beberapa pertanyaan di buku.
“Siapa
yang paling engkau sayangi di dunia ini?” Tanya Dwi.
“Yang
pertama Allah Swt., yang ke-dua Rasululloh Saw. kemudian ibuku, ibuku, ibuku
dan ayahku,” jawab Setia yang membuat mata Dwi berkaca-kaca, dan saya pun juga
merinding ketika mendengar cerita ini dari Dwi.Dan dari jawaban itulah yang
membuat Dwi yakin untuk melanjutkan ke tahap khitbah yang kemudian akan
berlanjut ke akad.
Betapa
senangnya hati Setia saat itu, akhirnya do’a yang selama ini tak putus ia
panjatkan perlahan tapi pasti mendapatkan jawaban. Pada waktu itu juga seusai
sholat Dzuhur, Setia berniat menemui ayah dari Dwi, ia ingin segera
mengutarakan niat baiknya untuk meminang Dwi.
Di
rumah Dwi, Setia memperkenalkan diri dengan dibantu ustadzah eka dan suami.
Setelah mengutarakan niatnya, ayah Dwi pun mengiyakan dengan syarat minta waktu
1 tahun, banyak yang harus dipersiapkan terutama masalah biaya, terlebih lagi
adek Dwi baru saja masuk kuliah.
“Untuk
masalah biaya insyaAllah nanti saling membantu Pak,” kata Setia yang tetep kekeh ingin menikahi Dwi
dalam waktu dekat.
“Jika
keluarga disini
ada kekurangan, keluarga kami siap membantu, begitu juga seballiknya, apabila keluarga kami ada kekurangan, kami mohon bantuannya” tambahnya lagi.
“Nggak
hanya masalah biaya resepsi Nak, tapi juga tentang janji Dwi yang ingin
membantu membiayai kuliah adeknya,” jawab Ayah Dwi yang tetap meminta waktu 1
tahun.
“Iya
Pak, insyaAllah menyatukan dua
orang dalam pernikahan berarti menyatukan dua keluarga, insyaAllah rejeki kita
nanti semakin bertambah, aamiin” tambah Setia.
“Benar Pak, kata mas Setia. Jarak antara
khitbah dan akad itu sebaiknya tidak boleh lebih dari 3 bulan, tapi nggeh
monggo didiskusikan dulu saja, lebih baik disegerakan mawon Pak, karena menikah
itu juga ibadah, menyempurnakan separuh dari agama,” tambah suami ustadzah Eka yang memecah keheningan.
“Kalau keduanya saling suka, saya dan keluarga mau bagaimana kalau bukan memberi
Ridho atas niat baik mereka,” kata ayah Dwi, yang memberikan angin segar bagi
Setia.
“Alhamdulillah, kalau Bapak sudah Ridho,
insyaAllah besok pagi saya akan mengajak kedua orang tua saya untuk silaturahim
kesini,” ucap Setia sambil tersenyum lega.
Pagi
harinya, Setia dan keluarga mendatangi rumah Dwi. Setia sudah memberi tahu
kepada sesepuh di keluarganya, untuk berdialog agar keluarga Dwi setuju untuk
melangsungkan pernikahan di bulan Safar.
Pertemuan
pertama antar keluarga terasa begitu hangat, walaupun awalnya yang Setia dan Dwi
rasakan adalah perasaan takut dengan jantung yang berdebar sangat cepat.
Lagi-lagi do’a Setia terkabul. Ternyata dari Ayah Dwi tidak ada penolakan
ketika pihak laki-laki menawarkan untuk menikah di bulan Safar, padahal jarak
antara Syawal dan Safar hanya sekitar 4 bulan.
Sepulangnya
keluarga Setia, di rumah Dwi terjadi perdebatan kecil, kenapa ayah Dwi
mengiyakan begitu saja tawaran dari pihak laki-laki, padahal kemarin ayahnya
kukuh harus menunggu 1 tahun. Ayah Dwi pun juga merasakan keanehan, lidahnya
kelu dan pikirannya jadi kosong, sehingga dengan mudahnya meng-iyakan tawaran
dari pihak laki-laki.
Seiring
berjalannya waktu, yang dipermasalahkan ayah Dwi perlahan bisa terselesaikan.
Banyak sekali pihak yang membantu, dan dari Setia juga membantu persiapan
resepsi. Mulai dari mendesain dan mencetak sendiri undangan, mencarikan rias
dan dekorasi yang bagus dan terjangkau. Benar-benar saling membantu satu sama
lain.
Waktu
pun berjalan dengan sangat cepat, tak terasa kurang 1 bulan lagi Dwi dan Setia
melangsungkan pernikahan. Tetapi, Dwi merasa gundah gulana. Hatinya tidak
tenang, ia ingin menangis tapi bingung karena apa. Kalau saya pikir itu karena
kesibukannya di Karang Taruna yang menyita waktu, tenaga, dan pikirannya.
Bayangkan saja, terkadang Dwi sampai larut malam ikut berjualan makanan yang
dikelola Karang Taruna di Desanya. Biasanya orang yang sudah mempunyai rencana
menikah, pasti sudah disibukan dengan urusan pernikahan jauh-jauh hari
sebelumnya. Tetapi Dwi berbeda, itulah yang membuat aku iri dengannya. Dia begitu
bermanfaat bagi sesama, hingga menomor duakan urusan pribadi.
Dan
sangkaanku pun salah, dia bahkan enjoy menikmati perannya itu, yang membuat
hatinya tak tenang adalah tentang pemikirannya. Bagaimana besok setelah menikah, bagaimana cara berkomunikasi dengan
keluarganya, bagaimana dan bagaimana.
Setalah
mencurahkan isi hatinya ke ustadzah, Dwi pun mendapatkan saran jika dia harus
mengunjungi rumah Setia sebelum akad itu dilangsungkan. Pasalnya Dwi sama
sekali belum pernah berkunjung ke rumah Setia. Bahkan ketika aku mengantarkan
dia dan Setia ke sebuah rias pengantin, Dwi bersekongkol denganku, bahwa
berangkatnya agak sore saja biar waktunya pas selesai menjelang Maghrib dan nggak usah mampir ke
rumah Setia, yang kebetulan dekat dengan lokasi rias pengantin tersebut.
Sedangkan
ustadzah yang dulu juga berproses melalui ta’aruf, sering sekali main ke rumah
suaminya untuk sekedar masak bareng sama mertua dan ngobrol santai dengan
saudara-saudara dari suami.
Dwi
pun mengikuti saran dari ustadzah, dan untuk pertama kalinya Dwi mengunjungi
rumah Setia. Perasaan takut, deg-degan jadi satu. Takut jika salah berbicara,
takut jika salah bertindak dan takut jika kesan pertama tidak sebaik yang ia
harapkan.
“Besok
setelah menikah tinggal di sini saja Nak? Lagian Setia seminggu sekali juga
pulang,” saran dari Ibu Setia.
“Tetapi
kembali lagi ke Setia, tugas kamu menuruti perintah Suami. Kamu masih boleh
membantu ibumu, tetapi tugas utamamu adalah taat kepada suami,” tambah ibu Setia
yang dibalas Dwi dengan senyuman dan anggukan.
“Buk,
lauknya apa?” Tiba-tiba adek Setia yang paling kecil pulang dari sekolah, dan
ingin makan.
“Lodeh
terong,” jawab ibu.
“Aku
nggak suka lodeh terong,” kata adek Setia dengan cemberut.
“Yasudah
Ibu gorengin telur dulu,” kata ibu Setia yang kemudian bangkit dari duduknya
dan berjalan menuju dapur yang diikuti oleh Dwi.
“Biar
saya saja Buk yang goreng,” kata Dwi.
Dwi
pun tidak hanya menggoreng telur, tetapi juga mengambilkan nasi untuk makan
adeknya (hehe, bakal adek). Setelah
itu Dwi juga membuat sambal bawang dan menggoreng kerupuk. Walaupun sepele tapi
Dwi sangat berhati-hati dalam memasak, ia tidak mau membuat kesalahan sekecil
apapun. Tetapi yang terjadi diluar dugaan, kerupuk yang ia goreng tidak mengembang
sempurna, ia berkali-kali minta maaf kepada ibu Setia. Setelah dirasa cukup,
Dwi berpamitan untuk pulang, dan ibu Setia pun membawakan cabe untuk calon
besannya, kata ibu Setia‘cabe dari calon besan untuk calon besan’.
Spechless, pengen nangis karena terharu. Cara mereka berproses sangat mulia,
mungkin diluaran sana banyak sekali yang berproses seperti itu, tetapi ini
terjadi dengan sahabatku dan aku menjadi saksi atas mereka. Kebetulan saya
mengenal keduanya, dan itulah yang menjadikan ku menulis cerita ini, sebagai
hadiah pernikahan mereka. Semoga Allah memberkahi kamu, dan memberkahi kalian
berdua, serta mengumpulkan kalian berdua pada kebaikan, aamiin.
Jadi
teruslah berdoa jangan putus asa. Terus bersabar dan bersyukur. Jangan lupa
do’akan saudara-saudara muslim dengan do’a yang terbaik, karena sesungguhnya do’a
itu juga akan kembali ke kita.
“Doa seorang muslim untuk saudaranya (muslim
lainnya) yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan oleh Allah. Di atas
kepala orang muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang
ditugasi menjaganya. Setiap kali muslim itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya,
niscaya malaikat yang menjaganya berkata, ‘aamiin (semoga Allah mengabulkan)
dan bagimu hal yang serupa.” (HR. Muslim No. 2733, Abu Dawud No. 1534, Ibnu
Majah No. 2895 dan ahmad No. 21708).
***