Senin, 11 Maret 2019

Gelisah


Gelisah


… lanjutan ke-4
Gelisah, badan lemas serasa tak punya kekuatan kurasakan hampir lebih 2 pekan. Termasuk ketika menunggu berita mas Wahyu yang hari itu akan bertamu. Apa yang mereka bicarakan, bagaimana keputusan dan masih banyak pertanyaan yang terlintas dibenakku.
Ku coba menghubungi teteh menanyakan kondisi rumah, dan jawaban teteh semakin membuatku penasaran. Hingga akhirnya ada pesan masuk dari ustadzah Eka yang membuatku tambah kacau,
“Alhamdulillah, barakallah mas Wahyu minta minggu ini khitbahnya, antara Sabtu atau Ahad,”
“kalau hari Sabtu, Ahadnya mas Wahyu balik ke Lombok pun sebaliknya.”
Hello… Secepat itukah, baru kemarin ketemu udah mau dilamar saja, berilah aku sedikit waktu untuk bisa bernafas, makan dan tidur dengan nyenyak dan pastinya sholat istikharah.
Tubuhku semakin gemetar seolah tak punya daya kekuatan karena memang akhir-akhir itu hanya beberapa suap nasi yang masuk ke perut. Aku langsung menghubungi mas Raka, menyampaikan keinginanku, bahwa aku belum siap dilamar masih butuh banyak pertimbangan diundur saja sampai bulan Februari.
“Mas Wahyu pengen secepatnya San, biar tenang kalau sudah mengkhitbahmu,” kata mas Raka sesudah dia menghubungi mas Wahyu.
“Tapi ya jangan secepat itulah,”
“Mas Wahyu bisa pulang kapan saja kan? Nah itu bulan Februari ada tanggal merah,”
“Apa yang membuatmu meminta bulan Februari?” Tanya mas Raka.
“Biarkan saya bernafas dulu, sekalian pengen sholat istikharah,”
“Pekan ini aku halangan sampai besok Sabtu, jadi belum bisa sholat,” ucapku.
“Hlah, kok sholat istikharah, apa yang membuatmu masih ragu dari mas Wahyu?” Tanya mas Raka serius.
“Sampai sekarang belum ada, tapi nggak ada salahnya kan sholat Istikharah biar makin mantab,” jawabku.
“Ya sudah, sholat istikharahnya dengan niat memantabkan hati saja kalau begitu.”
“Makanya itu, bulan Februari saja ya Khitbahnya sampaikan ke mas Wahyu,” ucapku dengan memelas.
“Lebih cepat lebih baik San, coba nanti diskusikan dulu dengan keluarga,” kata mas Raka menyudahi pembicaraan kami.
Bel pulang pun berbunyi, hujan masih turun dengan derasnya. Sebelum pulang kerumah, aku mampir ke sebuah warung makan untuk mengisi lambung bersama sahabat tercinta, tiba-tiba handphone berbunyi ada sebuah pesan dari bapak yang menanyakan keberadaanku sekarang. Ya mungkin mereka ingin cepat-cepat menceritakan kejadian tadi pagi denganku.
Sesampainya di rumah, dengan sumringahnya mereka menceritakan kejadian tadi pagi, dan mengajakku kerumah pakde untuk menanyakan kapan siap menerima tamu. Dan entah kenapa saat itu, aku tak mengungkapkan keinginanku untuk mengudurkan lamaran hingga awal Februari.
Di rumah pakde pun aku dibuat gemetar ketika tiba-tiba mereka juga mencarikan tanggal pernikahan kami, dilamar aja belum sudah membicarakan tanggal pernikahan. Dan yang membuatku tercengang bukan bulan April yang mereka tentukan tetapi malah bulan Maret, lebih cepat dari saran ust Eka.
Pembicaraan mereka pun sudah mengarah ke pernikahan sedangkan memikirkan dilamar saja saya sudah tidak karuan apa lagi memikirkan hal itu, kode pun ku berikan agar menyudahi percakapan dan kembali pulang.
Ku sampaikan semua pembicaraan tadi kepada mas Raka untuk diteruskan ke mas Wahyu. Entah apa respon mas Wahyu dan keluarga mengetahui hal tersebut, yang jelas saat itu pikiranku kacau, detak jantung terasa sekali, kucoba beberapa kali mengatur nafas tapi masih saja detak jantung berdecak lebih cepat dari biasanya.
Sebenarnya bukan masalah keraguan kepada mas Wahyu, tetapi hanya masalah waktu dan masalah pikiran. Aku terlalu berat memikirkan masa depan hingga tidak bisa menikmati masa sekarang. Pikiranku terbang melayang, memikirkan bagaimana besok saat bertemu bapak dan ibunya, yang sebenarnya aku sudah pernah bertemu dengan mereka. Tetapi dulu karena masalah pekerjaan dan besok tentang masa depan.
Bagaimana respon mereka kepadaku, apakah mereka setuju putranya akan menikah denganku. Apa pertimbangan mereka setuju dan masih banyak lagi pikiran yang meghantui ku saat itu.
Tetapi ada hikmahnya kenapa khitbah itu dipercepat, biar rasa gelisah yang kurasakan segera berakhir digantikan hari hari penantian dengan berbagai persiapan. Semua yang terjadi di dunia ini penuh dengan hikmah, seperti pesan dari Ibnul Qayyim, “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari.”
Hari yang menegangkan part 1 pun tiba, ya part 1 karena besok bakal ada part berikutnya yang lebih menegangkan, berkujung ke rumah calon mertua untuk pertama kali, cari seserahan bersama saudaranya mungkin dan lain sebagainya. Banyak kejutan dan ketegangan yang terjadi ketika memilih untuk ta’aruf dan kalau bisa terlewati rasanya nikmat sekali, bisa senyum senyum sendiri ketika flash back.
Sebuah mobil xenia biru memasuki halaman rumah, gemetar dan salah tingkah tak bisa ku tutupi ketika rombongan satu persatu turun dari mobil. Alhamdulillah tidak semenakutkan yang saya bayangkan ketika pertama kali berjabat tangan dan mencium pipi ibu dari mas Wahyu.
Pertemuan pun dilanjutkan di dalam rumah, dari keluarga saya sudah mengundang tokoh masyarakat untuk ikut bermusyawarah. Semua berjalan dengan lancar hingga ketika aku ditanya mau kah menerima pinangan dari mas Wahyu, seketika bingung mau jawab apa, karena nggak ada kordinasi sebelumnya, dan dari cerita teman ketika lamaran pun dia tidak ikut terlibat di dalamnya. Dengan malu malu tapi mau, aku pun mengiyakan tawaran tersebut.
Setelah sepakat tanggal, dan pemberian cinderamata berupa cincin yang dipasangkan ibu mas Wahyu, obrolan dilanjutkan dengan makan siang bersama. Aku langsung masuk ke dalam dan yang lain mengantri mengambil makan siang. Semua menawariku makan, tapi saat itu aku menjawab nggak doyan makan sudah kenyang karena hati senang, gubrak padahal tempo lalu aku yang minta diundur aja lamarannya, setelah dilamar ternyata sedikit ada rasa plong di hati.
Ya begitulah setan, selalu membisikan rasa was-was dalam hati manusia, sehingga manusia merasa khawatir dan takut untuk melangkah, terlebih niat baik untuk beribadah (menikah) pasti setan lebih giat lagi dalam berusaha agar rencana baik itu tidak terlaksana, na’udzubillah mindzalik, mari senantiasa berdoa agar hajat kita dipermudah dan dijauhkan dari godaan setan terkutuk.
“Katakanlah, ‘aku berlindung kepada Tuhannya manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.” (Qs. An-Nas: 1-6)
Setelah proses khitbah, rasanya nggak canggung lagi untuk memikirkan proses selanjutnya, mencari rias, undangan, poto dan lain sebagainya. Sempat bingung juga bagaimana mengurus semua ini, apa boleh saya diskusi dengan mas Wahyu. Pertanyaan itu aku tanyakan ke beberapa teman yang sudah menikah, kebanyakan mereka menjawab ada yang diurus bersama ada yang diurus sendiri, dan itu tidak memberi solusi dari pertanyaanku justru membuatku semakin bingung.
Hingga akhirnya kuberanikan untuk bertanya kepada dia, canggung? Iya pakai banget, awal mula tegur sapa di WA pun masih kaku dan malu, tetapi bagaimana lagi daripada pusing sendiri mending dikomunikasikan. Terlebih lagi setelah proses khitbah kita diperbolehkan komunikasi untuk membahas persiapan-persiapan pernikahan yang kadang di sela sela membicarakan persiapan ada guyon yang diselipkan, hehe jangan dicontoh ya.
Setelah dikhitbah, rencananya kami menyembunyikan berita bahagia tersebut tetapi ternyata mereka mengetahui dengan sendirinya jika aku sudah di khitbah dari jari tengah yang sudah tercincini dan makanan yang aku bawa ke kantor, seperti biasa ketika ada acara jika ada sisa makan selalu ku bawa ke kantor, biasanya acara pengajian tetapi ini langsung ketebak habis lamaran.
Berita bahagia memang cepat sekali menyebar, walaupun banyak yang tahu saya sudah di lamar tetapi mereka tak paham siapa yang melamar. Identitas masih saya rahasiakan, mas Wahyu sendiri pun juga ingin merahasiakan identitasnya, agar ketika kita menyebar undangan mereka terkejut mengetahui siapa calon saya yang ternyata dahulu adalah rekan kerja mereka.
Tetapi ya begitulah, Januari belum berakhir identitas mas Wahyu pun sudah tersebar. Respon mereka selain kaget, Alhamdulillah mendukung kami dan mendoakan kelancaran acara kami.
Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabul). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata : ‘aamiin, engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.’” (HR. Muslim)
Teruntuk saudaraku semuslim, mohon doanya untuk niat baik kami. Semoga segala persiapan menuju akad nikah diberi kemudahan serta kelancaran oleh Allah Swt. dan kelak setelah menikah semoga kami bisa membangun keluarga yang sakinnah mawadah dan rahmah. Aamiin.
Dan teruntuk single lillah tetaplah istiqamah dalam memperbaiki diri, percayalah semua orang memiliki ceritanya sendiri dalam menemukan sang pujaan hati yang selama ini dinanti. Saya tunggu cerita dari kalian, semoga bisa menginspirasi saudara muslim lainnya. Semoga diberi kemudahan serta kelancaran dalam segala urusan, aamiin.
Terimakasih sudah membaca cerita kami, mohon maaf jika ada yang kurang berkenan ambil positifnya dan buang jauh-jauh sisi buruknya. Semoga bermanfaat.
***

4 komentar:

Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :