Jumat, 01 Maret 2019

Sebuah Pertemuan


Sebuah Pertemuan

... lanjutan ke-3

Tak pernah sebelumnya aku terbuka mengenai seorang pria kepada keluarga. Ada yang mendekat dan berusaha pun tak kuceritakan kepada mereka. Hanya saja keluarga memberi syarat cari yang dekat saja.
Ya, ada beberapa yang mengenalkan, kerjanya di Kalimantan, Lampung atau Jakarta aku katakan tidak kepada mereka tanpa aku berdiskusi terlebih dahulu dengan keluarga. Tapi entah kali ini aku ingin mencoba bersuara, siapa tahu syarat dan ketentuan sudah tak berlaku asalkan lillahita’ala.
Memang aku tipe pribadi yang tertutup dengan keluarga dan terbuka dengan teman sebaya, aneh rasanya tapi memang aku malu jika bercerita kepada keluarga tentang hal itu. Dulu pernah nekat melakukan proses ta’aruf tanpa sepengetahuan mereka, pikirku izin kepada mereka di akhir saja, jika sudah cocok satu sama lain. Tapi ternyata ketika ku berproses penuh dengan keraguan, dan akhirnya aku berhenti berproses dengan dia.
Dari ‘Abdullah bin Amr bin ‘Ash Radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua.” Hadits Sahih diriwayatkan oleh  Bukhari
Memang benar, ridho Allah terletak pada ridho orangtua, jadi tips buat yang mau berproses pertama adalah minta restu dari orang tua, jika orang tua sudah ridho rasanya tenang dalam melangkah dan tips kedua adalah cari perantara yang benar dalam arti tahu ilmunya dan yang amanah, insya Allah dipermudah dan dilancarkan prosesnya.
Seperti layaknya aku, sampai sekarang rasanya seperti mimpi, cepet banget prosesnya, ya memang harus begitu, karena ada 5 perkara yang harus dipercepat yang mana 5 perkara itu tercantum dalam Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashbahani.
Ketergesa-gesaan biasa dikatakan dari setan, kecuali dalam 5 perkara: menjamu tamu, mengurus mayit ketika meninggal, menikahkan seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya, melunasi hutang, segera bertaubat.
Selisih satu hari setelah aku membaca biodatanya, ku beranikan diri untuk meminta restu dari keluarga. Alhamdulillah ada moment yang pas, ketika kami keluar untuk makan malam bersama. Ya disana aku mencoba membuka suara dan jawaban mereka diluar dugaan, mereka mengiyakan walaupun mereka tahu kalau mas Wahyu kerjanya di luar jawa, mereka seolah sudah mengikhlaskanku karena inilah yang mereka tunggu, ada laki-lali yang ingin meminang anak gadisnya, semacam the power of kepepet kali ya hehe.
Anggapan mereka selama ini, aku nggak ada usaha sama sekali ibaratnya hanya nunggu ada jodoh jatuh dari langit, padahal usahaku sudah maksimal untuk menjemputnya. Setiap ada teman yang membullyku karena status single, selalu aku ajak diskusi daripada bully mending aku dibantu deh, siapa tahu ada temenmu yang recomended untukku.
Dan ucapanku mereka anggap serius, ya sebenernya memang serius sih tapi nggak nyangka mereka gerak cepat buat ngenalin aku ke teman/saudaranya. Ya memang salahku sih kenapa aku harus ngomong kayak gitu, mau nggak mau aku harus menanggapi mereka.
Awalnya mereka ku anggap hanya teman saja, lumayan kan tambah teman. Tapi berjalannya waktu aku mulai merasa risih, gelisah rasanya ketika aku menanggapi pesan dari mereka.
Satu persatu aku hentikan komunikasi dengan mereka, ada yang akunnya aku delcon, nomor aku block, pesan instagram aku balas singkat dll. Memang harus setega dan setegas itu dengan mereka, karena aku ingin mencari ketenangan dan ketentraman hati.
Rasulullah Saw. bersabda, “Kebaikan adalah berakhlak mulia, sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa/ membuat tidak tenang dan engkau tidak suka jika nampak di tengah-tengah (diketahui) manusia.” (HR. Muslim)
Berbeda dengan mas Wahyu, dia menghargai setiap prosesnya. Ya seperti yang sudah aku ceritakan pada kisah pertama, aku pernah menuliskan doaku dalam buku,
Aku takut untuk untuk berta’aruf, tetapi aku tak mau melalui pacaran dalam pencarian. Ya Allah, semoga kelak aku bisa berproses dengan seseorang yang sebelumnya aku ketahui asal usulnya dan semoga prosesku lewat ustadzah Eka.
Dan Alhamdulillah Allah Swt menjawab doaku dengan menghadirkan mas Wahyu. Nilai positif buat dia adalah bisa menahan tidak berkomunikasi selama berproses, walaupun kita sama sama menyimpan kontak, ya berbeda dari yang lama.
Setelah mendapat lampu hijau dari orang tua, ku hubungi mas Raka dan ku katakan aku siap untuk proses selanjutnya, bertemu untuk saling melihat satu sama lain dan memberikan pertanyaan atau sering disebut nazhor.
Tak mau berlama-lama, kami putuskan untuk nazhor di tanggal 1 Januari 2019. Jangan tanya bagaimana kondisiku di malam tahun baru, nggak bisa tidur? Sudah pasti! Tetapi ku coba untuk bertanya kepada sahabat yang sudah lebih dulu berproses, apa yang harus aku persiapkan untuk sebuah pertemuan yang akan menjadi kenangan.
Pagi harinya, aku mengirimkan pesan kepada ustadzah Eka, bahwa aku akan tiba dirumahnya sebelum adzan Dzuhur berkumandang, tetapi kenyataannya aku berangkat ketika mendapat wa dari Ust Eka yang mengabarkan bahwa mas Wahyu sudah meluncur ke lokasi.
Pikirku perjalanan mas Wahyu dan mas Raka akan memakan waktu yang lama, jadi aku masih punya sedikit waktu untuk meminta nasehat ustadzah Eka. Tapi Qadarullah, aku lupa jalan menuju rumah beliau, tanya tetangga sekitar dan buka google map pun sudah ku coba, hingga akhirnya ku menemukan rumah yang akan menjadi saksi pertemuan kita.
Baru masuk ke rumah beliau, kulihat pesan WA ternyata mas Wahyu dan mas Raka sudah berada di gang dekat rumah ust Eka. Gugup rasanya, belum jadi minta nasehat mereka sudah datang saja. Ust Eka juga menyayangkan kedatanganku yang mepet, mau bagaimana lagi urusan rumah belum selesai.
“Mb Santi, keluarlah!”
“Ini mas Wahyu sudah datang,” kata Ust Eka yang memanggilku dari tempat persembunyian, ya memang karena baru datang hati belum tenang, eh mas Wahyu sudah tiba, ya saya langsung sembunyi dong ya.
Dengan perasaan yang campur aduk, aku keluar menemui mereka dengan membawa sebuah buku kecil yang berisi pertanyaan pertanyaan bak wartawan yang akan mewawancarai narasumber.
Agar pertemuan kali itu mendapat ridho dari-Nya, ust Eka membuka dengan membaca basmallah kemudian dilanjutkan dengan saling memberi pertanyaan sama lain. Mas Wahyu tahu bahwa di buku ku banyak sekali pertanyaan yang sudah ku catat, dia mempersilahkanku terlebih dahulu untuk bertanya, tetapi karena kondisi hati masih nggak karuan, ku persilahkan mas Wahyu untuk lebih dulu bertanya.
“Sebelum ini sudah pernah ta’aruf?” Tanya mas Wahyu yang seolah mengingatkanku tentang masa lalu.
“Sudah pernah, satu kali,” jawabku dengan memandang ust Eka. Dan ust Eka sedikit bingung dengan siapa aku dulu berproses, setelah aku kode beliau pun ingat.
“Baru saja atau sudah lama?” Tanya nya lagi.
“Sekitar satu tahun yang lalu,” jawab Ustadzah Eka, karena saya juga sudah lupa kapan proses pertama saya lakukan.
“Kalau ta’aruf swasta sudah pernah belum?” Tanya mas Wahyu yang membuat aku dan ust Eka saling pandang.
“Maksud saya pacaran,” tambah mas Wahyu menjelaskan ucapannya.
“Oalah itu to yang di maksud. Alhamdulillah belum pernah,” jawabku.
Mas Wahyu pun hanya menganggukan kepala mendengar jawabanku, tidak terpikir dibenakku untuk mengajukan pertanyaan serupa dengan dia, karena aku terpaku pada catatan dibuku kecilku. Dan aku baru tahu beberapa hari setelah khitbah bahwa mas Wahyu juga belum pernah pacaran, membawa teman perempuan kerumah untuk dikenalkan orang tua pun juga belum pernah ia lakukan.
 “Tentang kriteria dalam memilih pasangan, ada point se kufu, bagaimana pendapatmu mengenai hal itu?” Tanyaku, setelah ust Eka memberiku kesempatan untuk bertanya.
“Ya kalau menurut saya se kufu itu nggak hanya dalam hal latar belakang keluarga dan pendidikan tetapi juga agama. Yang paling penting setara dalam hal agama lah yang lainnya itu kan hanya pemanis. Setidaknya sama-sama paham ilmu agama walaupun tetap harus saling mengingatkan dan melengkapi,” tutur mas Wahyu.
Pertanyaan demi pertanyaan kami ajukan secara bergantian, hingga akhirnya harus ada keputusan apakah lanjut keproses selanjutnya atau berhenti sampai di sini saja. Ketika ditanya seperti itu mas Wahyu meng iyakan untuk lanjut, sedangkan aku masih harus berpikir dan bertanya kepada kedua orang tua terlebih dahulu, karena di dalam pertanyaan yang saya ajukan ada point tentang kehidupan setelah menikah, apakah masih bisa dipertahankan untuk tinggal di Klaten atau harus ikut dengan dia.
Pertemuan singkat kami pun di tutup dengan membaca hamdalah sebagai wujud syukur atas lancarnya segala urusan. Mas Wahyu dan mas Raka pun pamit pulang, dan aku masih tetap di rumah ust Eka sampai adzan Ashar berkumandang.
“Coba nanti tanya bapak dan ibu, ridho atau tidak,”
“kalau ridho, tanya juga siap menikahkan bulan apa?”
“Kalau saya ngasih saran nikahnya bulan April saja Mbak, bulan Sya’ban biar sebelum Ramadhan sudah sah,” nasehat ust Eka.
“Ust, jangan bulan April lah terlalu cepat itu, habis lebaran saja biar persiapannya bisa maksimal,” jawabku.
“Tanya dulu saja sama orang tua, siapa tahu malah siap kapan saja, bisa jadi sebelum bulan April,”
“lebih cepat lebih baik Mbak,” tutur beliau.
Aku pun pulang, dan menceritakan proses yang baru saja saya lakukan. Alhamdulillah setelah aku ceritakan semuanya, orang tua setuju dan siap menikahkan saya kapan saja. Berita baik itu langsung saya sampaikan kepada ustadzah Eka dan mas Raka agar disampaikan ke mas Wahyu.
Setelah mas Raka menyampaikan kepada mas Wahyu, mas Wahyu pun memiliki itikad baik untuk menemui bapak sebelum ia kembali ke Lombok. Aku usulkan di tanggal 2 Januari 2019 saja, karena kakakku masih di rumah, jadi nggak perlu meminta pakde untuk jadi juru bicara.
“Berarti besok kamu ijin nggak berangkat kerja?” Tanya kakakku.
“Berangkat dong, baru saja masuk di tahun yang baru, masak udah ijin aja,” kataku.
“Hla gimana to, temenmu mau kesini kok kamunya nggak ada?” Kata kakak bingung.
“Dia kesini pengen ketemu bapak kok, bukan aku.”
“Jadi nggak masalah kalau akunya nggak ada, lagian tadi juga sudah ketemu kok.”
“Besok giliran dia menemui bapak untuk meminta restu.”

*to be continue*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :