Sebuah Pertemuan
... lanjutan ke-3
Tak pernah
sebelumnya aku terbuka mengenai seorang pria kepada keluarga. Ada yang mendekat
dan berusaha pun tak kuceritakan kepada mereka. Hanya saja keluarga memberi
syarat cari yang dekat saja.
Ya, ada
beberapa yang mengenalkan, kerjanya di Kalimantan, Lampung atau Jakarta aku katakan tidak kepada mereka tanpa aku
berdiskusi terlebih dahulu dengan keluarga. Tapi entah kali ini aku ingin
mencoba bersuara, siapa tahu syarat dan ketentuan sudah tak berlaku asalkan lillahita’ala.
Memang aku tipe pribadi yang tertutup dengan keluarga dan
terbuka dengan teman sebaya, aneh rasanya tapi memang aku malu jika bercerita kepada keluarga tentang hal itu. Dulu
pernah nekat melakukan proses ta’aruf tanpa sepengetahuan mereka, pikirku izin
kepada mereka di akhir saja, jika sudah cocok satu sama lain. Tapi ternyata
ketika ku berproses penuh dengan keraguan, dan akhirnya aku berhenti berproses
dengan dia.
Dari ‘Abdullah bin Amr bin ‘Ash Radhiyallahu’anhuma,
bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Ridha
Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada
kemurkaan orang tua.” Hadits Sahih diriwayatkan oleh Bukhari
Memang benar, ridho Allah terletak pada ridho orangtua,
jadi tips buat yang mau berproses pertama adalah minta restu dari orang tua,
jika orang tua sudah ridho rasanya tenang dalam melangkah dan tips kedua adalah
cari perantara yang benar dalam arti tahu ilmunya dan yang amanah, insya Allah
dipermudah dan dilancarkan prosesnya.
Seperti layaknya aku, sampai sekarang rasanya seperti
mimpi, cepet banget prosesnya, ya memang harus begitu, karena ada 5 perkara
yang harus dipercepat yang mana 5 perkara itu tercantum dalam Hilyatul Auliya’
karya Abu Nu’aim Al Ashbahani.
Ketergesa-gesaan
biasa dikatakan dari setan, kecuali dalam 5 perkara: menjamu tamu, mengurus
mayit ketika meninggal, menikahkan
seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya, melunasi hutang, segera
bertaubat.
Selisih satu hari setelah aku membaca biodatanya, ku
beranikan diri untuk meminta restu dari keluarga. Alhamdulillah ada moment yang
pas, ketika kami keluar untuk makan malam bersama. Ya disana aku mencoba
membuka suara dan jawaban mereka diluar dugaan, mereka mengiyakan walaupun
mereka tahu kalau mas Wahyu kerjanya di luar jawa, mereka seolah sudah mengikhlaskanku
karena inilah yang mereka tunggu, ada laki-lali yang ingin meminang anak gadisnya,
semacam the power of kepepet kali ya hehe.
Anggapan mereka selama ini, aku nggak ada usaha sama
sekali ibaratnya hanya nunggu ada jodoh jatuh dari langit, padahal usahaku
sudah maksimal untuk menjemputnya. Setiap ada teman yang membullyku karena status single, selalu aku
ajak diskusi daripada bully mending aku
dibantu deh, siapa tahu ada temenmu yang recomended untukku.
Dan ucapanku mereka anggap serius, ya sebenernya memang
serius sih tapi nggak nyangka mereka gerak cepat buat ngenalin aku ke
teman/saudaranya. Ya memang salahku sih kenapa aku harus ngomong kayak gitu,
mau nggak mau aku harus menanggapi mereka.
Awalnya mereka ku anggap hanya teman saja, lumayan kan tambah
teman. Tapi berjalannya waktu aku mulai merasa risih, gelisah rasanya ketika
aku menanggapi pesan dari mereka.
Satu persatu aku hentikan komunikasi dengan mereka, ada
yang akunnya aku delcon, nomor aku block, pesan instagram aku balas singkat dll. Memang harus setega dan setegas
itu dengan mereka, karena aku ingin mencari ketenangan dan ketentraman hati.
Rasulullah Saw. bersabda, “Kebaikan adalah berakhlak mulia, sedangkan kejelekan (dosa) adalah
sesuatu yang menggelisahkan jiwa/ membuat tidak tenang dan engkau tidak suka
jika nampak di tengah-tengah (diketahui) manusia.” (HR. Muslim)
Berbeda dengan mas Wahyu, dia menghargai setiap
prosesnya. Ya seperti yang sudah aku ceritakan pada kisah pertama, aku pernah
menuliskan doaku dalam buku,
Aku takut
untuk untuk berta’aruf, tetapi aku tak mau melalui pacaran dalam pencarian. Ya
Allah, semoga kelak aku bisa berproses dengan seseorang yang sebelumnya aku
ketahui asal usulnya dan semoga prosesku lewat ustadzah Eka.
Dan Alhamdulillah Allah Swt menjawab doaku dengan
menghadirkan mas Wahyu. Nilai positif buat dia adalah bisa menahan tidak
berkomunikasi selama berproses, walaupun kita sama sama menyimpan kontak, ya
berbeda dari yang lama.
Setelah mendapat lampu hijau dari orang tua, ku hubungi
mas Raka dan ku katakan aku siap untuk proses selanjutnya, bertemu untuk saling
melihat satu sama lain dan memberikan pertanyaan atau sering disebut nazhor.
Tak mau berlama-lama, kami putuskan untuk nazhor di tanggal
1 Januari 2019. Jangan tanya bagaimana kondisiku di malam tahun baru, nggak
bisa tidur? Sudah pasti! Tetapi ku coba untuk bertanya kepada sahabat yang
sudah lebih dulu berproses, apa yang harus aku persiapkan untuk sebuah
pertemuan yang akan menjadi kenangan.
Pagi harinya, aku mengirimkan pesan kepada ustadzah Eka,
bahwa aku akan tiba dirumahnya sebelum adzan Dzuhur berkumandang, tetapi
kenyataannya aku berangkat ketika mendapat wa dari Ust Eka yang mengabarkan
bahwa mas Wahyu sudah meluncur ke lokasi.
Pikirku perjalanan mas Wahyu dan mas Raka akan memakan
waktu yang lama, jadi aku masih punya sedikit waktu untuk meminta nasehat
ustadzah Eka. Tapi Qadarullah, aku lupa jalan menuju rumah beliau, tanya
tetangga sekitar dan buka google map pun sudah ku coba, hingga akhirnya ku
menemukan rumah yang akan menjadi saksi pertemuan kita.
Baru masuk ke rumah beliau, kulihat pesan WA ternyata mas
Wahyu dan mas Raka sudah berada di gang dekat rumah ust Eka. Gugup rasanya,
belum jadi minta nasehat mereka sudah datang saja. Ust Eka juga menyayangkan kedatanganku
yang mepet, mau bagaimana lagi urusan rumah belum selesai.
“Mb Santi, keluarlah!”
“Ini mas Wahyu sudah datang,” kata Ust Eka yang
memanggilku dari tempat persembunyian, ya memang karena baru datang hati belum
tenang, eh mas Wahyu sudah tiba, ya saya langsung sembunyi dong ya.
Dengan perasaan yang campur aduk, aku keluar menemui
mereka dengan membawa sebuah buku kecil yang berisi pertanyaan pertanyaan bak
wartawan yang akan mewawancarai narasumber.
Agar pertemuan kali itu mendapat ridho dari-Nya, ust Eka
membuka dengan membaca basmallah kemudian dilanjutkan dengan saling memberi
pertanyaan sama lain. Mas Wahyu tahu bahwa di buku ku banyak sekali pertanyaan
yang sudah ku catat, dia mempersilahkanku terlebih dahulu untuk bertanya,
tetapi karena kondisi hati masih nggak karuan, ku persilahkan mas Wahyu untuk
lebih dulu bertanya.
“Sebelum
ini sudah pernah ta’aruf?” Tanya mas Wahyu yang seolah mengingatkanku tentang
masa lalu.
“Sudah
pernah, satu kali,” jawabku dengan memandang ust Eka. Dan ust Eka sedikit
bingung dengan siapa aku dulu berproses, setelah aku kode beliau pun ingat.
“Baru saja
atau sudah lama?” Tanya nya lagi.
“Sekitar
satu tahun yang lalu,” jawab Ustadzah Eka, karena saya juga sudah lupa kapan
proses pertama saya lakukan.
“Kalau ta’aruf
swasta sudah pernah belum?” Tanya mas Wahyu yang membuat aku dan ust Eka saling
pandang.
“Maksud
saya pacaran,” tambah mas Wahyu menjelaskan ucapannya.
“Oalah itu
to yang di maksud. Alhamdulillah belum pernah,” jawabku.
Mas Wahyu
pun hanya menganggukan kepala mendengar jawabanku, tidak terpikir dibenakku
untuk mengajukan pertanyaan serupa dengan dia, karena aku terpaku pada catatan dibuku
kecilku. Dan aku baru tahu beberapa hari setelah khitbah bahwa mas Wahyu juga belum
pernah pacaran, membawa teman perempuan kerumah untuk dikenalkan orang tua pun
juga belum pernah ia lakukan.
“Tentang kriteria
dalam memilih pasangan, ada point se kufu, bagaimana pendapatmu mengenai hal
itu?” Tanyaku, setelah ust Eka memberiku kesempatan untuk bertanya.
“Ya kalau menurut saya se kufu itu nggak hanya dalam hal
latar belakang keluarga dan pendidikan tetapi juga agama. Yang paling penting
setara dalam hal agama lah yang lainnya itu kan hanya pemanis. Setidaknya
sama-sama paham ilmu agama walaupun tetap harus saling mengingatkan dan
melengkapi,” tutur mas Wahyu.
Pertanyaan demi pertanyaan kami ajukan secara bergantian,
hingga akhirnya harus ada keputusan apakah lanjut keproses selanjutnya atau
berhenti sampai di sini saja. Ketika ditanya seperti itu mas Wahyu meng iyakan
untuk lanjut, sedangkan aku masih harus berpikir dan bertanya kepada kedua
orang tua terlebih dahulu, karena di dalam pertanyaan yang saya ajukan ada
point tentang kehidupan setelah menikah, apakah masih bisa dipertahankan untuk
tinggal di Klaten atau harus ikut dengan dia.
Pertemuan singkat kami pun di tutup dengan membaca
hamdalah sebagai wujud syukur atas lancarnya segala urusan. Mas Wahyu dan mas
Raka pun pamit pulang, dan aku masih tetap di rumah ust Eka sampai adzan Ashar
berkumandang.
“Coba nanti tanya bapak dan ibu, ridho atau tidak,”
“kalau ridho, tanya juga siap menikahkan bulan apa?”
“Kalau saya ngasih saran nikahnya bulan April saja Mbak,
bulan Sya’ban biar sebelum Ramadhan sudah sah,” nasehat ust Eka.
“Ust, jangan bulan April lah terlalu cepat itu, habis
lebaran saja biar persiapannya bisa maksimal,” jawabku.
“Tanya dulu saja sama orang tua, siapa tahu malah siap
kapan saja, bisa jadi sebelum bulan April,”
“lebih cepat lebih baik Mbak,” tutur beliau.
Aku pun pulang, dan menceritakan proses yang baru saja
saya lakukan. Alhamdulillah setelah aku ceritakan semuanya, orang tua setuju
dan siap menikahkan saya kapan saja. Berita baik itu langsung saya sampaikan
kepada ustadzah Eka dan mas Raka agar disampaikan ke mas Wahyu.
Setelah mas Raka menyampaikan kepada mas Wahyu, mas Wahyu
pun memiliki itikad baik untuk menemui bapak sebelum ia kembali ke Lombok. Aku
usulkan di tanggal 2 Januari 2019 saja, karena kakakku masih di rumah, jadi
nggak perlu meminta pakde untuk jadi juru bicara.
“Berarti besok kamu ijin nggak berangkat kerja?” Tanya
kakakku.
“Berangkat dong, baru saja masuk di tahun yang baru,
masak udah ijin aja,” kataku.
“Hla gimana to, temenmu mau kesini kok kamunya nggak
ada?” Kata kakak bingung.
“Dia kesini pengen ketemu bapak kok, bukan aku.”
“Jadi nggak masalah kalau akunya nggak ada, lagian tadi
juga sudah ketemu kok.”
“Besok giliran dia menemui bapak untuk meminta restu.”
*to be continue*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :