Selasa, 24 Maret 2015

Aku


Aku

Aku adalah seorang anak laki-laki yang berusia 10 tahun, aku tinggal di sebuah desa yang jauh dari kebisingan lalu lintas. Sekeliling rumahku tak lain dan tak bukan adalah kebun, dan depan rumahku adalah jalan setapak. Aku tinggal bersama kakek dan nenekku, dan sudah dari kecil aku bersama mereka, aku sangat menyayangi mereka melebihi sayangku kepada kedua orang tuaku, ya Ayah dan Ibu.
Aku adalah seorang anak laki-laki yang menjadi bahan pembicaraan banyak orang termasuk dari kalangan saudaraku, semua membicarakanku karena aku berbeda dengan mereka, dan itulah yang ku cari selama ini, menjadi bahan pembicaraan adalah bentuk dari sebuah perhatian, mereka akhirnya memperhatikanku walaupun dengan omongan-omongan yang kadang memojokkanku, ya itulah resiko menjadi aku.
Aku bertubuh sehat walaupun aku kurus dan aku bisa melihat, mendengar dan berbicara dengan baik tak seperti adekku yang maaf, tidak bisa berbicara dengan baik. Tumbuh kembang adekku terganggu saat dia masih bayi, saat yang lain bisa tengkurap dan duduk dengan baik, adekku tidak bisa melakukannya, dia hanya bisa berbaring di tempat tidur dan kalaupun ibukku mencoba mendudukkannya adekku terjatuh, kata dokter tulang punggung adekku belum kuat untuk menyangga berat badannya.
Berbagai cara telah dilakukan ayah dan ibuku untuk kesembuhan adek, datang ke orang pintar pun telah mereka lakukan. Kata orang pintar ada seseorang yang membuat adek seperti itu dan katanya lagi orang itu adalah mantan istri dari ayahku, itu artinya ibu kandungku yang melakukannya.
Ya benar, aku adalah anak yang sehat di tubuh tapi sakit di hati. Aku adalah anak yang merindukan belaian kasih dan sayang dari ayah dan bundaku. Walaupun kasih dan sayang dari kakek dan nenekku lebih dari cukup tapi aku tetaplah seorang anak kecil yang selalu merenggek apabila jauh dari orangtua. Tapi sayangnya tangisanku tak mereka dengarkan dan akhirnya mereka memilih jalan untuk berpisah.
Lantas, siapa yang harus aku salahkan atas peristiwa ini, ayahku? Ah itu tidak mungkin, sekarang aku tinggal bersama kakek dan nenek, orang tua dari ayahku, itu artinya keluarga dari ayahkulah yang merawatku sejak kecil, atau bundaku yang tak mau mengurusku? Itu tidak mungkin lagi, karena aku tahu bundaku sangat tersakiti atas peristiwa ini, peristiwa dimana dia harus melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama, terus siapa yang harus aku salahkan? Tuhan? Itu sangat-sangat tidak mungkin, Dia telah memberikan nikmat yang luar biasa kepadaku, dan saat Dia memberiku cobaan seperti ini aku menyalahkan Nya? Itu sepertinya tak adil. Saat-saat bahagia aku tak pernah bertanya kepada Tuhan kenapa aku yang harus bahagia, dan saat dimana aku sedih aku bertanya mengapa harus aku yang mengalaminya? Ah, sungguh hamba yang tak tahu diri, dan aku tak ingin melakukannya, yang jelas ini sudah jalanNya, aku hanya bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas walaupun hati selalu berontak.
Dan aku tak terima dengan omongan orang pintar yang menyebutkan bundaku lah penyebab tumbuh kembang adek menjadi lambat, aku benar-benar tidak terima. Bundaku adalah orang yang baik, walaupun beliau terkenal galak dan suka bicara dengan nada keras, itu karena dulu bundaku tinggal di sebuah pegunungan yang sangat pelosok, jadi karakter beliau berbeda dengan karakter keluarga di desa, ah aku jadi rindu bundaku, Bunda dimana kau? Aku sekarang sudah besar Bun, jengguklah aku dan peluklah aku, aku benar-benar merindukanmu.
Aku tahu kehidupan bundaku setelah berpisah dengan ayah sangatlah sulit, terakhir aku mendengar berita bahwa bundaku bekerja dan sudah menikah, tapi aku tak tahu dimana beliau bekerja dan dengan siapa bunda menikah, aku benar-benar tak tahu. Tapi yang aku tahu adalah bundaku terluka karena mengetahui ada seorang wanita yang hamil dan ayah harus menikahinya.
Dahulu aku dan bunda tinggal bersama di desa, dan ayah bekerja di kota, setiap lebaran beliau selalu pulang untuk berkumpul bersama kami, sungguh harmonis sekali saat itu, tapi suatu ketika ada kabar tak baik dari kota yang mengabarkan bahwa ayah harus menikah lagi, bundaku langsung menangis mendengar kabar itu, tak berapa lama kemudian bunda pergi dari rumah nenek tanpa pamit, dan aku ditinggalkan sendiri di rumah nenek.
Berapa tahun kemudian setelah ayah menikah lagi, bunda kembali ke rumah nenek dan semua keluarga membicarakan tentang bundaku, kata mereka kenapa datang ke sini lagi, kan suaminya sudah menikah, dia sudah nggak punya hak untuk datang ke sini! Awalnya bunda tak ambil pusing dengan omongan itu, tapi lama kelamaan bunda tak nyaman berada di rumah nenek dan akhirnya beliau pergi lagi tapi kali ini bunda sempat berpamitan pada nenek dan aku.
Kata bunda, aku harus jadi anak yang baik, nurut sama kakek dan nenek. Katanya lagi, beliau sangat menyanyangiku dan akan tetap menyayangiku sampai kapanpun, tapi kenapa beliau meninggalkanku? Jika bunda menyayangiku seharusnya beliau tetap berada di sisi ku sampai kapanpun. Ya, itulah yang bisa aku pikirkan saat itu, dimana saat itu aku tak tahu pasti apa itu perpisahan, yang ku tahu aku punya ibu baru dan bundaku pergi meninggalkanku.
Setelah kepergiaan bundaku untuk yang kedua kali ini, ada sebuah surat yang datang dari pengadilan agama yang menyatakan bahwa bunda menggugat cerai ayah yang saat itu berada di kota, dan nenekku lah yang mengurus semua hingga jatuhlah kata cerai. Dan itu berarti ayah dan bunda takkan bisa bersatu seperti dulu, aku benar-benar menyayangkan hal itu.
Aku benar-benar merasa sendiri, tak ada lagi tempat untuk aku berkeluh kesah dan menyandarkan kepala jika aku merasa lelah. Pasti timbul pertanyaan Bagaimana dengan kakek dan nenekmu, dia juga menyanyangimu kan? Apa dia tak bisa menggantikan posisi bundamu yang menjadi tempatmu berkeluh kesah? Ya, memang mereka bisa menggantikan posisi bundaku, karena mereka sangat menyayangi aku, tapi sayangnya mereka tak punya waktu lebih seperti bundaku dulu, yang selalu memperhatikanku setiap saat.
Setiap pagi kakek dan nenekku berangkat ke sawah dan pulang ketika matahari sudah condong ke arah barat, dan malamnya mereka memang bersamaku tapi tubuh mereka terlalu lelah untuk ku jadikan tempat keluh kesah. Itulah yang membuat aku merasa sendiri.
Layaknya anak-anak yang baru pertama kali bersekolah, pasti banyak hal-hal yang ingin mereka ceritakan kepada kedua orang tua mereka, mulai dari teman-teman yang ada di kelasnya sampai pelajaran yang mereka anggap sulit, itulah yang tak ku dapati sekarang.
Pada siapa aku harus bercerita dan pada siapa aku harus menanyakan pelajaran berhitung yang belum bisa aku kuasai? Jika aku terlahir sebagai wanita menangis adalah jurus andalanku, menangis karena merasa kesepian di rumah, menangis karena ada masalah di sekolah dan menangis karena merindukan ayah dan bundaku. Tapi aku adalah seorang laki-laki, walaupun aku masih kecil, rasanya malu jika aku harus menangis, yang ku bisa adalah berusaha untuk terlihat baik-baik saja, walau hati terluka.
Kondisi itulah yang membuatku sering membolos sekolah, dan akhirnya keluar dari sekolah dasar sekitar satu tahun lamanya. Saat-saat aku tak bersekolah aku merasakan yang namanya kebebasan, bermain sesukaku tanpa dibayang-bayangi jam belajar. Dan aku mendapatkan teman yang cukup banyak di luar sana. Mereka juga memiliki latar belakang seperti aku, walaupun keluarga mereka utuh tapi kasih sayang dari orang tua tak mereka dapatkan.
Setiap malam kami sering berkumpul dan bermain bersama, kakek dan nenekku awalnya melarangku keluar malam, tapi karena mereka merasa kasihan melihatku murung, akhirnya mereka membiarkanku keluar malam. Dan itulah yang menjadikanku berbeda dari saudara-saudaraku, aku sudah dicap anak nakal karena keluar dari sekolah dan bermain bersama orang-orang yang juga dicap nakal, mereka memang mengkhawatirkan masa depanku, tapi mereka tak bisa merasakan apa yang kurasakan, dan dengan berteman bersama merekalah aku bisa bahagia.
Tapi untungnya masa nakalku tidak berlangsung lama, berkat nasehat dari kakek, nenek, dan bibiku aku mau kembali bersekolah dengan mengganti sekolah yang dulu jauh ke sekolah yang dekat dengan rumah. Ya, selain kakek dan nenek, di rumah ada bibiku yang juga menyayangiku, tapi karena bibiku masih bersekolah, jadi dia tidak begitu memperhatikanku layaknya kakek dan nenek.
Walaupun aku kembali lagi ke bangku sekolah, tapi aku tak bisa meninggalkan teman-temanku, tiap malam aku berkumpul bersama mereka, entah itu bermain play station atau sekedar jalan-jalan malam mengelilingi desa, dan setiap orang yang berpapasan dengan kami selalu menyarankan kami untuk segera pulang dan belajar di rumah, dan kami hanya mengiyakan saran tersebut tanpa melakukannya.
Mari kita tinggalkan cerita tentang pergaulanku yang membuatku bahagia tapi membuat khawatir orang di sekitarku itu, dan beralih ke cerita tentang adekku yang berbeda ibu itu. Sempat ku berpikir, mungkin kondisi adek yang seperti itu adalah ganjaran dari Tuhan untuk ayahku, karena ayah telah membuat bunda menangis dan meninggalkan rumah ini. Sebenarnya aku tak tahu perkembangan adekku dengan baik, karena adek berada di kota bersama ayah dan ibu. Dan aku hanya bisa bertemu dengan mereka satu tahun sekali, yups waktu lebaran.
Dan saat lebaran tiba, betapa senangnya aku karena aku bisa melepas rindu dengan ayahanda tercinta, tetapi sayangnya perhatian mereka tertuju kepada adek. Tak hanya ayah dan ibu yang pulang tetapi juga bibiku yang lain yang juga membawa suami dan anak mereka sehingga rumah nenek terlihat penuh, kalau dihitung ada dua belas orang dalam satu rumah, dan itu sungguh menggangguku, mereka asik dengan kehidupan mereka sendiri dan sama sekali tak memperhatikanku.
Saat aku melihat bibiku yang menggendong dan menyuapi sepupuku yang itu artinya anak mereka, sejujurnya membuatku iri. Apakah mungkin bundaku akan ke sini lagi dan menggendongku layaknya dahulu kala, ah tak mungkin. Dan jikalau mungkin, aku akan berdoa kepada Tuhan, agar bunda ke sini bukan di saat hari lebaran, karena itu hanya akan menyebabkan pertengkaran antara bunda, ayah dan ibu.
Ibu ku sekarang berbeda dengan yang dulu, beliau lebih ramah dan suka berbicara, cara berbicaranya pun lebih halus dari bundaku, dan itulah yang menyebabkan nenekku langsung menyukai ibu.
Ibuku bukan layaknya ibu tiri yang kejam, beliau sangat baik. Beliau selalu mengingatkanku untuk makan dan memberi ku uang ketika akan balik ke kota, entahlah itu uangnya sendiri atau uang ayah.
Ngomongin tentang uang ayah, aku jadi ingat waktu dulu. Dulu aku pernah meminta ke ayah untuk membelikanku sebuah handphone, dan apa yang terjadi? Bibiku berkomentar banyak sekali, dan beliau meminta ke ayahku untuk membelikan hand phone yang jelek saja, yang penting bisa buat sms atau telfon, lagian seusaiku saat itu mau sms atau telfon siapa?
Miris sekali, aku tidak pernah meminta apapun ke ayah, dan giliran aku meminta sesuatu dibelikan yang jelek, oke itu memang hand phone, tapi setidaknya ayah tahu kalau aku jarang mendapat kasih sayang beliau, dan seharusnya beliau membelikanku barang yang bagus sebagai gantinya.
Tapi tak apalah, aku tahu kehidupan di kota sangat sulit, banyak sekali pengeluaran terlebih lagi untuk membelikan susu adek. Jadi aku bisa terima kok kalau ayah membelikanku hand phone bekas jaman dulu.
Itulah sedikit cerita tentang aku, ku tahu di luar sana banyak anak yang memiliki nasib sepertiku bahkan lebih berat dariku, ada yang harus tinggal di panti asuhan sejak kecil, sehingga mereka tak tahu siapa orang tua mereka entah sudah meninggal atau masih hidup.
Aku bersyukur, walaupun aku dibesarkan di dalam keluarga yang tak utuh, tapi berkat kakek dan nenekku aku bisa merasakan indahnya kebersamaan dan kasih sayang. Dan dari situ aku paham, ternyata perceraian itu tak ada manfaatnya sama sekali, mereka hanya beradu ke egoisan, dan mengharuskan egonya menang dengan cara mengajukan surat cerai ke pengadilan agama dan tak mengikuti proses mediasi, dimana proses itu bisa mempersatukan dua pikiran yang berbeda dan bisa menjadi perenungan dari masing-masing pihak.
Mereka tak memikirkan nasib buah hati mereka, bagaimana supaya tidak terluka karena kejadian ini, yang mereka lakukan hanyalah berebut hak anak. Sebenarnya apa sih hak anak itu? Apakah menurut mereka hak anak adalah hak pribadi mereka sendiri, yang harus mereka dapatkan dengan menyingkirkan orang lain? TIDAK!! Dipelajaran PKn kelas 1 SD, sudah jelas sekali, hak anak adalah mendapatkan kasih dan sayang dari kedua orang tua, itu artinya ayah dan bunda, bukan salah satu diantaranya!
Ah, sungguh membuatku pusing jika memikirkan tentang kehidupan orang dewasa. Mungkin mereka lupa, bahwasanya mereka pernah menjadi anak-anak yang sangat dekat dan tergantung dengan ayah dan bunda, jadi mereka tak mau bahkan tak bisa merasakan bagaimana jadinya kalau ada anak kecil harus jauh dari kedua orang tua mereka.
Tapi satu hal yang tak pernah ku lupakan dari kelamnya kehidupan masa kecilku ini, yaitu tentang perasaan. Aku bisa merasakan semuanya, aku bisa menghargai waktuku ketika berkumpul dengan ayah, berbeda dengan orang lain yang tak pernah menjadi aku, mereka punya keluarga lengkap dan punya waktu luang yang banyak, tapi sayangnya mereka selalu pergi meninggalkan rumah dan tak ada waktu yang mereka sisakan untuk berkumpul bersama ayah dan bunda.
Dan karena perasaanku itulah, aku tak mau jika kelak aku memiliki anak, anakku merasakan apa yang kurasakan, aku benar-benar tak mau! Aku ingin anakku kelak merasakan indahnya kebersamaan bersama ayah dan bunda dan aku tak mau melihat air mata yang jatuh dari anakku karena merindukan sosok ayah dan bunda, aku akan selalu ada disaat anakku membutuhkanku.
Ah khayalan yang teramat jauh. Dari pada menghayal masa depan yang masih jauh, lebih baik menjalani hari ini dengan usaha terbaik yang ku muliki, ku coba tak akan mengeluh lagi dan akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Sekian dari aku.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :