Aku dan Gunung
Berapi
Sudah ku duga, selalu saja Dion
mengorbankan aku demi impiannya untuk bergabung di komunitas pencinta alam. Dia
menyuruhku untuk menunggunya di depan bass camp pecinta alam. Sudah setengah
jam aku menunggunya, dan ternyata pendaftaran peserta pencinta alam tak secepat
yang ku bayangkan. Saat aku berdiri dan ingin meninggalkan tempat itu,
tiba-tiba kakak senior memanggilku.
“Dek, mau kemana? Nggak jadi daftar? Ini
formulir pendaftarannya tinggal satu.”
“Oh, aku nggak daftar kok Kak. Aku
nunggu sahabatku, ternyata lama juga ya.” Kataku dengan raut muka bingung.
“Udah nggak papa, daftar aja. Asik hlo
bergabung di komunitas kami, selain dapat teman baru, di sini juga dapat
pengalaman baru yang asik dan pastinya seru. Ini silahkan di isi. Saya tinggal
dulu, nanti saya kesini lagi.” Kata kakak senior yang menyodorkan formulir
pendaftaran kepadaku.
Kayaknya ada yang salah alamat nie,
masak aku dikasih formulir pendaftaran pencinta alam, aku kan nggak suka
aktifitas yang menguji adrenalin aku lebih suka aktifitas yang cenderung kalem,
kayak baca buku, lihat film dan lain-lain.
Saat aku ingin membuang formulir itu,
tiba-tiba yang ku tunggu-tunggu datang juga.
“Icha, jangan di buang!” Teriak Dion.
“Ya udah nie ambil aja, aku nggak tertarik.”
Kataku.
“Udah selesai daftarnya? Cepet banget
ya, ampe aku lumutan nunggu kamu.” Sindirku.
“Belum selesai, masih lama je. Makannya
kamu ikutan daftar aja, daripada nunggu aku kelamaan, iya nggak?” Kata Dion
dengan muka tak bersalahnya.
Dan karena bujukan dari Dion lah, aku
bersedia mengisi formulir pendaftaran itu dan menyerahkannya kepada kakak
senior. Aku dan Dion pun masuk di bass camp itu. Saat aku masuk, tak terlihat
banyak orang seperti di komunitas pada umumnya, hanya terlihat 15 orang saja.
“Maaf Kak, tadi Kakak bilang formulirnya
tinggal satu? Tapi kok pesertanya baru sedikit?” Tanyaku pada kakak senior.
“Memang kami membatasi hanya 15 orang,
jika kami merekrut banyak anggota, takutnya kami tidak bisa mengawasi dan
mengontrol anggota kami, karena kegiatan kami banyak yang dilakukan di luar,
jadi resikonya cukup besar.” Jelas kakak senior.
“Resikonya besar ya Kak?” Kataku sambil
menelan ludah.
“Kalau begitu aku nggak jadi daftar saja
Kak.” Kataku yang mencoba mengambil formulir yang sudah ku serahkan pada Kakak
Senior.
“Jangan terlalu takut Dek, jika anggota
mengikuti prosedur keselamatan yang ada insyaallah aman dan pastinya selamat,
kok Dek.” Kata kakak senior.
Lagi-lagi keraguanku hilang, dan setelah
aku pikir-pikir tak ada salahnya jika aku mencoba bergabung di komunitas
pencinta alam ini. Kakak seniornya terlihat berwibawa dan berjiwa pelindung,
jadi nggak ada yang harus ku takutkan.
Tetapi ada yang mengganjal di hatiku,
saat kak Galih menjelaskan agenda besok hari Minggu. Ternyata agendanya adalah,
mendaki gunung berapi. Gila!! Aku nggak berani kayak gituan, menantang maut
banget!
Tapi untungnya, aku dan anggota baru
yang lainnya, boleh tidak mengikuti acara mendaki gunung, tetapi wajib ikut
camping. Nah gitu dong, kalau cuma camping, aku berani. Kan cuma tidur di
tenda. Hehehe.
Hari Minggu pun tiba, kami berangkat
menuju tempat camping dengan menaiki truk. Tak berapa lama kami telah sampai di
lokasi perkemahan. Aku dan yang lainya sibuk menurunkan perlengkapan, dan mulai
mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, acara pun di mulai. Acaranya lumayan
unik, harus bisa menghafal nama anggota satu persatu, kalau nggak hafal dihukum
cari kayu bakar.
Malamnya setelah acara api unggun, kami
diperbolehkan tidur dan bagi yang ingin mendaki gunung harus bangun jam 3 pagi.
Yah, kecuali untuk aku, aku bangun jam berapa aja boleh, hehehe.
Tapi tepat jam 3 pagi aku terbangun, dan
entah menagapa aku tidak bisa tidur lagi. Karena takut di tenda sendiri, aku
memutuskan untuk ikut mendaki. Semua pun terkejut saat aku keluar dari tenda
dan memutuskan untuk bergabung dengan teman yang lain. Sebelum dimulai, selain
berdoa Kak Galih pun berpesan, jika nanti ada yang lelah bisa beristirahat di
pos penjagaan yang ada.
Aku pun menikamati segaranya udara pagi
dan dinginya hembusan angin yang membuat aku semangat untuk mendaki. Tapi, tepat
di Pos penjagaan 3, aku merasakan kelelahan, dan aku memutuskan untuk
beristirahat di pos itu, walaupun puncak gunung sudah di depan mata. Entah
mengapa aku ingin beristirahat di sana, dan ternyata ke tiga temanku juga
memutuskan untuk beristirahat di pos terakhir itu.
Betapa kagetnya aku, saat ku lihat sosok
laki-laki yang cukup tampan dan manis menggunakan pakaian PNS berdiri tepat di
depanku. Saat ku tanya, ternyata dia adalah pengamat gunung berapi yang akan
kami daki tersebut.
Hasrat ingin tahu ku pun muncul, akupun
bertanya asal-usul laki-laki yang belum ku ketahui namanya itu. Dan ternyata,
dia juga lulusan SMA 4, tempat aku menuntut ilmu dulu.
“Kalau boleh tahu, Mas namanya siapa ya?
Lulus tahun berapa? Aku juga lulusan SMA 4 hlo.” Kataku.
“Namaku Yusuf, em.m lulusan tahun 2008.
Mbaknya, namanya siapa? Kok saya belum pernah lihat Mbak?” Tanya laki-laki
manis itu.
“Namaku Marisa, pagilannya Icha. Aku
lulusan tahun 2011 kok Mas, jadi aku adek kelasmu. Oh iya, kakak ku juga
lulusan tahun 2008 hlo, namanya Mas Adam, kenal nggak Mas?” Tanyaku.
Dan ternyata kakak ku dan mas Yusuf satu
kelas, dan ternyata lagi satu bangku. Obrolan pun menjadi tambah seru, saat mas
Yusuf mulai mengingatku. Saat itu aku masih SMP dan diajak ke sekolah kakak ku,
dan di sana aku digoda oleh mas Yusuf. Hahaha.
Saking asiknya ngobrol, aku sampai lupa
sama ketiga temanku yang ikut istirahat di Pos 3. Dan akupun mengenalkan mereka
kepada mas Yusuf. Setelah itu kami pun melanjutkan obralan yang sempat
terhenti. Rasanya nyaman banget saat ngobrol sama mas Yusuf, apalagi saat
melihat lesung pipinya yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Mungkin
nggak ya, kalau aku cinta pada pandangan pertama, sama mas Yusuf?
Sangking betahnya, sampai-sampai
teman-teman pun sudah turun dari pendakian dan menuju Pos 3. Aku dan temanku
pun bersiap untuk menyambut mereka dan turun bersama-sama. Tetapi sebelum aku
meninggalkan pos 3, aku menyempatkan diri untuk meminta nomor hp si pengamat
gunung berapi tersebut.
Sesampainya aku di rumah, aku langsung
menuju kamar kakak ku untuk sekedar menanyakan tentang mas Yusuf, yang masih
membuatku penasaran.
“Mas Adam, inget temenmu yang namanya
mas Yusuf nggak?” Tanyaku.
“Iya inget, nie lagi smsan. Katanya tadi
ketemu sama kamu ya?” Tanya mas Adam.
“Iya Mas, ternyata dia pengamat gunung
berapi yang kami daki tadi.”
“Oh iya, kok dia nggak kuliah sih mas?
Malah milih jadi pengamat gunung berapi?” Tanyaku penasaran.
“E... jangan salah, dia dah PNS hlo. Yusuf
menjadi tulang punggung keluarga, setelah ayahnya meninggal 4 tahun yang lalu.
Sebelumnya dia pernah kuliah, dan terpaksa berhenti karena kondisi ekonomi yang
pas-pasan. Akhirnya ada tes CPNS, dia coba ikut tes dan Alhamdulillah keterima,
jadi pengamat gunung berapi.” Jelas mas Adam.
“Jadi tambah kagum deh aku sama mas
Yusuf. Em.m ngomong-ngomong dia dah punya pacar belum sih, Mas?” Tanyaku dengan
suara pelan.
“Hahahaha. Tadi Yusuf juga tanya ke aku,
kamu dah punya pacar belum, e sekarang kamu yang tanya, coba nie baca pesanya
Yusuf.” Kata mas Adam dengan memberikan ponselnya.
Setelah mendapat beberapa informasi
tentang mas Yusuf, aku pun menuju kamar dan memulai mengirim pesan ke mas
Yusuf. Saat-saat menunggu balasan dari mas Yusuf, jantung ini rasanya mau
copot, berdetaknya sangat cepat. Dan ternyata mas Yusuf dengan sigap membalas
pesan ku. Hahaha seneng deh rasanya.
Hari berganti hari, dan hubunganku
dengan mas Yusuf semakin dekat. Tak jarang mas Yusuf menelfonku untuk sekedar
menanyakan kabarku, dan tak jarang juga setiap akhir pekan, aku menyempatkan
diri untuk mengunjungi mas Yusuf di tempat ia bekerja.
Karena aku takut naik ke atas sendirian,
mas Yusuf pun turun ke POS 1 untuk menemui ku dan memakan makanan yang aku bawa
khusus untuk dia. Setelah selesai makan siang, aku pun di ajak untuk naik ke
POS 3, awalnya aku ragu dan takut, tetapi saat mas Yusuf memegang tanganku,
keraguan dan ketakutanku pun hilang.
Sesampainya di POS 3, terlihat
pemandangan yang sangat indah, yang belum sempat ku lihat saat bersama
teman-temanku.
“Bro, sebentar ya. Aku mau jalan-jalan
dulu. Nggak sampai 15 menit kok.” Kata mas Yusuf kepada teman kerjanya.
“Ayo ikut aku.” Kata mas Yusuf dengan
mengandeng tanganku.
“Wow indah banget. Dari sini aku bisa
melihat puncak gunung berapi itu.” Kataku dengan senangnya.
“Ayo kapan-kapan kita naik ke puncak
itu.” Ajak mas Yusuf dengan melirik ke
arah ku.
“Hehehe, bercanda ya kamu Mas? Kan kamu
tahu sendiri aku takut mendaki, naik ke POS 3 aja kalau nggak ada kamu aku
nggak berani.” Kataku.
“Oh iya Mas, emangnya kamu nggak takut
ya, kalau sewaktu-waktu gunung berapi ini melutus?” Tanyaku.
“Takut pasti ada, tapi aku selalu berdoa
agar gunung berapi yang ku amati ini tetap bersahabat denganku.” Kata mas Yusuf
dengan menatap penuh makna ke arah gunung.
“Cha, maaf ya dulu aku sering godain
kamu.” Kata mas Yusuf yang mengalihkan topik pembicaraan.
“Iya Mas, nggak papa. Santai aja kali.”
Kataku dengan tersenyum.
“Sebenarnya, dulu aku ada rasa sama kamu,
tetapi karena kamu masih SMP aku pun bingung harus bagaimana, nggak mungkin
kalau aku nembak kamu, ntar aku yang kena marah sama kakak mu, jadi aku cari
perhatian dengan menggodamu.” Kata mas Yusuf dengan tersenyum malu.
“Hahaha. Masak sih? Em.m, kalau sekarang
perasaanmu ke aku gimana Mas?” Tanyaku penasaran.
“Alhamdulillah masih sama. Tapi kali ini
aku nggak akan menggodamu lagi, melainkan aku akan menjagamu. Menjaga fisik dan
hatimu, apakah kau keberatan?” Tanya mas
Yusuf dengan menunjukan sifat kedewasaanya.
“Sama sekali nggak. Sebenarnya ku juga
ada rasa sama Mas Yusuf, dan Alhamdulillah cintaku tak bertepuk sebelah
tangan.” Kataku dengan senang.
“Jadi mulai sekarang kita pacaran kan
Mas?” Tanyaku yang terlihat seperti anak remaja yang menanyakan status ke teman
deketnya. Hehehe.
“Iya sayang.” Kata mas Yusuf dengan
mengusap rambutku.
Lima belas menitpun telah berlalu, dan
mas Yusuf harus kembali bekerja, sebelum kembali bekerja mas Yusuf menyempatkan
untuk mengantarku ke POS1. Sebenarnya aku kasihan dengan mas Yusuf harus bolak
balik, tapi bagaimana lagi, aku tak berani turun sendiri. Sebagai tanda terima
kasih, aku pun memberi semangat kepada mas Yusuf dan mencium tangannya.
Satu bulan pun berlalu, setiap akhir
pekan aku selalu berkunjung ke tempat kerja dia, hingga suatu hari teman-teman
di komunitas pencinta alam mengetahui agenda akhir pekanku.
“Loe pacaran sama pengamat gunung berapi
itu ya Cha?” Tanya Dion.
“Iya emang kenapa?” Tanyaku.
“Kok kamu nggak ngasih tahu aku sih? Aku
kan sahabatmu? Tapi nggak papalah, yang penting sekarang aku dah tahu.
Ngomong-ngomong dah berapa bulan Cha?” Tanya Dion.
“Baru sebulan Ion. Tapi akhir-akhir ini,
dia nggak pernah telfon aku dan pesanku pun tak di balas. Sedih aku.” Kataku.
“Bukannya tiap Minggu kamu ke sana? Ya
udah besok Minggu ke sana aja, siapa tahu dia lagi sibuk. Kamu nggak lihat
berita ya? Gunung berapi yang diamati pacarmu statusnya naik.” Kata Dion dengan
nada serius.
“Masak sih, ya ampun aku baru tahu. Ya
udah, kesananya hari ini aja.” Kataku yang kemudian beranjak pergi.
“Eh tunggu Cha, masih ada satu mata
kuliah lagi hlo!” Teriak Dion.
“Aku bolos!” Teriak ku.
Beberapa jam kemudian, aku sudah sampai
di pos 1 penjagaan gunung berapi. Karena aku tahu pasti dia tak memegang hp
pribadi, aku pun meminjam alat komunikasi yang terhubung dengan mas Yusuf. Dan
setelah mendapat panggilan dari ku, akhirnya mas Yusuf turun ke Pos 1 untuk
menemui ku.
Dan, ternyata kehadiranku di sana tak
diharapkan oleh mas Yusuf, dia malah menyuruhku pergi dengan alasan daerah itu
adalah zona berbahaya. Dia pun juga tak menerima nasi bungkus yang kubawa, dia
menyuruhku meninggalkan di meja dan kemudian dia naik ke atas lagi, apalagi
kalau bukan karena status gunung berapi yang naik.
“Aku bela-belain kesini dan bolos mata
kuliah karena kamu! Dan setelah bertemu kamu, apa balasanya?”
“Oh,
aku baru tahu, gunung berapi lebih penting daripada aku!” Kataku dengan menahan
air mata.
“Bukan gitu Cha maksudku. Kamu tahu kan
kondisi gunungnya sekarang naik satu level, jadi aku harus ekstra memperhatikan
aktivitas gunung ini Cha! Mengertilah!” Kata mas Yusuf.
“Kurang mengerti apa sih aku? Tiap hari
Minggu aku ke sini, dan apa itu wajar? Seharusnya kamu lah yang tiap hari
Minggu datang ke rumahku, dan kita jalan bareng, iya kan! Dan apakah aku
menuntut itu dari kamu! Nggak!!” Kataku dengan menangis.
“Nggak bisa ngomong lagi kan? Oke
sekarang aku tanya, lebih penting mana aku sama gunung berapi?” Tanyaku dengan
menatap mata mas Yusuf.
“Dua-duanya.” Jawaban singkat dari mas
Yusuf.
“Haha, ternyata posisiku di samakan
dengan gunung ini, bahkan aku kalah. Menurutku lebih penting gunung ini
daripada aku.” Kataku yang kemudian beranjak pergi.
“Gunung ini adalah sumber penghasilanku,
dan kamu adalah sumber semangatku. Kamu tak kan tergantikan, dan kamu yang
nomor satu di hatiku. Jika kamu meminta aku untuk mencari pekerjaan lain, aku
akan lakukan itu, karena pekerjaan bisa dicari, tetapi orang seperti mu tak
bisa.” Kata mas Yusuf yang sempat menghentikan langkahku dan membuatku semakin
menangis.
Karena terlanjur kecewa, aku tak
membalikan badan dan terus berjalan menjauhi mas Yusuf.
Setelah hari itu, akupun seperti
kehilangan semangat, tak ada lagi senyum manis di bibirku, tak ada lagi mata
yang penuh semangat, dan tak ada lagi lelaki yang dulunya mewarnai hidupku.
Hingga suatu hari, saat aku melamun di
taman depan kampus, dan aku mendengar orang membicarakan tentang gunung berapi
yang diamati mas Yusuf mengeluarkan awan panas dan diperkirakan akan turun ke
desa di sekitar lereng gunung itu.
Tanpa pikir panjang aku langsung ke
lereng gunung. Dan benar saja, terlihat beberapa penduduk yang terlihat panik
sambil berlari menjahui gunung berapi itu. Saat saya tiba di pos pemantauan I,
saya tidak di perbolehkan naik oleh petugas.
“Pak, ijinkan aku naik. Aku khawatir
dengan mas Yusuf.” Kataku panik.
“Yusuf? Kamu temanya Yusuf? Dari tadi
Yusuf saya hubungi tidak bisa, dia seharusnya sudah meninggalkan lokasi
pemantauan tapi sepertinya dia masih di atas. Kalau begitu ayo naik, saya
temeni!” Kata Pak Tono, petugas pengamat gunung berapi.
Dengan langkah cepat, aku dan pak Tono
menuju ke Pos 3, hawa pans mulai ku rasakan, dan ku beranikan diri untuk tetap
naik.
“Mas Yusuf ayo turun!!!” Teriak ku saat
tiba di pos 3.
“Iya Suf, ayo turun!!” Teriak pak Tono.
“Icha, ngapain kamu di sini! Iya aku
akan turun, kamu turun duluan aja, nanti saya susul!” teriak mas Yusuf.
“Nggak! Aku nggak mau turun sendiri!
Kita harus turun sama-sama!” Kataku.
“Nggak Cha, kamu harus turun duluan sama
pak Tono. Ini zona berbahaya! Dan ini tugasku!” Kata mas Yusuf.
“Tugas mu memang mengamati gunung berapi
ini, tapi jika kondisinya seperti ini, tak ada gunanya kamu tetap berdiri dan
mengamati gunung ini! Alam tidak bisa di tantang, yang harus kamu lakukan
sekarang adalah turun dan membantu mengevakuasi penduduk sekitar!” Kataku.
“Iya benar apa yang
dikatakan temanmu Suf. Ayo turun!” Kata pak Tono.
“Baik lah, mari kita
turun dan selamatkan warga!” Kata mas Yusuf sambil mengandeng tanganku.
Sesampainya di
pemukiman warga, aku dan mas Yusuf membantu mengevakuasi warga. Kami pun ikut
naik truck bersama warga yang mengungsi. Setelah sampai di gor truck pun
berhenti.
Saat aku turun, aku pun
terkejut ternyata teman-teman komunitas pencinta alam sudah berada di gor
tersebut, begitu pula sebaliknya, teman-temanpun terkejut karena aku berada di
truck bersama warga yang mengungsi.
“Kalian kok ada di
sini?” Tanyaku kepada teman-teman.
“Ini, kami bawa
beberapa makanan dan peralatan untuk warga yang mengungsi. Kamu sendiri, kok
bisa naik di truk tadi?” Tanya kak Galih
“Oh, tadi aku langsung
ke lokasi pengamatan gunung berapi dan ikut mengevakuasi warga.” Kataku dengan
pelan.
“Apa? Kamu naik ke pos pengamatan
dalam kondisi seperti ini?” Teriak beberapa temenku.
“Ini beneran kamu bukan
sih Cha! Kamu kan penakut, kok jadi pemberani kayak gini?” Tanya Dion
penasaran.
“Mau tau, kenapa aku
bisa seberani ini? Ini dia alasanya.” Kataku sambil menarik mas Yusuf dan
memperkenalkan dia ke teman-temanku.
“Dia lah yang membuatku
seberani ini. Tapi sebenarnya, yang pemberani itu bukan aku tapi masnya ini.
Dalam kondisi seperti ini, mas Yusuf masih konsisten dengan tugasnya. Dia masih
berada di Pos 3 yang jelas-jelas itu zona berbahaya. Untung aku langsung ke
sana, jadi kita bisa turun bareng dan bisa bantu evakuasi warga.” Jelasku.
“So sweet.” Ucap
teman-temanku.
Setelah selesai
membantu warga, aku pun berniat pulang. Dan ternyata montorku di bawa ke gor
oleh pak Tono. Saat aku akan mengenakan helm. Tiba-tiba helmku diambil mas
Yusuf.
“Hay, kembalikan helm
ku.” Kataku seperti anak kecil.
“Nggak mau, wek.” Kata
mas Yusuf sambil menjulurkan lidahnya.
Aku pun mengejar mas
Yusuf untuk mengambil helmku. Tetapi karena aku kehabisan tenaga, aku pun
menyerah dan memilih duduk di bawah pohon rambutan. Dan tiba-tiba mas Yusuf
berjalan ke arahku dan duduk di sampingku.
“Kamu udah nggak marah
lagi sama aku?” Tanya mas Yusuf.
“Marah untuk apa?”
Kataku yang pura-pura tak tahu.
“Aku benar-benar minta
maaf, karena kelakuanku seminggu lalu, dan hari ini aku menunggu jawabanmu.
Bagaimana jawaban mu?” Tanya mas Yusuf.
“Jawaban apa? Oh, soal
minta maaf. Iya mas udah ku maafin kok.” Kataku.
“Bukan tentang itu,
tapi tentang pilihan untuk mencari pekerjaan lain agar aku selalu bisa bersama
mu.” Kata mas Yusuf.
“Nggak usah Mas. Aku
tahu gunung berapi itu punya sejarah penting
di hidupmu. Kau dan gunung berapi itu sudah lama bersahabat, sedangkan aku?
Aku baru sebentar masuk di hidupmu, masak aku tega menyuruh mas Yusuf
meninggalkan si manis gunung berapi itu.” Kataku sambil tertawa kecil.
“Lebih manisan kamu
kali, dari pada gunung berapinya.”
“Makasih ya Cha, dah
mau ngertiin aku. Aku janji, nggak akan samain kamu sama gunung berapi lagi,
aku akan lebih memperhatikanmu.” Kata mas Yusuf.
“Jadi kalau aku tanya
lebih pentingan mana aku sama gunung berapi? Mas Yusuf jawabnya apa?” Tanyaku.
“Pentingan kamu lah!
Tapi nggak tahu kalau besok aku berubah pikiran!” Ledek mas Yusuf.
Aku dan gunung berapi
sama-sama penting di hidup mas Yusuf. Dan mulai saat ini, aku kan menyukai
gunung berapi karena dia lah yang membuat mas Yusuf tersenyum sebelum adanya
aku. Dan karena dia lah, aku bisa bertemu dengan mas Yusuf :D
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :