Senin, 31 Maret 2014

Aku dan Gunung Berapi


Aku dan Gunung Berapi
Sudah ku duga, selalu saja Dion mengorbankan aku demi impiannya untuk bergabung di komunitas pencinta alam. Dia menyuruhku untuk menunggunya di depan bass camp pecinta alam. Sudah setengah jam aku menunggunya, dan ternyata pendaftaran peserta pencinta alam tak secepat yang ku bayangkan. Saat aku berdiri dan ingin meninggalkan tempat itu, tiba-tiba kakak senior memanggilku.
“Dek, mau kemana? Nggak jadi daftar? Ini formulir pendaftarannya tinggal satu.”
“Oh, aku nggak daftar kok Kak. Aku nunggu sahabatku, ternyata lama juga ya.” Kataku dengan raut muka bingung.
“Udah nggak papa, daftar aja. Asik hlo bergabung di komunitas kami, selain dapat teman baru, di sini juga dapat pengalaman baru yang asik dan pastinya seru. Ini silahkan di isi. Saya tinggal dulu, nanti saya kesini lagi.” Kata kakak senior yang menyodorkan formulir pendaftaran kepadaku.
Kayaknya ada yang salah alamat nie, masak aku dikasih formulir pendaftaran pencinta alam, aku kan nggak suka aktifitas yang menguji adrenalin aku lebih suka aktifitas yang cenderung kalem, kayak baca buku, lihat film dan lain-lain.
Saat aku ingin membuang formulir itu, tiba-tiba yang ku tunggu-tunggu datang juga.
“Icha, jangan di buang!” Teriak Dion.
“Ya udah nie ambil aja, aku nggak tertarik.” Kataku.
“Udah selesai daftarnya? Cepet banget ya, ampe aku lumutan nunggu kamu.” Sindirku.
“Belum selesai, masih lama je. Makannya kamu ikutan daftar aja, daripada nunggu aku kelamaan, iya nggak?” Kata Dion dengan muka tak bersalahnya.
Dan karena bujukan dari Dion lah, aku bersedia mengisi formulir pendaftaran itu dan menyerahkannya kepada kakak senior. Aku dan Dion pun masuk di bass camp itu. Saat aku masuk, tak terlihat banyak orang seperti di komunitas pada umumnya, hanya terlihat 15 orang saja.
“Maaf Kak, tadi Kakak bilang formulirnya tinggal satu? Tapi kok pesertanya baru sedikit?” Tanyaku pada kakak senior.
“Memang kami membatasi hanya 15 orang, jika kami merekrut banyak anggota, takutnya kami tidak bisa mengawasi dan mengontrol anggota kami, karena kegiatan kami banyak yang dilakukan di luar, jadi resikonya cukup besar.” Jelas kakak senior.
“Resikonya besar ya Kak?” Kataku sambil menelan ludah.
“Kalau begitu aku nggak jadi daftar saja Kak.” Kataku yang mencoba mengambil formulir yang sudah ku serahkan pada Kakak Senior.
“Jangan terlalu takut Dek, jika anggota mengikuti prosedur keselamatan yang ada insyaallah aman dan pastinya selamat, kok Dek.” Kata kakak senior.
Lagi-lagi keraguanku hilang, dan setelah aku pikir-pikir tak ada salahnya jika aku mencoba bergabung di komunitas pencinta alam ini. Kakak seniornya terlihat berwibawa dan berjiwa pelindung, jadi nggak ada yang harus ku takutkan.
Tetapi ada yang mengganjal di hatiku, saat kak Galih menjelaskan agenda besok hari Minggu. Ternyata agendanya adalah, mendaki gunung berapi. Gila!! Aku nggak berani kayak gituan, menantang maut banget!
Tapi untungnya, aku dan anggota baru yang lainnya, boleh tidak mengikuti acara mendaki gunung, tetapi wajib ikut camping. Nah gitu dong, kalau cuma camping, aku berani. Kan cuma tidur di tenda. Hehehe.
Hari Minggu pun tiba, kami berangkat menuju tempat camping dengan menaiki truk. Tak berapa lama kami telah sampai di lokasi perkemahan. Aku dan yang lainya sibuk menurunkan perlengkapan, dan mulai mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, acara pun di mulai. Acaranya lumayan unik, harus bisa menghafal nama anggota satu persatu, kalau nggak hafal dihukum cari kayu bakar.
Malamnya setelah acara api unggun, kami diperbolehkan tidur dan bagi yang ingin mendaki gunung harus bangun jam 3 pagi. Yah, kecuali untuk aku, aku bangun jam berapa aja boleh, hehehe.
Tapi tepat jam 3 pagi aku terbangun, dan entah menagapa aku tidak bisa tidur lagi. Karena takut di tenda sendiri, aku memutuskan untuk ikut mendaki. Semua pun terkejut saat aku keluar dari tenda dan memutuskan untuk bergabung dengan teman yang lain. Sebelum dimulai, selain berdoa Kak Galih pun berpesan, jika nanti ada yang lelah bisa beristirahat di pos penjagaan yang ada.
Aku pun menikamati segaranya udara pagi dan dinginya hembusan angin yang membuat aku semangat untuk mendaki. Tapi, tepat di Pos penjagaan 3, aku merasakan kelelahan, dan aku memutuskan untuk beristirahat di pos itu, walaupun puncak gunung sudah di depan mata. Entah mengapa aku ingin beristirahat di sana, dan ternyata ke tiga temanku juga memutuskan untuk beristirahat di pos terakhir itu.
Betapa kagetnya aku, saat ku lihat sosok laki-laki yang cukup tampan dan manis menggunakan pakaian PNS berdiri tepat di depanku. Saat ku tanya, ternyata dia adalah pengamat gunung berapi yang akan kami daki tersebut.
Hasrat ingin tahu ku pun muncul, akupun bertanya asal-usul laki-laki yang belum ku ketahui namanya itu. Dan ternyata, dia juga lulusan SMA 4, tempat aku menuntut ilmu dulu.
“Kalau boleh tahu, Mas namanya siapa ya? Lulus tahun berapa? Aku juga lulusan SMA 4 hlo.” Kataku.
“Namaku Yusuf, em.m lulusan tahun 2008. Mbaknya, namanya siapa? Kok saya belum pernah lihat Mbak?” Tanya laki-laki manis itu.
“Namaku Marisa, pagilannya Icha. Aku lulusan tahun 2011 kok Mas, jadi aku adek kelasmu. Oh iya, kakak ku juga lulusan tahun 2008 hlo, namanya Mas Adam, kenal nggak Mas?” Tanyaku.
Dan ternyata kakak ku dan mas Yusuf satu kelas, dan ternyata lagi satu bangku. Obrolan pun menjadi tambah seru, saat mas Yusuf mulai mengingatku. Saat itu aku masih SMP dan diajak ke sekolah kakak ku, dan di sana aku digoda oleh mas Yusuf. Hahaha.
Saking asiknya ngobrol, aku sampai lupa sama ketiga temanku yang ikut istirahat di Pos 3. Dan akupun mengenalkan mereka kepada mas Yusuf. Setelah itu kami pun melanjutkan obralan yang sempat terhenti. Rasanya nyaman banget saat ngobrol sama mas Yusuf, apalagi saat melihat lesung pipinya yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Mungkin nggak ya, kalau aku cinta pada pandangan pertama,  sama mas Yusuf?
Sangking betahnya, sampai-sampai teman-teman pun sudah turun dari pendakian dan menuju Pos 3. Aku dan temanku pun bersiap untuk menyambut mereka dan turun bersama-sama. Tetapi sebelum aku meninggalkan pos 3, aku menyempatkan diri untuk meminta nomor hp si pengamat gunung berapi tersebut.
Sesampainya aku di rumah, aku langsung menuju kamar kakak ku untuk sekedar menanyakan tentang mas Yusuf, yang masih membuatku penasaran.
“Mas Adam, inget temenmu yang namanya mas Yusuf nggak?” Tanyaku.
“Iya inget, nie lagi smsan. Katanya tadi ketemu sama kamu ya?” Tanya mas Adam.
“Iya Mas, ternyata dia pengamat gunung berapi yang kami daki tadi.”
“Oh iya, kok dia nggak kuliah sih mas? Malah milih jadi pengamat gunung berapi?” Tanyaku penasaran.
“E... jangan salah, dia dah PNS hlo. Yusuf menjadi tulang punggung keluarga, setelah ayahnya meninggal 4 tahun yang lalu. Sebelumnya dia pernah kuliah, dan terpaksa berhenti karena kondisi ekonomi yang pas-pasan. Akhirnya ada tes CPNS, dia coba ikut tes dan Alhamdulillah keterima, jadi pengamat gunung berapi.” Jelas mas Adam.
“Jadi tambah kagum deh aku sama mas Yusuf. Em.m ngomong-ngomong dia dah punya pacar belum sih, Mas?” Tanyaku dengan suara pelan.
“Hahahaha. Tadi Yusuf juga tanya ke aku, kamu dah punya pacar belum, e sekarang kamu yang tanya, coba nie baca pesanya Yusuf.” Kata mas Adam dengan memberikan ponselnya.
Setelah mendapat beberapa informasi tentang mas Yusuf, aku pun menuju kamar dan memulai mengirim pesan ke mas Yusuf. Saat-saat menunggu balasan dari mas Yusuf, jantung ini rasanya mau copot, berdetaknya sangat cepat. Dan ternyata mas Yusuf dengan sigap membalas pesan ku. Hahaha seneng deh rasanya.
Hari berganti hari, dan hubunganku dengan mas Yusuf semakin dekat. Tak jarang mas Yusuf menelfonku untuk sekedar menanyakan kabarku, dan tak jarang juga setiap akhir pekan, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi mas Yusuf di tempat ia bekerja.
Karena aku takut naik ke atas sendirian, mas Yusuf pun turun ke POS 1 untuk menemui ku dan memakan makanan yang aku bawa khusus untuk dia. Setelah selesai makan siang, aku pun di ajak untuk naik ke POS 3, awalnya aku ragu dan takut, tetapi saat mas Yusuf memegang tanganku, keraguan dan ketakutanku pun hilang.
Sesampainya di POS 3, terlihat pemandangan yang sangat indah, yang belum sempat ku lihat saat bersama teman-temanku.
“Bro, sebentar ya. Aku mau jalan-jalan dulu. Nggak sampai 15 menit kok.” Kata mas Yusuf kepada teman kerjanya.
“Ayo ikut aku.” Kata mas Yusuf dengan mengandeng tanganku.
“Wow indah banget. Dari sini aku bisa melihat puncak gunung berapi itu.” Kataku dengan senangnya.
“Ayo kapan-kapan kita naik ke puncak itu.” Ajak mas Yusuf  dengan melirik ke arah ku.
“Hehehe, bercanda ya kamu Mas? Kan kamu tahu sendiri aku takut mendaki, naik ke POS 3 aja kalau nggak ada kamu aku nggak berani.” Kataku.
“Oh iya Mas, emangnya kamu nggak takut ya, kalau sewaktu-waktu gunung berapi ini melutus?” Tanyaku.
“Takut pasti ada, tapi aku selalu berdoa agar gunung berapi yang ku amati ini tetap bersahabat denganku.” Kata mas Yusuf dengan menatap penuh makna ke arah gunung.
“Cha, maaf ya dulu aku sering godain kamu.” Kata mas Yusuf yang mengalihkan topik pembicaraan.
“Iya Mas, nggak papa. Santai aja kali.” Kataku dengan tersenyum.
“Sebenarnya, dulu aku ada rasa sama kamu, tetapi karena kamu masih SMP aku pun bingung harus bagaimana, nggak mungkin kalau aku nembak kamu, ntar aku yang kena marah sama kakak mu, jadi aku cari perhatian dengan menggodamu.” Kata mas Yusuf dengan tersenyum malu.
“Hahaha. Masak sih? Em.m, kalau sekarang perasaanmu ke aku gimana Mas?” Tanyaku penasaran.
“Alhamdulillah masih sama. Tapi kali ini aku nggak akan menggodamu lagi, melainkan aku akan menjagamu. Menjaga fisik dan hatimu,  apakah kau keberatan?” Tanya mas Yusuf dengan menunjukan sifat kedewasaanya.
“Sama sekali nggak. Sebenarnya ku juga ada rasa sama Mas Yusuf, dan Alhamdulillah cintaku tak bertepuk sebelah tangan.” Kataku dengan senang.
“Jadi mulai sekarang kita pacaran kan Mas?” Tanyaku yang terlihat seperti anak remaja yang menanyakan status ke teman deketnya. Hehehe.
“Iya sayang.” Kata mas Yusuf dengan mengusap rambutku.
Lima belas menitpun telah berlalu, dan mas Yusuf harus kembali bekerja, sebelum kembali bekerja mas Yusuf menyempatkan untuk mengantarku ke POS1. Sebenarnya aku kasihan dengan mas Yusuf harus bolak balik, tapi bagaimana lagi, aku tak berani turun sendiri. Sebagai tanda terima kasih, aku pun memberi semangat kepada mas Yusuf dan mencium tangannya.
Satu bulan pun berlalu, setiap akhir pekan aku selalu berkunjung ke tempat kerja dia, hingga suatu hari teman-teman di komunitas pencinta alam mengetahui agenda akhir pekanku.
“Loe pacaran sama pengamat gunung berapi itu ya Cha?” Tanya Dion.
“Iya emang kenapa?” Tanyaku.
“Kok kamu nggak ngasih tahu aku sih? Aku kan sahabatmu? Tapi nggak papalah, yang penting sekarang aku dah tahu. Ngomong-ngomong dah berapa bulan Cha?” Tanya Dion.
“Baru sebulan Ion. Tapi akhir-akhir ini, dia nggak pernah telfon aku dan pesanku pun tak di balas. Sedih aku.” Kataku.
“Bukannya tiap Minggu kamu ke sana? Ya udah besok Minggu ke sana aja, siapa tahu dia lagi sibuk. Kamu nggak lihat berita ya? Gunung berapi yang diamati pacarmu statusnya naik.” Kata Dion dengan nada serius.
“Masak sih, ya ampun aku baru tahu. Ya udah, kesananya hari ini aja.” Kataku yang kemudian beranjak pergi.
“Eh tunggu Cha, masih ada satu mata kuliah lagi hlo!” Teriak Dion.
“Aku bolos!” Teriak ku.
Beberapa jam kemudian, aku sudah sampai di pos 1 penjagaan gunung berapi. Karena aku tahu pasti dia tak memegang hp pribadi, aku pun meminjam alat komunikasi yang terhubung dengan mas Yusuf. Dan setelah mendapat panggilan dari ku, akhirnya mas Yusuf turun ke Pos 1 untuk menemui ku.
Dan, ternyata kehadiranku di sana tak diharapkan oleh mas Yusuf, dia malah menyuruhku pergi dengan alasan daerah itu adalah zona berbahaya. Dia pun juga tak menerima nasi bungkus yang kubawa, dia menyuruhku meninggalkan di meja dan kemudian dia naik ke atas lagi, apalagi kalau bukan karena status gunung berapi yang naik.
“Aku bela-belain kesini dan bolos mata kuliah karena kamu! Dan setelah bertemu kamu, apa balasanya?”
 “Oh, aku baru tahu, gunung berapi lebih penting daripada aku!” Kataku dengan menahan air mata.
“Bukan gitu Cha maksudku. Kamu tahu kan kondisi gunungnya sekarang naik satu level, jadi aku harus ekstra memperhatikan aktivitas gunung ini Cha! Mengertilah!” Kata mas Yusuf.
“Kurang mengerti apa sih aku? Tiap hari Minggu aku ke sini, dan apa itu wajar? Seharusnya kamu lah yang tiap hari Minggu datang ke rumahku, dan kita jalan bareng, iya kan! Dan apakah aku menuntut itu dari kamu! Nggak!!” Kataku dengan menangis.
“Nggak bisa ngomong lagi kan? Oke sekarang aku tanya, lebih penting mana aku sama gunung berapi?” Tanyaku dengan menatap mata mas Yusuf.
“Dua-duanya.” Jawaban singkat dari mas Yusuf.
“Haha, ternyata posisiku di samakan dengan gunung ini, bahkan aku kalah. Menurutku lebih penting gunung ini daripada aku.” Kataku yang kemudian beranjak pergi.
“Gunung ini adalah sumber penghasilanku, dan kamu adalah sumber semangatku. Kamu tak kan tergantikan, dan kamu yang nomor satu di hatiku. Jika kamu meminta aku untuk mencari pekerjaan lain, aku akan lakukan itu, karena pekerjaan bisa dicari, tetapi orang seperti mu tak bisa.” Kata mas Yusuf yang sempat menghentikan langkahku dan membuatku semakin menangis.
Karena terlanjur kecewa, aku tak membalikan badan dan terus berjalan menjauhi mas Yusuf.
Setelah hari itu, akupun seperti kehilangan semangat, tak ada lagi senyum manis di bibirku, tak ada lagi mata yang penuh semangat, dan tak ada lagi lelaki yang dulunya mewarnai hidupku.
Hingga suatu hari, saat aku melamun di taman depan kampus, dan aku mendengar orang membicarakan tentang gunung berapi yang diamati mas Yusuf mengeluarkan awan panas dan diperkirakan akan turun ke desa di sekitar lereng gunung itu.
Tanpa pikir panjang aku langsung ke lereng gunung. Dan benar saja, terlihat beberapa penduduk yang terlihat panik sambil berlari menjahui gunung berapi itu. Saat saya tiba di pos pemantauan I, saya tidak di perbolehkan naik oleh petugas.
“Pak, ijinkan aku naik. Aku khawatir dengan mas Yusuf.” Kataku panik.
“Yusuf? Kamu temanya Yusuf? Dari tadi Yusuf saya hubungi tidak bisa, dia seharusnya sudah meninggalkan lokasi pemantauan tapi sepertinya dia masih di atas. Kalau begitu ayo naik, saya temeni!” Kata Pak Tono, petugas pengamat gunung berapi.
Dengan langkah cepat, aku dan pak Tono menuju ke Pos 3, hawa pans mulai ku rasakan, dan ku beranikan diri untuk tetap naik.
“Mas Yusuf ayo turun!!!” Teriak ku saat tiba di pos 3.
“Iya Suf, ayo turun!!” Teriak pak Tono.
“Icha, ngapain kamu di sini! Iya aku akan turun, kamu turun duluan aja, nanti saya susul!” teriak mas Yusuf.
“Nggak! Aku nggak mau turun sendiri! Kita harus turun sama-sama!” Kataku.
“Nggak Cha, kamu harus turun duluan sama pak Tono. Ini zona berbahaya! Dan ini tugasku!” Kata mas Yusuf.
“Tugas mu memang mengamati gunung berapi ini, tapi jika kondisinya seperti ini, tak ada gunanya kamu tetap berdiri dan mengamati gunung ini! Alam tidak bisa di tantang, yang harus kamu lakukan sekarang adalah turun dan membantu mengevakuasi penduduk sekitar!” Kataku.
“Iya benar apa yang dikatakan temanmu Suf. Ayo turun!” Kata pak Tono.
“Baik lah, mari kita turun dan selamatkan warga!” Kata mas Yusuf sambil mengandeng tanganku.
Sesampainya di pemukiman warga, aku dan mas Yusuf membantu mengevakuasi warga. Kami pun ikut naik truck bersama warga yang mengungsi. Setelah sampai di gor truck pun berhenti.
Saat aku turun, aku pun terkejut ternyata teman-teman komunitas pencinta alam sudah berada di gor tersebut, begitu pula sebaliknya, teman-temanpun terkejut karena aku berada di truck bersama warga yang mengungsi.
“Kalian kok ada di sini?” Tanyaku kepada teman-teman.
“Ini, kami bawa beberapa makanan dan peralatan untuk warga yang mengungsi. Kamu sendiri, kok bisa naik di truk tadi?” Tanya kak Galih
“Oh, tadi aku langsung ke lokasi pengamatan gunung berapi dan ikut mengevakuasi warga.” Kataku dengan pelan.
“Apa? Kamu naik ke pos pengamatan dalam kondisi seperti ini?” Teriak beberapa temenku.
“Ini beneran kamu bukan sih Cha! Kamu kan penakut, kok jadi pemberani kayak gini?” Tanya Dion penasaran.
“Mau tau, kenapa aku bisa seberani ini? Ini dia alasanya.” Kataku sambil menarik mas Yusuf dan memperkenalkan dia ke teman-temanku.
“Dia lah yang membuatku seberani ini. Tapi sebenarnya, yang pemberani itu bukan aku tapi masnya ini. Dalam kondisi seperti ini, mas Yusuf masih konsisten dengan tugasnya. Dia masih berada di Pos 3 yang jelas-jelas itu zona berbahaya. Untung aku langsung ke sana, jadi kita bisa turun bareng dan bisa bantu evakuasi warga.” Jelasku.
“So sweet.” Ucap teman-temanku.
Setelah selesai membantu warga, aku pun berniat pulang. Dan ternyata montorku di bawa ke gor oleh pak Tono. Saat aku akan mengenakan helm. Tiba-tiba helmku diambil mas Yusuf.
“Hay, kembalikan helm ku.” Kataku seperti anak kecil.
“Nggak mau, wek.” Kata mas Yusuf sambil menjulurkan lidahnya.
Aku pun mengejar mas Yusuf untuk mengambil helmku. Tetapi karena aku kehabisan tenaga, aku pun menyerah dan memilih duduk di bawah pohon rambutan. Dan tiba-tiba mas Yusuf berjalan ke arahku dan duduk di sampingku.
“Kamu udah nggak marah lagi sama aku?” Tanya mas Yusuf.
“Marah untuk apa?” Kataku yang pura-pura tak tahu.
“Aku benar-benar minta maaf, karena kelakuanku seminggu lalu, dan hari ini aku menunggu jawabanmu. Bagaimana jawaban mu?” Tanya mas Yusuf.
“Jawaban apa? Oh, soal minta maaf. Iya mas udah ku maafin kok.” Kataku.
“Bukan tentang itu, tapi tentang pilihan untuk mencari pekerjaan lain agar aku selalu bisa bersama mu.” Kata mas Yusuf.
“Nggak usah Mas. Aku tahu gunung berapi itu punya sejarah penting  di hidupmu. Kau dan gunung berapi itu sudah lama bersahabat, sedangkan aku? Aku baru sebentar masuk di hidupmu, masak aku tega menyuruh mas Yusuf meninggalkan si manis gunung berapi itu.” Kataku sambil tertawa kecil.
“Lebih manisan kamu kali, dari pada gunung berapinya.”
“Makasih ya Cha, dah mau ngertiin aku. Aku janji, nggak akan samain kamu sama gunung berapi lagi, aku akan lebih memperhatikanmu.” Kata mas Yusuf.
“Jadi kalau aku tanya lebih pentingan mana aku sama gunung berapi? Mas Yusuf jawabnya apa?” Tanyaku.
“Pentingan kamu lah! Tapi nggak tahu kalau besok aku berubah pikiran!” Ledek mas Yusuf.
Aku dan gunung berapi sama-sama penting di hidup mas Yusuf. Dan mulai saat ini, aku kan menyukai gunung berapi karena dia lah yang membuat mas Yusuf tersenyum sebelum adanya aku. Dan karena dia lah, aku bisa bertemu dengan mas Yusuf :D
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca, dan silahkan masukan komentar Anda :